Senin, 12 Oktober 2009

Sahabat & Cinta


“Mei, kamu mau pulang bareng aku, gak?”

Sebuah suara yang kukenal menyapaku dari belakang. Kulihat Toni sedang mendorong sepeda ontelnya menuju ke arahku.

Setiap hari Toni selalu mengajakku berangkat dan pulang sekolah bersama, dan setiap hari pula aku menolaknya dengan cara halus, “Maaf, Ton! Hari ini aku juga tidak bisa ikut pulang dengan kamu. Aku harus membeli buku dulu.”

“Kalau begitu, aku antar kamu deh! Kamu mau beli buku dimana?”

“A ...a ... aku mau beli buku di Toko Harfiz. Kamu tidak perlu mengantarku, karena aku pergi dengan ... dengan ... ,” Aku bingung harus mengajak siapa, kucoba lirik kanan lirik kiri mencari-cari siapa yang bisa kujadikan alasan untuk ikut denganku membeli buku. Saat itu juga mataku tertuju pada seorang gadis manis tapi centil, Celia. “Nah, kebetulan Celia akan lewat ke arah sini.”

“Ehm, aku ... aku akan pergi dengan Celia,” jawabku gugup seraya cepat-cepat menghampiri Celia dan menggandeng tangannya.

Celia kebingungan karena ulahku itu. Aku menyeringai kepadanya dan mengedipkan mata padanya agar dia mau mengerti keadaanku.

“Oh ... begitu? Ya sudah, bagaimana kalau besok? Kamu bisa, kan?” Toni berharap padaku dengan wajah memohon.

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi untuk menolaknya. Aku hanya bisa mengucapkan, “Insya Allah, jika memang tidak ada halangan, aku mungkin bisa pulang bersamamu.”

Sebenarnya aku malu jika harus ikut pulang dengan Toni. Akhir-akhir ini perasaanku gelisah jika harus dekat-dekat dengannya. Wajahku selalu memerah pada saat kami bertemu pandang dan perhatiannya membuatku merasa risih.

Aku kenal dia sejak dari kecil. Dari tahun ke tahun kami selalu satu sekolah, mulai dari TK, SD, SMP sampai dengan sekarang, SMU. Bosen juga sih lihat tampangnya terus, tapi karena Toni anak yang enak diajak curhat dan asik, jadi aku agak terhibur juga. Semua anak menyukai Toni karena dia pintar dan supel. Kalau dilihat-lihat lagi wajahnya lumayan juga kok, gak kalah dengan Brad Pitt. .

Kerennya lagi, dia tuh jago basket dan suka sekali naik sepeda ontel bututnya. Aku sudah terbiasa naik sepeda ontel dengannya saat ke sekolah atau hanya berkeliling komplek dan pasar. Di sepanjang jalanpun kami sudah terbiasa berceloteh dan bersenda gurau.

Kalau dijaman sekarang anak muda lebih senang naik sepeda motor, mulai dari motor bebek sampai motor otomatis, tapi Toni lebih senang dengan sepeda ontel bututnya. Kemana pun dia pergi, sepeda itu tidak pernah lepas dari tangannya. Dia tidak malu walau hanya menenteng sepeda butut.

“Ini sepeda warisan dari kakeku. Kakek pernah berpesan agar aku merawat sepeda itu. Jika aku sayang Kakek, maka aku pun pasti sayang pada sepedanya, karena Kakek merawatnya dengan sepenuh hati seperti dia menyayangiku dengan sepenuh hati pula.” Inilah jawaban yang kudapat ketika kutanyakan padanya mengapa dia begitu senang pada sepeda ontelnya.

“Lagipula dari tahun ke tahun, sepeda ini akan semakin berharga. Aku jamin harganya bisa mencapai ratusan juta, karena sepeda ini akan menjadi barang antik. Iya, kan? Pada saat harganya sudah tinggi, aku akan menjualnya. Kan, aku bisa jadi kaya mendadak! He ... he ... he ..., “ candanya kemudian. Kupikir Toni memang konyol juga ya?

“Meilany, kok melamun sih? Tanganku sakit nih, sampai kapan kamu pegang tanganku terus?” Suara Celia membuyarkan lamunanku.

“Duh, sorry banget ya? Aku gak bermaksud nyakitin tanganmu.”

“He eh gak apa-apa! By the way, tadi ada masalah apa sampai aku ikut-ikut diseret nih?” tanya Celia penasaran.

“Biasa lah! Toni ngajak pulang bareng lagi,” jawabku seadanya.

“Kenapa sih kamu gak mau diajak pulang sama dia? Biasanya juga kamu pulang bareng dengan dia. Tumben-tumbenan kamu beberapa hari ini gak pulang bareng dia lagi. Apa sedang ada masalah dengannya?”

“Gak ada! Aku hanya pengen pulang sendiri saja.”

“Kamu gak bisa bohongin aku Mei. Aku tahu kamu itu sedang ada masalah dengannya. Iya, kan?”

Celia tampak penasaran dengan tingkahku ini Dengan berbagai cara dia berusaha membujukku untuk menceritakan perasaanku. Akhirnya aku mengalah juga, kuceritakan permasalahan yang sedang terjadi pada diriku.

“Kamu tentu sudah tahu kalau aku sudah berteman dengan Toni sejak dari kecil? Pertemanan kami saat ini rasanya ada yang berubah semenjak dia mencoba melindungi aku dari gangguan si Jabrik, preman di sekolah ini.”

“Oh, kasus si Jabrik yang mencoba merayu kamu supaya menjadi pacarnya, kan? Terus apalagi yang terjadi?”

“Nah, semenjak kejadian itu aku menjadi risih dengan kehadiran Toni. Di satu sisi aku bangga karena dia membelaku dan melindungiku, disisi lain ada perasaan gelisah yang membuatku memandangnya bukan sebagai kawan lagi. Aku melihat dia sebagai sosok seorang pria yang begitu gagah dan kuat serta rela berkorban demi seorang gadis yang dicintainya. Setiap hari dirinya semakin mempesona, hal ini terus menggangguku.”

“Wah ... wah ... wah ...,” Celia serius mendengarkan curhatku. “Lalu, perasaanmu padanya jadi berubah, begitu?”

“Setiap aku melihat Toni, yang kulihat bukan Toniku yang dulu, teman sedari kecil, tetapi Toni yang mempesona. Aku tidak mau mempunyai pikiran ini, aku hanya ingin menganggap Toni sebagai kawan saja, tidak lebih dari itu. Karena itu, aku berusaha menghindarinya agar aku bisa menghilangkan perasaan yang ada dihati ini. Tapi kenyataannya ... aku tetap tidak bisa. Wajahku semakin bersemu merah setiap kali berjumpa dengannya dan aku semakin malu jika dia memperhatikan diriku.”

Celia tersenyum, kemudian menepukku halus dan menjabat tanganku dengan wajah ceria. “Itu namanya Cinta, Mei! Kamu sedang jatuh cinta pada Toni. Selamat, ya? Pertahankan saja perasaan itu dan kamu tidak perlu capek-capek berusaha menghilangkannya. Rugi juga loh kalau kamu harus kehilangan Toni. Dia cukup tampan, baik dan populer juga kan?“

Celia berusaha meyakinkanku agar aku tetap mempertahankan rasa ini. Dan aku masih merasa galau.

“Aku rasa jika aku tetap menyimpan perasaan ini, persahabatan kami bisa hancur Cel! Seandainya dia menerima perasaanku, aku bisa bahagia. Tetapi jika dia menolakku, persahabatan kami yang sudah lama ini akan bubar dengan membawa beban sepundak. Aku bisa menderita nantinya,” ujarku ketakutan.

“Hei, Neng! Begitu saja kok takut! Seorang sahabat sejati pasti akan mengerti perasaan sahabatnya, dan tidak akan membuat sahabatnya itu menderita. Kamu tidak perlu takut, biarkan saja perasaan itu semakin mekar dihatimu.”

Kata-kata Celia membuatku terpana. Aku semakin ingin mendengarkan nasehatnya. Ya, saat ini aku memang membutuhkan saran dari seorang kawan, agar aku tidak terbebani oleh pikiranku sendiri.

“Walaupun dia nanti menolakmu, kamu tidak perlu kecewa. Jika dia hanya bisa mencintai orang lain dan hidupnya bahagia, kamu tidak perlu iri dan benci. Karena kamu sudah memiliki harta yang tak ternilai harganya, yaitu Cinta dan Pengorbanan. Harta itu membuat kamu bisa mencintai seseorang dan rela berkorban demi kebahagian orang yang kamu cintai.”

Aku menangis dalam hati, apakah saat ini aku bisa melihat Toni dengan gadis lain? Hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehku. Selama kami berteman, aku tidak pernah perduli jika dia mengajak gadis lain dengan sepedanya. Aku tidah pernah cemburu sama sekali. Tetapi kali ini, untuk memikirkannya saja aku menjadi miris. Hatiku terasa sakit seakan tertusuk beribu-ribu jarum.

“Cinta ... ,” aku bergumam dalam hati. Aku termenung, dan mencoba memahami arti cinta yang sebenarnya.

Entah kenapa, tiba-tiba aku mempunyai kekuatan. Mungkin ini kekuatan cinta, aku harus menjadi kuat. Aku harus bisa mengalahkan perasaan cemburu ini, dan aku ingin mencoba memelihara dan merawat perasaanku yang baru pada Toni. Cinta ini akan kusirami, kuberi pupuk dan kubiarkan berbunga serta mekar seperti layaknya mawar.

“Celia ... ,” ujarku tiba-tiba. “Kamu memang sahabat terbaik yang pernah kukenal. Aku salut padamu. Terima kasih karena kamu telah memberiku saran dan petuah yang berharga sekali. Aku tak bisa membayangkan, akan seperti apa jadinya jika aku tidak bercerita padamu. Mungkin saat ini aku masih dilanda ketakutan dan terombang ambing oleh perasaan ini. Kamu memang hebat!”

Aku peluk Celia dengan erat. “Terima kasih Celia!

“It’s ok, friend! Besok, kalau mau curhat lagi, temui aku lagi ya? Aku siap menampung segala keluh kesahmu, loh! Sekalian buka praktek psikolog deh! He ... he ... he ...”

Setelah aku berbicara dengan Celia, aku merasa ada yang berbeda. Aku menjadi merasa bahagia dan mempunyai sebuah kekuatan baru.

Aku ingin segera bertemu Toni, aku ingin pulang bersamanya, aku ingin bercerita dan bercanda dengannya lagi, dan aku juga ingin menyatakan perasaanku padanya. Perasaanku sungguh berbunga-bunga saat ini. Aku menjadi orang yang tidak sabar. Tanpa kutunda-tunda lagi, aku segera menghubungi Toni dengan handphoneku.

Sebuah nada tunggu dari grup Project Pop “Ku Bukan Super Star” terdengar ditelingaku, dan lagu tersebut berubah menjadi suara Toni.

“Hallo!”

“Hallo, Ton! Kamu ada dimana sekarang?” tanyaku tak sabar.

“Masih dikantin. Kenapa?”

“Aku mau kesana? Kamu tunggu aku, ya?”

“Loh, bukannya kamu akan pergi dengan Celia ke toko buku?” tanyanya heran.

“Gak jadi! Aku mau pulang bareng kamu saja deh! Aku ada perlu dengan kamu. Tolong tunggu aku, ya?” pintaku dengan manja.

“Ok! Cepet ya?”

“Flip!” Toni menutup handphonenya dan dengan sabar dia menunggu kedatangan Celia.

“Mei, Aku disini akan selalu menunggumu ... selalu ...”

Kamis, 17 September 2009

Aktivitas seminggu sebelum lebaran

Senin tanggal 14 September 2009
Gue operasi tumor (menurut keterangan dokter sementara) di jari telunjuk kanan.
Operasi pagi, bius total. Pas sadar jarinya dah dibungkus perban.
Wow... lucu deh, jarinya jadi keliatan seperti boneka jari.
Tinggal kasih mata, mulut, hidung and alis deh...
Oke juga nih... bisa gue bikin panggung boneka jari sekalian buat menghibur anak2 gue di rumah. Hehehe...

Selasa, 15 September 2009
Mencoba mengerjakan pekerjaan rumah secara pelan2.
Hasilnya... jari gue yang baru di operasi kepentok-pentok melulu... hihihi
Gue kan emang ceroboh banget... suka gak stabil kalau jalan.
dan udah pasti jadi nyut... nyut... nyut... rasanya... duh biyuuuunnngggg...
Semoga aja jahitannya gak lepas dan jadi infeksi...
Sementara ini gue jadi pendekar berlengan satu dulu deh...
Semuanya dikerjakan dengan tangan satu termasuk mandi... Ehm, kalau yang ini ada bantuan...

Rabu, 16 September 2009
Capek.... Misoa dari kemarin tidur aja neh...
Kasihan juga... ambeiennya lagi kambuh... hehehehe
Tapi jari gue juga masih nyeri..
Kerjaan rumah masih banyak... siapa lagi yang kudu ngerjain...
Dah pasti, gue sebagai IRT kudu berjuang sendirian.
Dari kemarin gak masak, terpaksa sorenya ke rumah bonyok.
Malu deh... ya numpang buka di sana dong!!!
Sahurnya... minta misoa beli makanan buat sahur pas pulang kerja jam 1 malam.
Yah... sementara makan jadi or ikut ortu dulu deh buat buka n sahurnya.

Kamis, 17 September 2009
Bingung mikirin lebaran. Nti gak bisa bikin ketupat n lauknya dong!
Tangan gue masih di bebat. Perban baru boleh di buka hari Sabtu.
Kondisi gue mulai senewen
Tolong deh!!!!

Senin, 14 September 2009

CINTAILAH AKU

Tau enggak sih? Aku, Riri mahasiswi tingkat II jurusan Ekonomi STIE. Aku paling sebel sama cowok yang bisanya cuma lihat cewek berdasarkan tampangnya saja. Jika cewek itu cantik dan seksi, sampai jumpalitan pun si cowok akan ngejar terus sampai dapat. Tapi kalau tampang cewek itu es te de alias standar dan biasa-biasa aja – apalagi kalau jelek – enggak bakalan deh dilirik sama sekali. Sudah pasti si cowok langsung ngelengos pergi tanpa ba bi bu lagi. Heran deh!
Pernah enggak sih dalam pikiran mereka untuk melihat cewek dari sisi dalamnya dan bukan dari bungkusnya saja? Tapi kayaknya susah tuh! Sepertinya tradisi ini sudah mendarah daging dan kita enggak bisa berharap banyak. Paling-paling dari seribu orang cowok, hanya 1 orang saja yang bisa begitu. Sama aja bohong, kan? Ini sih sama saja dengan mencari jarum jahit diantara tumpukan jarum pentul. Nah, kebayang susahnya, kan?
First look selalu menjadi faktor utama di mata cowok. Kata orang kalau pada awalnya cowok suka penampilan kita pada pandangan pertama, di jamin mereka bakalan nyosor terus kayak bebek. So, untuk era abad ke dua puluhan ini sebenarnya cinta pada pandangan pertama itu maksudnya disebabkan karena tampilan pembungkus luar si cewek or karena inner beauty si cewek, sih?
Gak heran kalau teman-temanku melakukan make over besar-besaran ke Salon jika mereka punya janji kencan dengan sang pujaan hati nanti malam. Katanya sih buat menarik perhatian mereka dan juga buat nyenangin diri sendiri karena nanti mereka bisa mendapatkan pujian dari cowoknya masing-masing. Tapi bagiku, percuma! Ini sama saja dengan pembohongan public – udah kaya berita besar saja, ya? Aku enggak bisa seperti itu. Jika memang kita seperti ini adanya – tampang es te de, rambut pecah-pecah, postur tubuh gendut dan pendek misalnya – ya, musti kita tunjukkan ke mereka. Biar mereka menilai kita secara langsung. Jika dia menilai kita karena bungkusnya dan langsung cabut, berarti cowok itu harus di coret dalam list kategori cowok terbaik. Dia tidak patut mendapatkan cinta dari seorang cewek. Tapi jika dia bisa melihat inner beauty kita, dia patut kita acungin jempol. Saluuuutttt! Bravo! Aku suka cowok seperti ini. Cowok seperti ini jarang muncul di pasaran. Untuk mencari cowok yang seperti ini enggak mudah, kan? Kalau mudah di dapat sama saja bohong. Cowok baik kok di obral? Kurang greget, geetoo loh?
Aku saja sudah beberapa kali di kecewakan oleh beberapa cowok. Terutama yang kukenal dari chatting di internet. Semuanya bertingkah sangat menyebalkan. Boleh di bilang sok perfectsionist and sok gentle. Tapi, kalau udah ketemu yang aslinya, ternyata omongan mereka enggak sesuai dengan tingkah dan perilakunya. Setelah mereka bertemu denganku face to face, semuanya langsung menghilang keesokan harinya dan tinggal aku yang sibuk menghubungi mereka satu persatu sampai capek. Katanya ingin bersahabat denganku, kok malah kabur? Apa enggak bete?
Mau tahu apa yang pernah mereka katakan sebelumnya? Mereka pernah bilang kalau tampang seseorang enggak jadi masalah untuk bersahabat – padahal realitanya justru kebalikannya. Mereka juga pernah bilang sengaja mencari kawan dari internet – padahal sengaja nyari jodoh atau teman untuk check in. Idiih... kok bisa ya?
Memang kebetulan wajahku standar banget and jauh dari cantik. Postur tubuhku juga mungil dan pendek. Body-ku enggak seksi, malah lebih condong di bilang rata. Gayaku pun enggak feminim seperti layaknya mahkluk cewek. Aku justru tomboy dan lebih suka mengenakan kaos, jeans belel dan sepatu kets, dibandingkan bila harus memakai gaun atau rok dan high heel. Padahal usiaku sekarang sudah sembilan belas tahun. Sudah seharusnya aku berusaha menjadi kupu-kupu yang cantik dan menarik atau berubah dari seekor itik buruk rupa menjadi seekor angsa yang cantik untuk menarik perhatian kaum cowok. Tapi dalam kamus hidupku, belum pernah kucoba menerapkannya sebagai magic style dalam mencari jodoh.
Seperti kali ini. Aku berkenalan lagi dengan seorang cowok asal Bandung dari Internet. Namanya Ozie Subrata. Dia kuliah di Jakarta, tepatnya di Gundar jurusan Manajemen Informatika tingkat III. Persahabatan yang kami jalin telah berjalan kurang lebih sudah 4 bulan dan aku tidak ingin persahabatan kami selama ini di alam maya menjadi tergores.
Hari ini kami chatting lagi. Aku coba beranikan diriku untuk bertanya langsung padanya tentang sesuatu yang sangat membuatku penasaran selama ini. Kuketikan beberapa kata di layar monitor.
“Ozie, aku mau nanya. Agak sedikit private sih. Kamu keberatan, enggak?” tanyaku sedikit malu.
“Ri, memangnya aku bawa apaan sih sampai keberatan segala. Aku kan lagi enggak ngangkut kontainer.” Sebuah balasan muncul dari layar monitorku.
“Dodol! Aku pengen tahu aja. Tujuan kamu chatting di internet sebenarnya untuk apa sih?” tulisku lagi membalas jawaban Ozie.
“Nyari temen ngobrol dong!” balasnya kemudian.
“Basi tahu!” ejekku.
“Terus aku musti gimana dong? Nyari jodoh?!? Begitu maumu?” sahutnya lagi.
“Yah, ngaku aja deh kalau kamu memang lagi nyari jodoh lewat internet. Aku enggak marah kok kalau kamu jujur. Semua cowok kan memang begitu.”
“Kok, kamu jadi sentimen begini sih, Ri? Aku tuh udah jawab secucur-cucurnya, loh? Atau kamu mau pake kue serabi juga? Oke nanti aku tambahin deh. Suka rasa apa? Pisang coklat? Nangka keju? Atau Durian keju? LOL.”
“Dasar! Susah banget sih ngomong sama orang aneh.” Aku merasa gemas pada Ozie saat itu juga. Dia memang konyol.
“Nah, you know me-lah?” tulisnya dengan gaya bahasa Malaysia.
“Ngambek ah!” gerutuku kesal.
“Yee, begitu aja ngambek. Begini Riboy alias Riri Tomboy. Aku memang bener-bener nyari temen ngobrol, terus aku juga pengen menambah wawasan dengan bertukar informasi dengan mereka. Siapa tahu nanti aku bisa berbisnis dengan mereka. Misalnya bisnis jual beli komputer second ke Papua, atau bisnis pulsa, de el el. Begitu. Kalau soal jodoh, itu sih enggak usah di pusingin. Nanti juga datang sendiri tanpa harus kita kejar. Udah ngerti kan Riboy?” Ozie mencoba menjelaskan lagi kepadaku.
“Ooh!” jawabku singkat saja.
“Kok cuma ooh doang? Bilang aja kalau kamu tuh takut denganku kan?”
“Takut kenapa?”
“Ya, takut kalau aku ternyata berusaha mendekati kamu bukan karena faktor persahabatan. Ya, kan? Tapi karena faktor XXX. Kalau begitu, bagaimana kalau kita CI saja, yuk? LOL.” godanya.
“Ih, konyol! Norak! Ide gila dari mana lagi tuh? Ga banget deh? Pergi ke laut aja sana lalu kencan dengan gurita!” ketikku sambil mencibir pada layar monitor.
Memang Ozie sangat konyol. Tapi kekonyolannya itu yang membuatku menjadi semakin tertarik padanya. Dia itu cowok yang paling bisa membuat diriku tertawa dengan lepas.
Selain chatting, kami juga sering bicara melalui telepon. Kami sering berbagi cerita dan memberi komentar. Persahabatan kami terasa indah. Semakin lama aku mengenalnya, maka aku semakin tergoda untuk semakin mengetahui pribadinya. Dia sangat kocak, dia juga nyambung kalau aku ajak bicara. Satu hal lagi, dia suka sekali utak atik komputer sampai jebol. Jika sudah begitu dia hanya berkata, “Aku ternyata hanya bisa terima bongkar and enggak terima pasang.” Apa enggak keder tuh?
Tumben sekali hari ini Ozie meminta fotoku. Dia ingin tahu rupa asliku. Aku masih ragu untuk memberikan fotoku padanya. Timbul pertanyaan dalam diriku, apakah nanti dia bisa menerima diriku yang sebenarnya? Atau mungkin, bisa saja kuberikan foto orang lain yang wajahnya cukup cantik kepadanya? Tapi, bukankah itu berarti aku membohonginya? Seorang sahabat tidak mungkin membohongi kawannya, Itulah yang seharusnya aku lakukan.
“Ri, aku minta foto kamu dong! Biar aku tahu seperti apa tampangmu. Kira-kira sama seperti yang aku bayangkan apa enggak ya?”
“Ogah! Aku malu. Lagi pula aku enggak punya foto,” jawabku berbohong. Padahal aku punya banyak sekali file fotoku dalam komputer. Aku masih merasa takut kejadian dulu terulang lagi. Jika nanti dia mengetahui rupa asliku, jangan-jangan Ozie akan memutuskan untuk berhenti menghubungiku seperti yang lain dan stop pulalah persahabatan yang sudah dibina ini.
“Pelit!” sindirnya
“Biar! Aku jadi curiga, jangan-jangan fotoku nanti akan kamu pakai untuk nakutin tikus doang.”
“Hari geenee, kok masih ngasih alasan yang dah lama basi begitu. Apa enggak ada alasan lain? Di update dong! Yang pasti sih, fotomu akan aku pajang di pintu depan buat nakutin maling. Biar dia takut masuk ke dalam rumah gara-gara lihat wajahmu,” ledek Ozie sambil terkekeh-kekeh.
Aku jadi keki. Ozie memang sering sekali meledekku dan sepertinya dia suka sekali melakukan itu padaku. Soalnya aku gampang sekali ngambek. Tapi dengan mudah pula dia membuatku tertawa lagi.
“Ya udah, aku kasih fotoku dulu aja, ya? Nanti kamu cek lewat emailmu. oke? Terus, setelah kamu puas lihat wajahku yang guanteng kayak Richard Gere, nanti aku minta kamu untuk mengirim balik foto terbaikmu. Setuju?”
Ternyata Ozie menepati janjinya. Dia mengirimkan fotonya ke emailku. Dalam foto itu berdiri seorang cowok yang sangat tampan dan keren, sedang duduk di sebuah batu besar. Di bagian latarnya kulihat sebuah sungai yang airnya tampak mengalir di sela-sela bebatuan. Aku enggak nyangka kalau Ozie ternyata sangat keren sekali. Sejak saat itu setiap kali Ozie menghubungiku, aku selalu membayangkan dirinya dengan wujud pria dalam foto tersebut.
Semakin hari perasaanku terhadap Ozie menjadi berubah. Kupikir kini aku telah melewati batas sebuah persahabatan. Aku telah menodai janjiku sendiri untuk tidak menyukai cowok dari internet. Ozie telah mengisi hari-hariku dengan berbagai keceriaan. Dia tahu bagaimana caranya untuk menghiburku jika aku sedang sedih. Dia tahu bagaimana caranya membuatku bersemangat lagi. Dia juga bisa mengetahui jika aku menyembunyikan sesuatu darinya.
“Hayo! Hari ini kamu lagi bete ya? Ngaku aja?” tudingnya hari ini di telepon.
“Kamu kok bisa tahu sih kalau aku lagi bete? Udah ganti profesi jadi penyelidik apa jadi paranormal atau dukun? Jangan-jangan kamu berguru sama Ki Joko Bodo, ya?” tanyaku keheranan.
“Bukan! Aku ini justru gurunya Mbah Surip!” dia tergelak.
“Ngawur!” Tanpa terasa aku pun ikut tergelak bersamanya. Nah, setelah itu biasanya aku mulai curhat deh ke dia. Jujur saja dia juga bisa menjadi pendengar yang baik dan juga bisa menjadi penasehat yang handal.
Setiap hari aku jadi selalu memikirkan Ozie. Jika hari ini dia tidak menghubungiku, aku merasa hampa. Ozie sudah seperti candu untukku. Kehadiran Ozie layaknya obat rindu untukku. Ozie aku ingin berterus terang kepadamu. Tapi bagaimana caranya ya?
Kuputuskan untuk mengirimkan sebuah lagu dari Radio untuknya. Lagu ini mengungkapkan isi hatiku padanya. Semoga saja Ozie dapat memahami dan mengerti akan perasaanku.
“Zie, coba deh dengerin Radio Sonora sekarang. Aku tadi request ke sana agar mereka memutarkan sebuah lagu khusus untuk kamu,” ujarku hati-hati. Aku tidak ingin dia tersinggung.
“Wah, asik dong! Oke, sebentar ya? Aku coba cek sekarang.”
Teleponpun terputus. Lima menit kemudian, kami berdua sudah menikmati lagu yang kukirimkan untuknya. Lagu itu kupilihkan khusus untuknya. Sebuah lagi dari Afgan berjudul “Bukan Cinta Biasa”.
Ketika lagu tersebut berakhir, tiba-tiba ponselku berbunyi. Tertera nama Ozie di layar ponselku.
“Ri, makasih ya atas lagunya. Aku suka.”
Aku begitu bahagia saat dia bilang menyukai lagu kirimanku. Perasaanku kian melambung tinggi. Entah karena mood-ku yang sedang bagus atau memang sudah tiba saatnya aku memperkenalkan diriku yang asli padanya. Aku kemudian mengirimkan foto diriku kepadanya. Kukirimkan foto terbaikku, agar tidak terlihat jelek dimatanya. Aku merasa yakin jika Ozie akan menerima kondisiku setelah melihat rupa asliku. Karena aku yakin dia tidak sama dengan cowok-cowok lainnya yang telah meninggalkanku dengan begitu saja dan aku juga yakin dia memang mencari persahabatan bukan yang lainnya.
“Zie, kamu udah nerima fotoku kan?”
“Ya. Ternyata kamu tuh lucu. Kamu kelihatan pendek, kecil, udah gitu rata lagi. Coba ya aku pikir-pikir kamu tuh mirip apa ya?”
“Apa? Pasti mau ngeledek. Ya, kan?” tebakku padanya
“Hehehe... kayak kue bantet,” godanya sambil terkekeh-kekeh.
“Tuh, kan? Sebel!” gerutuku malas.
“Enggak deh! Kamu cukup manis deh. Seperti gulali,” ledeknya lagi.
“Kamu kayak bakpau,” umpatku kemudian membalas ledekannya.
Kami tergelak bersama. Sebelumnya aku tak pernah merasakan sebuah perasaan senang dan bahagia bila berbicara dengan seseorang. Hanya Ozie seorang yang justru bisa memberikannya kepadaku. Apakah Ozie menyadarinya bahwa setiap ucapannya serta perhatiannya sangat berpengaruh besar padaku. Dia seperti magnet dan aku telah terperangkap dalam gravitasinya. Ingin rasanya saat ini aku bertemu dirinya secara langsung dan mengungkapkan semua isi perasaanku padanya. Tapi kira-kira, apakah pantas?
Ozie kamu membuatku merasa gemas sekali. Kamu membuat hatiku semakin bertambah miris. Bisakah persahabatan ini berubah menjadi sebuah kisah asmara yang indah? Jujur saja, aku semakin tidak bisa menahan perasaanku yang semakin hari semakin membuncah. Aku menyukai pribadimu. Apalagi setelah melihat fotomu. Ternyata imajinasiku tentang dirinya tidaklah jauh berbeda. Ozie, apakah kamu mengerti apa yang terjadi dalam diriku sekarang ini?
Kucoba mengirimkan lagi sebuah lagu dari Melly Goeslaw dengan judul I Just Wanna Say I Love You untuk Ozie lagi. Tapi kali ini dia tidak memberikan sedikitpun komentar. Dia hanya diam.
“Ozie? Kamu marah karena lagu itu? Atau marah karena aku?” pancingku padanya untuk berbicara.
Dia hanya bernafas panjang.
“Ozie! Please, ngomong dong! Aku salah, ya? Aku minta maaf, deh. Aku enggak bermaksud untuk menyinggungmu. Ozie, kamu jangan diam aja dong?’ rengekku kemudian karena Ozie tetap tidak mau membuka mulutnya.
Kemudian Ozie membuka mulutnya. “Ri, gue enggak tahu harus ngomong apa. Mungkin lebih baik kita ketemu langsung. Biar lebih enak. Bagaimana?”
“Oke!” Aku menerima ajakannya.
Esok harinya kami bertemu di Monas. Kami duduk di rerumputan yang terhampar di tanah. Ku lirik Ozie yang sedang menatap Monas dengan pandangan hampa. Ternyata Ozie yang asli jauh lebih sempurna dan keren menurutku. Tadi saja nyaliku langsung ciut ketika baru pertama bertemu Ozie di sini. Aku jadi minder di hadapannya, karena aku menganggap diriku tidak sebanding dengannya. Bola mata Ozie berwarna coklat dan dia memandangku dengan ramah, kulitnya bersih, gaya berpakaiannya pun rapi, dan dia wangi. Hmm, dia lelaki pesolek juga rupanya.
Ozie berdehem. “Ri. Aku seneng akhirnya bisa bertemu kamu di sini. Kamu juga pasti seneng dong ketemu aku?”
“Oh, iya. Jelas sekali! Tapi aku sedikit minder nih kalau deket-deket kamu. Kamu ganteng banget sih! Tuh, lihat! Banyak cewek-cewek cantik yang ngelirik ke aku. Pandangan mereka padakuku terlihat sangat ganjil, kan? Mungkin mereka kini sedang mengejekku karena aku enggak cocok duduk di sebelah kamu.”
“Kamu ini!” Ozie menjitak kepalaku. “Begitu aja dipikirin. Kan udah aku bilang, kamu harus jadi kuat dan tegar. Jangan jadi orang yang lemah lagi. Satu lagi, jangan pernah jadi pemalu yang malu-maluin lagi. Tahu enggak? Biar saja mereka memandangmu dengan aneh. Anggap saja enggak ada yang aneh dengan dirimu. Pe de aja. Oke?” Ozie mengingatkan aku lagi.
“Ya, deh! Terus sekarang, kamu mau bilang apa padaku waktu kemarin?” desakku yang sudah mulai gatal ingin tahu perasaannya padaku.
“Oke!” Ozie kemudian menggeser duduknya dan duduk menghadap ke arahku. Ri, kamu suka aku?” tanyanya langsung.
Aku terhenyak. “Ya. Aku suka,” jawabku sedikit malu.
“Suka dalam arti sebagai sahabat atau ada rasa yang lain?” desaknya.
“Mmm....” Aku sedikit ragu untuk menjawabnya.
“Jujur saja. Aku enggak akan marah. Aku senang jika kamu bisa berterus terang padaku. Ingat! Kita akan selalu terbuka jika sedang mempunyai masalah. Ya, kan?” Ozie tersenyum padaku ramah. Tatapannya yang begitu teduh membuatku menjadi luluh di hadapannya.
“Ya. Aku pikir....” Aku mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Aku memang telah tertarik padamu,” kataku mencoba jujur di hadapannya.
Aah, lega sekali rasanya saat aku telah berhasil mengungkapkannya pada Ozie. Tapi, bagaimana dengan Ozie?
Ozie terdiam. Kemudian dia menyentuh jemariku dan menggenggamnya dengan erat. Perasaanku semakin tidak menentu ketika dia menyentuhku. Hatiku kebat-kebit tak karuan. Rasanya seperti ingin meledak.
“Riri, aku tak tahu harus bagaimana padamu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untukmu. Ri, cobalah untuk mengerti aku. Aku tidak bisa membalas perasaanmu. Aku jelas tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan. Aku minta maaf padamu. Tapi aku bisa memberikan perhatian yang lain padamu. Kita bisa menjadi sahabat dekat, atau aku juga bisa menjadi saudara terdekatmu yang bisa kamu goda dan bisa kamu ajak sharing. Bagaimana?”
Aku memandangnya dengan perasaan kecewa. Tiba-tiba hatiku terasa panas.
“Jangan bicara seperti itu dan jangan berjanji apa pun! Kamu memang sejak awal tidak tertarik padaku sama sekali. Ya, kan? Apalagi setelah kamu melihat rupa asliku. Aku yakin setelah pertemuan ini, kamu akan diam-diam pergi meninggalkanku. Sama seperti cowok-cowok lainnya yang pernah aku kenal. Begitu kan? Ternyata kamu juga tidak berbeda dengan cowok-cowok itu! Kalau begitu untuk apa jalinan persahabat yang sudah kita bina selama ini?” seruku miris.
Tak terasa airmataku mulai mengalir deras. Aku tergugu di depannya. Aku merasa sendiri dan tak mempunyai pegangan. Aku merasa lemah. Kupikir tak ada gunanya lagi berurusan dengan Ozie. Dia hanya akan menyakiti hatiku saja. Aku mungkin memang ditakdirkan untuk sendiri di sini. Aku berlari menjauhi Ozie. Kutinggalkan dia yang tampak bingung dan merasa bersalah. Dia memanggil-manggil namaku. Tapi aku tidak perduli. Aku ingin berlari dan hanya berlari sejauh-jauhnya hingga aku capek.
Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku kemudian berhenti di sebuah pohon dan menangis disana sejadi-jadi. Dunia terasa bukan milikku saat ini. Aku ingin sekali menjerit, tapi suaraku tidak dapat keluar. Tiba-tiba sebuah lengan yang kekar menyentuh bahuku dari belakang. Aku menoleh dan mendapatkan sosok Ozie yang telah menyentuhku. Aku berpaling padanya. Aku ingin berlari lagi dan menjauhinya. Tapi tampaknya kakiku tidak mampu lagi melangkah dan menuruti perintahku. Dia hanya diam tak bergerak.
“Ri,” sapa Ozie lembut. “Kumohon kamu mau mendengar penjelasanku kali ini. Setelah itu terserah kamu mau melakukan apa. Aku hanya ingin kamu juga mengerti kondisiku,” pintanya dengan penuh harap.
Aku hanya diam dan tidak melakukan apa-apa. Aku tetap memalingkan wajahku darinya. Aku malu padanya karena telah berani menyukainya. Dan aku juga malu karena dia telah menolakku. Aku berharap, jika dari awal semua ini kusadari akan begini akhirnya, tentunya aku tidak akan berani membiarkan perasaanku tumbuh dan berkembang.
“Riri, aku ingin kamu tahu. Aku memang tidak bisa membalas cintamu.”
“Karena aku jelek. Betul kan?” selaku dengan nada tinggi.
“Bukan itu. Sejak awal aku sudah memberitahumu, Ri. Tampang tidak menjadi soal buatku. Aku suka kamu apa adanya,” sanggahnya.
“Lalu apa? Apa yang membuatmu tidak bisa mencintaiku?” kataku masih penuh emosi.
“Aku bukanlah pria yang cocok untukmu. Aku bukanlah pria yang bisa kamu harapkan. Aku bisa menyukaimu tapi tidak bisa mencintaimu. Karena....” Ozie terdiam sesaat. “Karena aku, aku bukanlah pria yang normal. Aku ini tidak bisa mencintai seorang gadis. Aku hanya bisa mencintai sesama jenisku. Aku ini seorang gay,” ungkapnya dengan jujur.
Aku benar-benar terkejut saat mendengar kata “gay” dari mulutnya. Ini sebuah kejutan lain yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Ozie yang menjadi sahabatku selama ini dan juga cowok yang aku cintai selama ini adalah seorang gay? Sungguh, aku tidak bisa mengerti, kenapa ini bisa terjadi pada dirinya dan diriku. Apakah ini semacam lelucon untuk membuatku melupakannya?
“Kamu bohong! Kamu hanya mengatakan itu supaya aku bisa melupakanmu. Betul, kan?” desakku padanya.
“Aku tidak pernah membohongimu. Selama kita bersahabat, sebenarnya aku ingin sekali mengungkapkan masalah ini. Pada saat kamu mengirimkan lagu yang pertama, aku memang menyukainya tapi aku juga sedih karena pada saat itu juga sebenarnya aku sudah siap untuk mengatakan tentang kondisiku. Akibatnya, aku menjadi ragu sendiri. Aku melihatmu begitu bahagia. Lalu kuputuskan mengurungkan niatku hari itu karena aku takut jika kamu mendengar hal ini hatimu akan semakin sedih.”
Aku menangis. Aku memang bodoh. Aku tidak menyadari bahwa sebenarnya Ozie mempunyai sebuah masalah. Selama ini justru dia yang selalu membantu semua masalahku, tapi aku justru sama sekali tidak membantunya. Sahabat seperti apa aku ini?
“Kulihat, semakin hari perasaanmu semakin bertambah padaku. Apalagi setelah kamu mengirimkan lagu kedua. Kurasa sudah seharusnya aku menceritakan hal ini padamu sekarang. Aku tidak ingin perasaanmu untukku semakin dalam. Karena aku tahu bahwa kamu akan kecewa dikemudian harinya jika tetap mengharapkanku.”
Ozie kemudian menarikku dan mengangkat wajahku.
“Riri, kamu gadis termanis yang pernah aku kenal. Jika saja aku lelaki normal, aku pasti bisa membalas perasaanmu. Tapi aku tidak bisa. Aku hanya bisa memberikan kasih sayangku padamu hanya sebagai seorang sahabat atau saudara. Aku menganggapmu sebagai bagian dari keluargaku. Aku siap melindungimu. Aku siap untuk mendengar ceritamu. Aku juga masih mau bercanda denganmu seperti biasa. Aku janji tidak akan menyakitimu dan meninggalkanmu. Karena kamulah yang terbaik untukku.”
Kata-kata Ozie begitu menyentuh lubuk hatiku. Walau hati ini masih terasa sakit karena perasaanku tidak bisa terbalas, aku juga merasa kasihan padanya. Masalah dia justru jauh lebih rumit dariku. Bisa dibilang kelainan pada dirinya merupakan sebuah penyakit. Bisakah aku menyembuhkanmu Ozie dan membuatmu menjadi normal kembali? Aku ingin sekali kamu bisa hidup normal seperti yang lainnya.
“Zie. Aku minta maaf atas sikapku tadi,” ujarku malu. Air mataku masih jatuh membasahi pipiku.
“Tidak ada yang perlu di maafkan. Aku ikhlas,” ujarnya lembut sambil mengusap air mataku. “Aku justru yang seharusnya meminta maaf padamu.”
Aku menggeleng. “Tidak! Akulah yang seharusnya kamu maafkan. Aku tidak menyadari jika kamu mempunyai masalah seperti ini. Aku bukanlah sahabat yang baik. Aku hanya mementingkan perasaanku sendiri saja. Aku tidak peka. Selama ini kamu selalu membantuku, tapi aku justru tidak pernah membantumu. Aku malu padamu, Zie.” Aku tergugu dihadapannya.
Ozie memandangku penuh perhatian. Dia menarikku lebih dekat lagi dan memelukku. Dia mencium keningku dengan penuh kasih.
“Ozie, tidak bisakah kamu berpura-pura mencintaiku?” Aku berharap dia bisa merubah pikirannya.
“Riri, kamu adalah seorang gadis yang manis dan baik. Aku berharap semoga kamu bisa mendapatkan pria yang pantas untuk kamu cintai. Aku disini hanya bisa memberimu semangat, agar kamu tidak mudah putus asa dan menjadi lemah. Seperti kataku tadi aku siap melakukan apa saja untukmu. Aku tidak ingin kamu di sakiti oleh siapapun, karena sekarang kamu adalah bagian dari diriku. Sahabatku.”
Aku menarik bajunya dan menangis di dada Ozie. Tuhan biarkanlah aku menangis di sini. Biarkanlah kutumpahkan perasaan ini di dadanya. Biarkanlah aku berada dalam peluknya walau sesaat dan merasakan hangat pelukannya dan sentuhannya. Biarkanlah aku saat ini berangan-angan bahwa dia adalah seorang pria normal. Biarkanlah aku merasa jika juga dia mencintaiku. Biarkanlah aku seperti ini walau hanya sekejap saja. Setelah itu aku akan rela melepaskan rasa cinta dan kasih yang pernah ada untuknya selama ini.

Kamis, 10 September 2009

Selingan sambil menunggu Hari Raya.

Mau tahu apa yang gue lakuin selama menunggu datangnya Hari Raya?
Yang pasti gue nunggu THR turun dulu dong setelah puasa dua minggu. hehehe...
Terus mencoba belanja-belanji segala kebutuhan untuk lebaran, termasuk baju baru, sepatu baru, ampe ketupat dan sambal goreng daging...
Huih sedep man!

Roman-romannya kite juga kudu bagi-bagi buat anak yatim sama fakir miskin dong.
Jadi semuanya gue dah siapin termasuk THR buat bonyok. hihihi...
Udah kaya orang gedean aja neh kalau pas dapet THR...
Emang THR Top deh!

Cuma sayangnya, utang-utang yang numpuk juga kudu di bayar.
Emang sih enggak bisa pull.
Tapi namanya juga dah niat bayar biar nyicil juga. ya kan?
Terakhir gue ditagih pihak bank ngenes banget!
yang nagih nih, udah kayak preman aja kayak bukan orang bank!
Padahal gue baru nunggak 2 bulan, tapi sejak awal dia nagih romannya udah tarik urat duluan. Perasaan cuma satu itu doang tuh colector yang rada ngeselin.
Puasa gue ampe batal gara-gara Mr. tarik urat! Fiiuuhhh! Capek deh!
Emang dasar lagi apes aja kali ye gue kena sama tu orang!

Be te we... tarawih kudu jalan juga dong. Tapi buat gue yang namanya tarawih,
jadwalnya masih bolong-bolong... aduh ampun ya Tuhan...

Sekarang kita tinggal menantikan kedatangan hari raya aja deh.
Biar gue bisa minta maaf sama semuanya yang udah pernah gue keselin.
Terutama ortu alias bonyok.

Nah, besok2 kite cerita lagi deh pengalaman yang lainnya.
Oke my friend?

Rabu, 09 September 2009

Candu Facebook

“Nik, kamu lagi ngapain sih? Dari tadi aku lihat kamu sibuk ngutak ngatik handphone terus. Apa gak pegel tu jari? SMS-an sama siapa sih? Cowok kamu si Tatang yang rambutnya jabrik itu ya? ”

Zahra gemes melihat Niken selau sibuk dengan handphone-nya sejak pulang sekolah tadi. Mie ayam Pak Bejo yang nongkrong didepan matanyapun belum disentuh Niken. Rasanya pasti sudah tidak enak lagi, karena sudah dingin.

“Bukan! Aku lagi nyoba Facebook dari handphone nih!” jawab Niken santai.

Zahra merasa asing mendengar kata ajaib yang meluncur dari mulut Niken.

“Pesbuk? Apaan tuh? Sejenis sabuk pengaman ya?” tanya Zahra penasaran.

“Haaaa...??? Payah banget! Hari gini belum tahu yang namanya Facebook? Kemana aja kamu, Non? Gaptek banget deh.” Niken mencibir pada Zahra.

“Hei! Aku nanya beneran Non! Memangnya Pesbuk itu apa?” Zahra sewot karena tidak senang dibilang payah oleh Niken.

“Facebook, Sis! Bukan pesbuk! Gak tahu bahasa Inggris yang baik ya?”

Niken sering sekali menggunakan sebutan “Sis” kepada kawan perempuan dan “Bro” kepada kawan laki-laki.

“Mana aku tahu kalau itu dari bahasa bule sana,” jawab Zahra nyinyir.

“Sekarang di internet sudah ada website baru dengan format yang baru pula, namanya Facebook. Di Facebook itu, kita bisa mencari teman-teman kita dan terhubung dengan mereka langsung.”

“Bukannya website yang lainnya juga seperti itu?” tanya Zahra sambil memasukkan mie ayam kedalam mulutnya yang mungil.

“Pada prinsipnya sih sama saja, tapi di facebook ini ada kolom komentar. Jika teman kita sedang melakukan suatu kegiatan, kita bisa memberikan komentar padanya secara langsung. Dan disana juga bisa mengupload foto-foto kita sehingga bisa dilihat oleh teman-teman yang lain. Istimewanya lagi, mereka juga bisa memberikan komentarnya atas foto-foto tersebut. Nah, gimana gak asyik tuh?” ujar Niken dengan bangga.

“Hmm, boleh juga di coba tuh! Tapi aku belum tahu cara memulainya, jadi... tolong ajarin aku ya?” pinta Zahra usai meneguk es teh manisnya.

“Boleh saja, tapi pake handphone kamu or kita ke warnet saja ya? Soalnya pulsa aku sudah hampir habis nih!”

“Oke deh, Sis! Be te we mie ayamnya gak dimakan nih? Sudah dingin sedari tadi loh gara-gara kamu pesbukan terus. Kalau gak kamu makan, buat aku saja deh? Aku juga gak nolak kok, kan yang bayar tetap kamu.“ Zahra nyengir kuda sambil mencoba meraih mangkok mie ayam Niken.

“Weits, gak bisa dong! Yang jelas perut aku tetap kudu diisi dulu. Nanti kalau perutku berbunyi kukuruyuk, aku gak akan bisa konsentrasi ngajarin kamu Facebook-an lah... “

Dengan lahap Niken menyuapkan mie ayam itu kedalam mulutnya. Dalam hitungan tiga menit, mie itu sudah lenyap dari mangkoknya.

“Hebat... hebat... hebat... kamu kelaparan berat ya? Tuh minumnya sekalian. Kalau masih kurang, botolnya bisa kamu minum juga. Ha... ha... ha...,” ledek Zahra geli karena tak tahan melihat kelakuan Niken yang maruk banget.

***

Di warnet, Niken memberi instruksi bagaimana memulai Facebook pada Zahra. Karena begitu mudahnya mengoperasikan website tersebut, Zahra tidak mengalami kesulitan dalam mempraktekkannya sendiri. Kini dia sudah bisa mengoperasikannya sendiri tanpa bantuan Niken.

“Hmm... aku mau cari siapa ya? Gimana kalau Haykal saja deh. Musti add nama dia dulu nih!”

Jari-jari Zahra dengan lincahnya menuliskan sebuah nama yang sangat dikenalnya.

“Haykal Sandriano. Hmm dia sudah masuk facebook ini belum ya?” tanyanya dalam hati. Tanpa di tunda lagi jari telunjuknya segera menekan tombol enter.

Haykal adalah teman dekat Zahra – masih satu sekolah – belum jadi pacar sih, kebetulan masih dalam taraf pe de ka te, tetapi Zahra sudah tahu jika Haykal suka padanya.

Beberapa nama disertai foto pun keluar. Kursor pun digerakkan oleh Zahra untuk mencari orang yang dituju.

“Nah, ini dia! Aku akan add dia menjadi temanku.”

Zahra kemudian menambahkan nama Haykal menjadi teman di Facebook, dan dia mencoba lagi mencari beberapa nama yang pernah dia ingat dan kenal. Zahra juga memberikan serta membalas komentar untuk teman-temannya yang sedang online saat itu. Pokoknya Zahra jadi kecanduan juga dengan yang namanya Facebook, sama seperti Niken.

“Eh, statusku sudah ada yang mengomentari, harus segera dibalas nih,” serunya girang. Begitulah seterusnya, setiap ada berita masuk, Zahra akan segera membalasnya dengan penuh semangat.

Akibatnya, seharian ini Zahra sibuk dengan website barunya, sampai tidak terasa waktu sudah menunjukkan jam lima sore. Alarm di tangan Zahra pun berbunyi.

DRRRRTTTTTT.

“AAAhhhhhh.... sudah jam lima?” teriaknya histeris.

Niken yang berada dimeja sebelah terkejut saat mendengar suara teriakan Zahra yang melengking bagaikan bunyi sirine ambulance.

“Kamu kenapa sih, Ra?” tanyanya penasaran.

Zahra terlihat risau sekali. Wajahnya tegang dan bibirnya mengatup rapat. Tampak sekali jika dia mengkhawatirkan sesuatu.

“Seharusnya aku ikut les balet jam tiga tadi.” Zahra melihat jam tangannya, dan tersenyum kecut.

Aku jadi bolos les nih. Gimana dong kalau guru lesku menelpon orangtuaku. Bisa-bisa nanti aku kena marah mereka,” ujarnya risau.

“Duh, kirain ada apa. Gak usah bingung, Sis!”

Bilang saja tadi kamu ada pelajaran ektra kurikuler di sekolah, dan gak bisa ditinggal. Ok, Sis?”

Niken mengangkat tangannya untuk berhigh five dengan Zahra.

“OK deh, Sis!” Zahra menyambut high five tersebut.

“Sekarang kita lanjut lagi or go home?” tanya Niken sambil membereskan poninya yang jatuh ke dahinya.

“Lanjut lagi dong! Nanggung nih. Pulangnya nanti saja jam enam ya?” pinta Zahra.

***

Sudah hampir tiga minggu Zahra kecanduan dengan Facebook, dan selama itu pula beberapa kegiatan les yang biasa diikutinya tidak dihadirinya. Dimulai dari les Balet, les Bahasa Perancis, hingga ke les Piano. Hebatnya lagi, Zahra kini sudah pintar mencari-cari alasan untuk menghindari semua kegiatan tersebut jika ibunya menanyakan kabar semua kegiatannya. Alasannya antara lain; “Guru-guru les balet semuanya sedang ke Paris karena disana sedang ada festival pertunjukan Balet, sekolahnya diliburkan sampai bulan depan” atau “Guru pianonya sedang sakit karena jari-jarinya ketiban tangga sewaktu mencoba naik ke atas genteng, jadi beliau tidak bisa mengajar selama sebulan dan mereka tidak punya guru pengganti” dan masih banyak segudang alasan yang bisa diberikan kepada ibunya.

Bagi Zahra, bukan masalah lagi deh kalau harus ngasih alasan-alasan sederhana yang seperti itu. Yang terpenting dia bisa Facebook-an ria selama yang dia suka. Sejak sepulang sekolah, dia sudah nongkrong di warnet. Pulang ke rumahnya, sudah Facebook-an lagi dengan laptop. Jam tidur pun tidak bisa dilewatkan begitu saja, handphone ditangan pun jadi sasaran untuk ber-Facebook ria.

“Wueleh... wueleh... kamu bener-bener sudah nyandu ya dengan Facebook.” Suara Niken tiba-tiba menyeruak di dekat telinga Zahra yang saat itu sedang duduk sendiri di kantin sekolah.

Zahra diam saja tak bergeming dari tempatnya.

“Ternyata kamu lebih gila dari aku, Ra. Sekarang gantian aku yang kamu cu-ex in” ujar Niken cemberut sambil menepuk halus pundak Zahra yang saat itu sedang asik mengutak atik handphonenya.

Zahra menoleh pada Niken dan tersenyum, “ Sorry ya, Sis. Soalnya Facebook ini bikin aku penasaran terus setiap waktu. Selalu aja ada kabar atau gosip terbaru dari temen-temen. And yang pasti aku jadi bisa tahu dong kegiatan Haykal dan dengan siapa saat ini Haykal berhubungan.”

“Hmm... Haykal ya?” Niken termenung sesaat.

“Ada apa? Ada yang salah dengan Haykal?” tanya Zahra curiga.

“Eeh, enggak! Aku cuma bingung. Katamu Haykal sudah jadi pacarmu, tapi kok aku sering melihat dia jalan dengan Arini? Kamu lagi marahan dengannya ya?” desak Niken.

Wajah Zahra berubah pucat. Tampak sekali dia agak kurang suka mendengar kabar yang satu ini.

Memang beberapa minggu ini sejak Zahra mengenal Facebook, Zahra tidak pernah terlihat bersama-sama lagi dengan Haykal. Padahal Haykal sudah berulang kali mencoba menghubunginya – setiap Haykal menghubunginya pada saat itu pula Zahra selalu sedang berkonsentrasi dengan Facebook-nya – selalu ditanggapi Zahra dengan nada yang datar-datar saja. Beberapa kali pula Haykal mencoba mengajaknya pergi ke suatu tempat, tetapi Zahra selalu menolaknya dengan halus. Saat itu Zahra lebih memilih Facebook dibandingkan Haykal.

“Zahra, kamu kenapa sih enggak mau jalan lagi dengan aku?” tanya Haykal suatu kali.

“Duh, bukannya aku gak mau jalan sama kamu Haykal. Aku cuma lagi malas pergi kemana-mana karena baru datang tamu di hari pertama nih!” jawabnya segan.

“Mungkin besok aku bisa menemani kamu pergi. Bagaimana?” pinta Zahra dengan sedikit memberi harapan pada Haykal.

“Baiklah! Besok, aku tunggu disini, di warung Pak Bejo. Tapi kamu jangan sampai lupa Ra.” Haykal tersenyum senang karena merasa mendapat harapan dari Zahra.

“Pasti dong!” jawab Zahra mantap sambil mengacungkan jempol.

Ternyata harapan tinggal harapan, Haykal sudah terlalu lama menunggu kedatangan Zahra di warung Pak Bejo. Dengan langkah gontai dia meninggalkan warung tersebut dengan perasaan kecewa, sedangkan Zahra sudah lupa dengan janjinya pada Haykal dan tetap asik ber-Facebook ria dengan Niken.

Sejak saat itu Haykal tak pernah lagi mencoba menghubungi ataupun mengajak Zahra pergi. Haykal pun kadang berkomentar biasa-biasa saja jika Zahra ber say hello padanya di Facebook.

Suara Niken membuyarkan lamunan Zahra, “Sis, jangan terlalu memilih Facebook, dong? Bisa-bisa Haykal kabur dengan cewek lain loh! Memangnya kamu sudah siap kehilangan dia?”

“Aku enggak kehilangan dia kok. Aku masih tetap berhubungan dengannya. Tuh lihat, aku selalu kontak dengannya melalui Facebook ini. Kamu lihat kan? Aku selalu memberikan komentar untuknya,” ujar Zahra miris seraya menodongkan handphone nya pada Niken agar Niken bisa melihat apa yang dia lakukan pada Haykal.

“Aku sih percaya kalau kamu masih berhubungan dengannya, Ra. Tapi, orang lain tanggapannya berbeda. Mereka pikir kamu sudah tidak ada hubungan lagi dengan Haykal, dan Haykal sekarang sedang jadi sasaran empuk cewek-cewek yang selalu mengincar dia sejak dulu. Haykal kan orang paling ganteng di sekolah kita, and pintar juga. Sudah pasti banyak yang suka pada dia. Enggak ada deh orang yang pantas bersama dia kecuali kamu. Karena kalian tuh pasangan ideal di sekolah bagiku,” celoteh Niken tanpa henti. Dia ingin Zahra benar-benar mengerti akan maksud ucapannya.

Zahra hanya duduk terdiam menunduk dan memandangi handphone yang sedang dipegangnya. Tak terasa setetes air terjatuh mengenai handphone tersebut.

“Kalau kamu tidak menginginkannya, banyak yang akan mencoba mengambilnya darimu mungkin termasuk aku. Aku tahu Haykal sudah terlalu baik buatmu, masa hanya dengan website seperti itu Haykal bisa tergantikan dari sisimu,” ujarnya lagi.

Zahra tergugu dan meradang. Matanya mulai banjir dengan air mata.

Haykal memang terlalu baik untuk Zahra. Zahra mencoba mengingat kembali pada saat itu dia sedang sakit cacar dan tidak bisa masuk sekolah selama beberapa hari. Padahal sebentar lagi akan ada ujian semester. Satu-satunya teman yang selalu memberi perhatian padanya hanya Niken dan Haykal.

Zahra baru mengenal Haykal di kelas dua. Mereka masuk dikelas yang sama, jurusan IPA. Sejak awal masuk kelas itu Haykal sudah menunjukkan perhatiannya pada Zahra. Apalagi disaat sakit seperti ini, dia lebih antusias lagi menunjukkan perhatiannya. Selama Zahra sakit, Haykal selalu membawakan buku catatan pelajaran serta PR yang diberikan hari ini dari sekolah untuk Zahra. Dia berharap Zahra tidak akan ketinggalan pelajaran karena sudah mendekati ujian.

“Haykal, kamu enggak perlu meminjamkan buku catatanmu untukku dong. Nanti kamu belajarnya dari mana jika buku ini ada bersamaku?”

“Tenang saja. Aku sudah menyiapkan copy-nya kok! Jadi kamu enggak usah khawatir ya?” jawab Haykal santai.

Zahra tersenyum malu. Haykal baik sekali mau menemaninya disaat seperti ini. Padahal tubuhnya penuh dengan cacar, dan Zahra sendiri takut melihat wajahnya di kaca. “Seperti monster, “ pekiknya dalam hati.

Kondisi Zahra saat itu benar-benar membuatnya sangat minder karena harus berhadapan dengan Haykal dan Zahra juga takut Haykal akan tertular penyakitnya ini. Akan tetapi Haykal tampaknya tidak memperdulikan hal tersebut. Haykal terkesan tidak merasa jijik dengan cacar yang menempel di tubuh Zahra.

Disaat orang lain menjauhi dirinya, justru Haykal berusaha mendekatinya. Disaat orang lain membuang muka darinya, Haykal menatapnya dengan penuh sayang. Disaat orang lain mencemooh penyakitnya, Haykal memberinya kekuatan untuk menghadapi penyakit tersebut. Sungguh hal ini membuat Zahra menjadi terharu, karena Haykal telah bersedia menemaninya disaat susah dan itu adalah perhatian yang tidak bisa dibayar dengan apapun.

“Sekarang waktunya minum obat, Non.” Celetuk Haykal sambil menyodorkan beberapa pil untuk diminum Zahra.

Dada Zahra semakin terasa sesak karena mengingat kejadian tersebut. Zahra termenung lama sekali dan air mata masih membasahi pipinya.

“Aku... aku... tidak bermaksud menggantikan Haykal dengan website ini Niken. Aku tidak tahu mengapa hal ini bisa begitu menyita semua perhatianku. Aku sepertinya tidak sanggup untuk berhenti. Sudah kucoba menahan semua keinginan terbesarku untuk membuka Facebook, tetapi tetap saja aku selalu kalah dengan keinginan ini,” ujarnya menyesal.

“Aku tahu, kamu tidak akan pernah mencoba menggantikan Haykal dengan yang lain Zahra. Konsentrasimu hanya terfokus pada candu Facebook ini saja.” Niken mengusap pundak sahabat karibnya.

“Sekarang aku harus bagaimana? Haykal mungkin sudah tidak mau menemuiku lagi.” Katanya sedih.

“Yah, kita berusaha dulu. Jangan cepat mengambil kesimpulan negatif dulu dong. Tetap optimis, Sis! Oke?” Niken mengepalkan tinjunya ke udara.

“Oke!”

Keduanya tersenyum riang dan saling berpelukan.

“Satu lagi yang ingin aku ceritain ke kamu Niken,” ujar Zahra tiba-tiba.

“Apa lagi?”

“Aku kena marah ibuku gara-gara Facebook juga,” kata Zahra malu.

“Wah, itu sudah pasti. Aku sudah bisa menebaknya kok! Terus bagaimana ceritanya?” tanya Niken antusias.

“Seluruh guru lesku menelpon ke rumah. Sialnya, yang menerima telepon mereka itu adalah ibuku. Ibuku marah hebat ketika menerima laporan ketidak hadiranku dari mereka, apalagi setelah tahu tagihan telepon membengkak – karena sering internetan – termasuk tagihan handphoneku.”

“Lalu?” selidik Niken penasaran.

Dengan wajah lesu Zahra menimbang-nimbang Handphone ditangannya. “Pulsaku dibatasi, uang jajanku pun dibatasi, dan Pak Jaya menjadi bodyguardku deh.”

“Haa... Bodyguard? Yang bener, akh!” seru Niken kaget tak percaya.

“Bodyguard untuk apa?” tanyanya kemudian setelah kagetnya hilang.

“Bodyguard untuk menjagaku supaya tidak bolos les lagi,” seru Zahra kesal.

“Ha ha ha, sudah nasibmu kali ya? Terima and pasrah saja deh. Itu juga kan gara-gara ulahmu sendiri.”

“Daripada Pak Jaya yang jadi Bodyguardnya, lebih baik Haykal saja yang menjadi bodyguardku,” gerutu Zahra.

Niken terkikik geli karena melihat ulah Zahra. “Pak Jaya tuh sudah tua, Sis. Kamu pergi dengan berlari kemana pun dia gak akan bisa ngikutin kamu. Napasnya pasti sudah ngos-ngosan sebelum sampai sepuluh langkah mengejarmu. So, ga ada masalah dong kalau dia jadi bodyguardmu. Toh, kamu tetep bisa kabur dari les.”

Perkataan Niken seperti membuahkan ide baru ke otak Zahra.“Hei, bener juga tuh omonganmu!”

Tapi Zahra kemudian berpikir ulang kembali. “Akh, tapi enggak deh. Aku takut dosa sama orang tua. Hei, lebih baik kita cari Haykal sekarang. Kamu mau kan menemaniku mencarinya?” pinta Zahra dengan wajah memohon.

“Dengan sepenuh hatiku, Sis.” Niken pun merangkul bahu Zahra.

***

Tampak dari kejauhan Haykal akan masuk ke Ruang Perpustakaan dan terlihat oleh Zahra dan Niken seorang gadis berusaha menggandeng tangan Haykal dari belakang. “Itu Arini,” pekik mereka berdua.

“Haykal! Tunggu!” teriak Niken tiba-tiba.

Haykal menoleh ke arah mereka. Ketika tahu siapa yang memanggilnya, Haykal melanjutkan langkahnya memasuki Ruang Perpustakaan.

Arini pun menoleh pada mereka, tampak sekali dia terkejut. Tapi kemudian dia tersenyum ketika tahu Haykal tidak merespon panggilan Niken.

“Eh, ngapain kamu kesini?” tanya Arini sinis pada Zahra dan Niken.

“Loh? Suka-suka kita dong mau kemana. Lagipula Perpustakaan ini terbuka untuk seluruh murid artinya tidak tertutup untuk kita juga,” cibir Niken pada Arini.

“Ra, kamu sekarang masuk kedalam deh. Biar cewek centil and gatel ini aku yang urus,” perintah Niken pada Zahra.

“Kamu bilang apa barusan? Centil? Gatel?.....” suara Arini terdengar marah pada Niken, tapi Zahra tidak perduli dengan ocehannya itu dan segera mengejar Haykal masuk kedalam Perpustakaan.

Di dalam ruangan yang penuh rak dan buku-buku tersebut, Zahra melayangkan pandangannya keseluruh penjuru ruang. Matanya kemudian menangkap tubuh seorang laki-laki yang mirip dengan perawakan Haykal. Zahra pun menghampirinya.

“Haykal!” panggilnya pada cowok itu.

Haykal tampak tak bergeming sekalipun saat Zahra memanggilnya.

“Haykal, aku tahu kamu masih marah kepadaku. Aku sungguh menyesal atas perlakuanku padamu saat itu. Aku mohon, maafkan aku. Aku memang cewek yang gak tahu malu dan gak punya perasaan. Aku menyesal sekali karena terlalu terlena pada dunia maya itu dan aku telah menyia-nyiakan kamu,” sesal Zahra pada Haykal.

Haykal masih tetap diam dan membelakangi Zahra.

“Haykal? Marahmu sudah tidak bisa diredakan lagi ya? Aku benar-benar menyesal telah membuatmu marah seperti ini. Tapi tolong janganlah kamu memusuhiku dan meninggalkanku begitu saja. Aku tidak mau jika kamu sampai pergi menjauhiku dalam keadaan yang seperti ini,” pinta Zahra dengan memelas.

“Jadi jika keadaannya berbeda, kamu mau dijauhi olehku?”

Suara Haykal akhirnya keluar juga, tetapi dia tetap membelakangi Zahra.

Zahra tercekat. Seluruh persendiannya lemas. Sewaktu melihat Haykal menjauhinya tadi saja Zahra sudah kelimpungan, apalagi melihat Arini mencoba mendekati Haykal. Hatinya semakin gelisah.

“Seandainya sejak awal hubungan kita tidak terganggu, aku mungkin tidak akan menyadari bahwa sebenarnya aku tidak bisa jauh darimu.” Zahra pun menangis terisak-isak.

“Kamu memang tidak seharusnya aku sakiti, dan aku tidak mau kamu menjauhiku baik dalam situasi buruk sekalipun. Aku menyukaimu dengan sepenuh hatiku. Aku tidak mau kamu meninggalkanku karena aku sayang kamu Haykal, ” sebuah pengakuan meluncur dari mulut mungil Zahra.

Tiba-tiba sepasang lengan memeluk Zahra dari belakang. Zahra terkejut dan ketakutan. Ketika dia ingin berteriak memanggil Haykal yang berada di depannya , pemilik lengan itu memberi isyarat agar dia tutup mulut dengan membungkam mulut Zahra.

“Aku senang sekali mendengar pengakuanmu tadi Zahra, kini biarkan aku memelukmu hanya sebentar saja. Please!”

Mata Zahra terbelalak kaget dan dia kemudian menangis tersedu-sedu. Ternyata sang pemilik lengan adalah Haykal dan lengan Haykal kini tidak membungkam mulutnya lagi. Haykal kini berhadapan dengannya dan memeluknya dengan erat sekali.

“Aku tidak akan pernah bisa marah padamu Zahra, aku hanya memberimu waktu untuk sendiri dan bersenang-senang dengan kesibukanmu. Kupikir itu hanya kesenangan sesaat saja dan mungkin sebentar lagi kamu pun akan mulai bosan dan meninggalkannya. Sekalian aku juga ingin tahu isi hatimu yang sebenarnya padaku. Apakah kamu akan merindukanku jika aku tidak berada disampingmu. Itu yang aku ingin tahu,” ujar Haykal sambil mengusap air mata Zahra

“Dan kini kamu telah tahu seluruh isi hatiku?” Zahra tersenyum bahagia dan mencoba memeluk Haykal.

Tiba-tiba sebuah suara garang menegur mereka, “ Ehem... ehem... maaf ya ruang Perpustakaan ini bukan tempat untuk berpacaran.”

Haykal dan Zahra kaget sekali, tapi ketika tahu darimana suara itu berasal, mereka pun sama-sama tertawa. Ternyata suara itu berasal dari mulut Niken.

“Sebentar. Jika kamu tadi berdiri dibelakangku, lalu siapa yang berdiri dihadapanku dan membelakangiku sejak tadi? Perawakannya mirip sekali denganmu.” Zahra penasaran karena sejak tadi dicu-ex in oleh orang yang mirip Haykal ini.

“Perkenalkan,” kata Haykal dengan gaya seorang pesenter. “Dia adalah kembaran identikku alias patung diriku yang kubuat untuk pelajaran seni rupa nanti.”

“HAAAA.... “ Zahra dan Niken membelalakkan matanya.

“Sialan! Ternyata dari tadi aku hanya berbicara sama patung ya? Hu uh!” gerutu Zahra kesal.

Niken dan Haykal menertawai tingkah Zahra yang cemberut karena kesal.

Jatibening, 08 Mei 2009

Rumah Angker Bag. 2

Jajang, Badri dan Radit berjalan pelan-pelan memasuki rumah angker. Jajang berada di posisi terdepan karena dia yang paling berani dibandingkan kedua kawannya. Sedangkan Radit dan Badri mengikutinya dari belakang dengan gemetar dan mimik ketakutan terpancar di wajah mereka.

Kini mereka telah berada di dalam ruang tamu. Keadaan di ruang tamu ini tidak terlalu gelap karena masih tertolong cahaya lampu jalanan yang masuk ke jendela rumah.

“Jang, sampai di sini saja. Jangan masuk lebih dalam lagi ya? Aku takut sekali. Soalnya di dalam gelap sekali,” ucap Badri setengah berbisik pada Jajang.

“Ahh. Ini sih belum ada apa-apanya, Dri! Kamu penakut sekali,” sindir Radit.

“Aku ini memang penakut. Kamu sendiri? Apa kamu bukannya penakut? Tuh, lihat!” Badri menunjuk kaki Radit yang terlihat gemetar.

“Ssshhh! Sekarang kita ke dalam. Oke?” Jajang mengajak kedua kawannya untuk masuk lebih dalam lagi.

Suasana di bagian dalam sungguh tidak mengenakan. Gelap gulita. Mereka jadi tidak bisa melihat satu sama lainnya. Jajang kemudian menyalakan senter yang sejak tadi dipegangnya. Lampu senter pun menyala. Dengan bantuan lampu senter tersebut, Jajang mencari titik stop kontak untuk menyalakan lampu di ruang tengah.

Klik! Stop kontak lampu telah ditemukan dan lampu ruangan kini menyala. Badri dan Radit bisa melihat satu sama lainnya dengan jelas.

“Wah... kalau lampunya terang begini sih, aku tidak takut,” ujar Badri sedikit lega.

“Nah kita nyalakan semua lampu di sini saja,” usul Radit. Tanpa perlu berpikir lebih lama lagi semua lampu dalam rumah mereka nyalakan.

“Nah, sekarang kita tinggal menunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya,” ujar Jajang tenang.

Sambil menunggu waktu, mereka bertiga ngobrol di sofa yang berada di ruang tengah. Tiba-tiba semilir angin dingin berhembus masuk ke dalam rumah dan langsung mengenai tengkuk mereka. Bulu kuduk mereka seketika meremang dan... sebuah suara yang begitu keras dan nyaring terdengar dari arah teras belakang. GGGGGRRRRRROOOOORRRRAAAARRRRRRRRRR!

Ketiga pasang mata milik tiga sekawan itu terbelalak kaget. Badri dan Radit langsung saling memeluk. Tanpa diduga oleh kedua kawannya, Jajang segera mencari tahu ke teras belakang.

“Ada sesuatu di teras belakang,” bisik Badri ketakutan.

“Pasti mahkluk halus itu sudah mulai menampakkan diri di sana,” balas Radit dengan berbisik pula.

“Ayo kita ikuti si Jajang,” ajak Badri.

“Aku ngeri, Dri! Lebih baik kita tunggu Jajang di sini saja.”

“Solider pada teman dong! Masak Jajang beroperasi sendirian,” desak Badri.

“Oke, deh!” Radit memegang baju Badri dengan kencang.

“Kamu jalan duluan, ya?” tawar Badri.

Radit menggeleng kesal. “Kamu yang ngajak, ya kamu yang duluan,” ujarnya bersungut-sungut.

Dengan langkah hati-hati, Badri dan Radit berjalan menuju teras belakang untuk mencari Jajang.

Tiba-tiba sebuah bayangan hitam disertai sebuah lengkingan nyaring mengerikan datang dari arah belakang. Menyerbu masuk dan menabrak mereka berdua. Spontan keduanya lari ketakutan sambil berteriak-teriak.

Bersambung...

Selasa, 25 Agustus 2009

SONYA’S BIG PROBLEM

Sonya terpekur menatap billing tagihan kartu kredit yang menumpuk di hadapannya. Dia hanya bisa memandangi tagihan-tagihan tersebut dengan pandangan hampa. Pikirannya kosong. Hanya ada satu pertanyaan yang timbul dalam benaknya saat ini.

“Bagaimana caranya agar aku bisa membayar semua tagihan ini?”

Sonya gadis manis keturunan Sunda ini nampak bingung. Sudah tiga jam dia duduk menyendiri dalam kamar, menatapi tumpukan amplop dari berbagai Bank yang tidak akan pernah hilang dari hadapannya. Ingin rasanya dia menangis meraung-raung seperti anak kecil dan berharap ada yang iba padanya. Kemudian memberikan bantuan keuangan padanya. Tetapi hal itu sangat tidak mungkin terjadi.

Sekali lagi Sonya hanya bisa berandai-andai. Jika dia seorang penyihir, dia akan membuat semua tagihan-tagihan ini menghilang seperti asap. WUSSHHHH!!!

Atau mungkin juga dia akan mengubah tagihan-tagihan tersebut menjadi bergepok-gepok uang seratus ribuan. Agar dia bisa melunasi semua hutang-hutangnya. Agar para kolektor yang menagihnya tidak mencercanya lagi. Agar orangtuanya dan kekasihnya tidak memarahinya lagi gara-gara urusan kartu kredit ini.

Saat Sonya masih bergelut dengan berbagai angan-angan dalam pikirannya, terdengarlah suara Adzan Maghrib bersahut-sahutan dari kejauhan. Sonya yang masih terpekur dalam kegalauan, sebenarnya tidak begitu memperdulikan suara Adzan itu. Tapi sebuah bisikan lembut dalam dirinya menyuruhnya mendengarkan suara Adzan. Perlahan-lahan pikirannya beralih dan mencoba mendengarkan panggilan Adzan tersebut.

Hatinya menjadi terenyuh saat dia mendengarkan suara Adzan dengan seksama. Air matanya mengalir membasahi pipinya yang bulat. Dia telah meninggalkan Tuhan begitu lama. Dia telah melalaikan semua perintah-Nya. Dia telah melupakan shalat dan dia semakin jauh dari agama. Dia kemudian merasa jijik pada diri sendiri. Dia tahu tentang agama, tetapi tidak mau melaksanakan perintah-Nya.

Hatinya berkecamuk dengan hebat. Semakin dia berusaha memikirkan semua permasalahan yang sedang dihadapinya, maka semakin hebat pulalah dorongan dalam dirinya untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Dia semakin ingin memohon ampunan atas segala dosa-dosanya. Sungguh ironis sekali. Di saat manusia tengah dilanda masalah dan kesusahan, mereka barulah mengingat Tuhan. Tapi di saat senang, mereka selalu melupakan-Nya.

Dia merutuki dirinya yang tidak pernah mau membuka matanya atas kehidupan dunia. Dia tergoda atas segala kemewahan dunia. Uang panas dalam kartu kredit itu bukanlah miliknya. Tapi dia telah menghambur-hamburkannya demi memenuhi kepuasan dirinya semata. Kini baru Sonya menyadari, kenikmatan duniawi yang dijalaninya itu hanyalah semu. Dia semakin terperosok dalam lilitan hutang yang kian mencekik leher.

Untuk menutupi setiap tagihan satu kartu, dia mengambil dari kartu kedua. Kemudian untuk menutupi kartu kedua, dia menutup lagi dari kartu ketiga. Begitu seterusnya. Bisa dibayangkan jika Sonya memiliki sebelas kartu kredit. Tagihan sebelas kartu pun semakin menjulang tinggi nilainya. Apalagi jika dia tidak membayarkan tagihan tersebut selama tiga bulan?

Para penagih hutang pun semakin menerornya. Pada awalnya Sonya masib sabar dengan ocehan-ocehan para kolektor itu jika mereka berkata dengan kasar. Tetapi terkadang rasa sabar Sonya tidak bisa lagi di tahan. Akhirnya dia juga ikut bersitegang dengan para kolektor atau mematikan ponselnya agar mereka tidak bisa menghubunginya. Akibatnya, mereka beralih menghubunginya ke kantor atau ke rumahnya. Ujung-ujungnya, saudara terdekatnya pun di hubungi mereka. Akibat ulah para penagih itu, Sonya menjadi sasaran kemarahan orang tuanya juga saudaranya. Belum lagi rasa malu yang dia dapatkan di kantor.

Semua orang di kantor sudah pasti membicarakannya dengan nada sinis. Sonya berusaha menutupi rasa malunya dengan memasang muka tembok. Kemudian untuk menghentikan ulah para penagih, dia mencoba meminjam dari kantor untuk melunasi hutang-hutangnya. Tapi pengajuan pinjaman tersebut tidak bisa diperolehnya, karena pinjaman yang lalu belum dapat dia lunasi.

Kini Sonya semakin tersudut. Dalam kebingungannya untuk mencari-cari pinjaman dana, dia mendapat berita buruk lagi. Dia terkena pemutusan kerja. Harapannya tinggal satu. Uang pesangon selama dia mendedikasikan diri pada perusahaan menjadi harapan utamanya sekarang. Tapi ternyata, kenyataan berkata lain. Dia tidak mendapatkan pesangon sepeser pun, karena pesangonnya itu telah dipotong untuk menutupi hutang-hutangnya di kantor. Sonya pun kian nelangsa.

Sonya pernah mengingat sebuah ayat dalam Al Qur’an (QS. Yassin : 82) yang berkata, “Sesungguhnya jika Allah menghendaki sesuatu, hanya berkata : “Jadilah!” maka jadilah ia.”

Ya, Sonya merasa bahwa Allah saat ini sedang memberikannya suatu cobaan yang memang harus dihadapinya. Sonya sadar, dia tidak boleh lari lagi. Dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya kepada dunia dan juga kepada Tuhan.

Perlahan Sonya bangkit. Dia berjalan menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu. Saat berwudhu, Sonya tak henti-hentinya menangis.

“Ya, Allah! Aku manusia yang paling berdosa. Aku manusia yang paling hina. Aku telah melupakan-Mu. Aku patut Engkau hukum, Ya Allah! Aku malu kepada-Mu karena telah mengabaikan segala perintah-Mu wahai Sang Pemberi Kehidupan,” ujarnya pilu.

Setelah mengambil air wudhu, Sonya mencari mukena dan sajadahnya yang sudah lama tersimpan dalam lemari bertahun-tahun. Bau lemari pada perangkat shalatnya sangatlah menyengat. Tapi Sonya tidak perduli. Sonya kemudian melaksanakan sholat Maghrib dengan khusyuk. Dia curahkan segalanya dengan memanjatkan doa pada Yang Agung. Sonya telah menyadari segala kebodohannya, kekeliruannya, keteledorannya dan kelalaiannya selama ini. Satu-satunya kini yang bisa dilakukannya berdoa dan memohon ampunan-Nya serta mencoba berikhtiar.

Setelah beberapa minggu, berbagai cobaan masih saja datang pada Sonya. Suatu kali dia melihat seorang Bapak sedang memegang uang sebanyak sepuluh juta rupiah di sebuah Bank saat dia hendak membayar tagihan.

“Uang itu sangat banyak. Andai uang itu jadi milikku...,” gumamnya.

Sebuah niat jahat timbul dalam benaknya. Dia ingin menguntit Bapak itu dan merebut uang tersebut, kemudian dia gunakan untuk melunasi hutangnya. Saat hendak melangkah mendekati Bapak itu, hati kecilnya segera mengingatkannya. Sonya segera berucap, “Astagfirullah.” Dengan hati miris, dia memandangi kepergian Bapak itu dengan uang sepuluh jutanya.

“Ya Allah, tolong jauhkanlah diriku dari godaan setan yang terkutuk. Bersihkanlah diriku dari semua pikiran-pikiran kotor yang hinggap dalam otakku,” ujarnya dalam hati.

Usaha Sonya untuk melunasi hutang-hutangnya tidak akan pernah berhenti. Selain dia berdoa, dia juga berikhtiar dengan jalan menjual semua koleksi buku-bukunya dan mencoba melamar kerja lagi di beberapa tempat. Alhamdulillah, koleksi buku-bukunya bisa terjual walaupun secara bertahap. Tidak lupa pula dia menyisihkan sedikit dari penjualan buku-bukunya tersebut untuk beramal.

Ketika Sonya menghadapi tekanan lagi dari para kolektor, dia sempat berpikir untuk menjual salah satu organ tubuhnya untuk bisa mendapatkan uang dengan cara cepat. Dia terinspirasi sebuah kisah nyata yang terjadi pada seorang gadis yang mengalami kesusahan sepertinya. Gadis itu telah menjual ginjalnya sebesar tujuh puluh jutaan. Hmm, jumlah yang menggiurkan.

Tapi kekasihnya mengingatkan Sonya, dan tidak mengijinkannya untuk melakukan hal itu. Kekasihnya saja tidak mengijinkan, apalagi Allah? Apakah Dia akan mengijinkannya pula? Apakah hal ini di halalkan-Nya? Sonya menangis sejadi-jadinya.

“Aku sungguh manusia penuh dosa. Aku sungguh tidak mensyukuri segala pemberianmu.Ya Illahi, kutuklah diriku yang tak tahu diri ini. Tunjukkanlah jalan-Mu kepadaku, terangilah hatiku, Mudahkanlah segala urusanku, wahai Sang Pemberi Maaf,” sujudnya dalam doa pada suatu malam yang sunyi.

Ada satu momment lagi yang tidak bisa dia lupakan saat dia mencoba berusaha untuk ikhlas. Ketika itu Sonya baru saja keluar dari ATM. Di pintu ATM, seorang lelaki tua sedang memandanginya. Lalu lelaki itu menghampirinya.

“Neng, Bapak minta tolong. Bisa?” tanyanya memelas.

“Ada apa, Pak?” tanya Sonya dengan ragu-ragu.

“Bapak baru saja mengantar orang ke bidan di depan. Bapak terus ndak bisa pulang. Bapak kehabisan ongkos. Neng bisa bantu Bapak? Bapak butuh uang ongkos untuk pulang ke rumah. Lima belas ribu saja, Neng. Ndak banyak,” jawabnya dengan terbatuk-batuk.

“Bapak pulang ke mana?” Sonya bertanya lagi.

“Bapak pulang ke Halim, Neng!”

“Begini, Pak. Saya juga sedang tidak punya uang. Saya tidak bisa memberi Bapak uang sebesar itu.”

Memang saat itu Sonya hanya membawa uang sedikit saja. Tadi dia mencoba melihat ke ATM untuk mengambil transferan dana dari kawannya. Tapi dananya ternyata belum masuk.

“Yah, seadanya juga ndak apa-apa. Bapak terima,” ucap Bapak tua itu masih dengan wajah memelas.

Sonya yang merasa iba padanya kemudian mengeluarkan uang sepuluh ribu untuknya. Wajah Bapak tua itu menjadi sumringah. Dia mengucapkan terima kasih pada Sonya dan berlalu dari hadapan Sonya.

Lima hari kemudian, Sonya melihat Bapak tua itu lagi. Dia berdiri di tempat yang sama. Lalu Sonya berinisiatif untuk memperhatikan Bapak itu. Dan... Sonya terhenyak melihat kelakuan lelaki tua itu. Dia telah melakukan hal yang sama terhadapnya pada setiap orang yang keluar dari ATM. Ternyata Bapak itu tidak beda dengan para pengemis yang duduk di pinggir jalan yang mengharap belas kasihan orang-orang yang lalu lalang. Hanya saja caranya Bapak tua itu jauh lebih elite pikir Sonya.

“Astagfirullah.... Sabar! Sabar! Harus Ikhlas!” Sonya mencoba meredam kekesalannya terhadap Bapak itu.

“Bapak itu juga lagi cari duit buat makan. Sama aja dengan aku. Hanya caranya saja yang berbeda.” Dia meyakinkan lagi hatinya.

“Ya Rabb, mudahkanlah rejekinya dan juga rejeki diriku,” doa Sonya untuk Bapak tua itu dan untuk dirinya juga.

Sungguh sebuah kemajuan untuk Sonya Dia yang sekarang berbeda dengan Sonya dua bulan yang lalu. Kini dia terlihat lebih tegar. Sonya mencoba untuk bersabar dan tawakal dalam menghadapi semua cobaan yang tengah dihadapinya. Dia pun berusaha untuk lebih ikhlas dan berserah diri pada Yang Kuasa. Walaupun hutang-hutangnya masih menumpuk dan para penagih hutang pun masih menerornya.

Sonya merasa yakin bahwa Allah tidak akan meninggalkannya sedetik pun. Sonya berharap dapat melalui semua cobaan ini karena Allah adalah pelindungnya dan Allah tentu tidak akan memberi cobaan padanya jika dia tidak mampu melewatinya.

Keyakinan Sonya pun terbukti. Allah kemudian memberikannya berbagai kemudahan-kemudahan di hari-hari selanjutnya dengan cara yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Akhirnya Sonya mendapatkan keringanan pembayaran atas beberapa tagihan kartu kreditnya. Yah, walaupun tidak semua kartu bisa mendapatkan keringanan, tetapi dia merasa bersyukur karena permasalahannya sudah mulai bisa teratasi dan dia bisa bernafas lega kembali. Sonya lalu bersujud syukur kepada Allah.

“Terimakasih Ya, Rabb! Karena Engkau telah mendengarkan doa-doaku selama ini. Engkau telah memudahkan jalanku pula. Engkau yang telah memberikan kekuatan dalam diriku, membuatku semakin percaya diri untuk dapat melalui semuanya. Aku sangat bersyukur atas semua pemberian-Mu. Terimakasih sekali lagi dari lubuk hatiku yang paling dalam atas semua rizky yang telah Engkau berikan kepadaku selama ini. Amin.”