Rabu, 09 September 2009

Candu Facebook

“Nik, kamu lagi ngapain sih? Dari tadi aku lihat kamu sibuk ngutak ngatik handphone terus. Apa gak pegel tu jari? SMS-an sama siapa sih? Cowok kamu si Tatang yang rambutnya jabrik itu ya? ”

Zahra gemes melihat Niken selau sibuk dengan handphone-nya sejak pulang sekolah tadi. Mie ayam Pak Bejo yang nongkrong didepan matanyapun belum disentuh Niken. Rasanya pasti sudah tidak enak lagi, karena sudah dingin.

“Bukan! Aku lagi nyoba Facebook dari handphone nih!” jawab Niken santai.

Zahra merasa asing mendengar kata ajaib yang meluncur dari mulut Niken.

“Pesbuk? Apaan tuh? Sejenis sabuk pengaman ya?” tanya Zahra penasaran.

“Haaaa...??? Payah banget! Hari gini belum tahu yang namanya Facebook? Kemana aja kamu, Non? Gaptek banget deh.” Niken mencibir pada Zahra.

“Hei! Aku nanya beneran Non! Memangnya Pesbuk itu apa?” Zahra sewot karena tidak senang dibilang payah oleh Niken.

“Facebook, Sis! Bukan pesbuk! Gak tahu bahasa Inggris yang baik ya?”

Niken sering sekali menggunakan sebutan “Sis” kepada kawan perempuan dan “Bro” kepada kawan laki-laki.

“Mana aku tahu kalau itu dari bahasa bule sana,” jawab Zahra nyinyir.

“Sekarang di internet sudah ada website baru dengan format yang baru pula, namanya Facebook. Di Facebook itu, kita bisa mencari teman-teman kita dan terhubung dengan mereka langsung.”

“Bukannya website yang lainnya juga seperti itu?” tanya Zahra sambil memasukkan mie ayam kedalam mulutnya yang mungil.

“Pada prinsipnya sih sama saja, tapi di facebook ini ada kolom komentar. Jika teman kita sedang melakukan suatu kegiatan, kita bisa memberikan komentar padanya secara langsung. Dan disana juga bisa mengupload foto-foto kita sehingga bisa dilihat oleh teman-teman yang lain. Istimewanya lagi, mereka juga bisa memberikan komentarnya atas foto-foto tersebut. Nah, gimana gak asyik tuh?” ujar Niken dengan bangga.

“Hmm, boleh juga di coba tuh! Tapi aku belum tahu cara memulainya, jadi... tolong ajarin aku ya?” pinta Zahra usai meneguk es teh manisnya.

“Boleh saja, tapi pake handphone kamu or kita ke warnet saja ya? Soalnya pulsa aku sudah hampir habis nih!”

“Oke deh, Sis! Be te we mie ayamnya gak dimakan nih? Sudah dingin sedari tadi loh gara-gara kamu pesbukan terus. Kalau gak kamu makan, buat aku saja deh? Aku juga gak nolak kok, kan yang bayar tetap kamu.“ Zahra nyengir kuda sambil mencoba meraih mangkok mie ayam Niken.

“Weits, gak bisa dong! Yang jelas perut aku tetap kudu diisi dulu. Nanti kalau perutku berbunyi kukuruyuk, aku gak akan bisa konsentrasi ngajarin kamu Facebook-an lah... “

Dengan lahap Niken menyuapkan mie ayam itu kedalam mulutnya. Dalam hitungan tiga menit, mie itu sudah lenyap dari mangkoknya.

“Hebat... hebat... hebat... kamu kelaparan berat ya? Tuh minumnya sekalian. Kalau masih kurang, botolnya bisa kamu minum juga. Ha... ha... ha...,” ledek Zahra geli karena tak tahan melihat kelakuan Niken yang maruk banget.

***

Di warnet, Niken memberi instruksi bagaimana memulai Facebook pada Zahra. Karena begitu mudahnya mengoperasikan website tersebut, Zahra tidak mengalami kesulitan dalam mempraktekkannya sendiri. Kini dia sudah bisa mengoperasikannya sendiri tanpa bantuan Niken.

“Hmm... aku mau cari siapa ya? Gimana kalau Haykal saja deh. Musti add nama dia dulu nih!”

Jari-jari Zahra dengan lincahnya menuliskan sebuah nama yang sangat dikenalnya.

“Haykal Sandriano. Hmm dia sudah masuk facebook ini belum ya?” tanyanya dalam hati. Tanpa di tunda lagi jari telunjuknya segera menekan tombol enter.

Haykal adalah teman dekat Zahra – masih satu sekolah – belum jadi pacar sih, kebetulan masih dalam taraf pe de ka te, tetapi Zahra sudah tahu jika Haykal suka padanya.

Beberapa nama disertai foto pun keluar. Kursor pun digerakkan oleh Zahra untuk mencari orang yang dituju.

“Nah, ini dia! Aku akan add dia menjadi temanku.”

Zahra kemudian menambahkan nama Haykal menjadi teman di Facebook, dan dia mencoba lagi mencari beberapa nama yang pernah dia ingat dan kenal. Zahra juga memberikan serta membalas komentar untuk teman-temannya yang sedang online saat itu. Pokoknya Zahra jadi kecanduan juga dengan yang namanya Facebook, sama seperti Niken.

“Eh, statusku sudah ada yang mengomentari, harus segera dibalas nih,” serunya girang. Begitulah seterusnya, setiap ada berita masuk, Zahra akan segera membalasnya dengan penuh semangat.

Akibatnya, seharian ini Zahra sibuk dengan website barunya, sampai tidak terasa waktu sudah menunjukkan jam lima sore. Alarm di tangan Zahra pun berbunyi.

DRRRRTTTTTT.

“AAAhhhhhh.... sudah jam lima?” teriaknya histeris.

Niken yang berada dimeja sebelah terkejut saat mendengar suara teriakan Zahra yang melengking bagaikan bunyi sirine ambulance.

“Kamu kenapa sih, Ra?” tanyanya penasaran.

Zahra terlihat risau sekali. Wajahnya tegang dan bibirnya mengatup rapat. Tampak sekali jika dia mengkhawatirkan sesuatu.

“Seharusnya aku ikut les balet jam tiga tadi.” Zahra melihat jam tangannya, dan tersenyum kecut.

Aku jadi bolos les nih. Gimana dong kalau guru lesku menelpon orangtuaku. Bisa-bisa nanti aku kena marah mereka,” ujarnya risau.

“Duh, kirain ada apa. Gak usah bingung, Sis!”

Bilang saja tadi kamu ada pelajaran ektra kurikuler di sekolah, dan gak bisa ditinggal. Ok, Sis?”

Niken mengangkat tangannya untuk berhigh five dengan Zahra.

“OK deh, Sis!” Zahra menyambut high five tersebut.

“Sekarang kita lanjut lagi or go home?” tanya Niken sambil membereskan poninya yang jatuh ke dahinya.

“Lanjut lagi dong! Nanggung nih. Pulangnya nanti saja jam enam ya?” pinta Zahra.

***

Sudah hampir tiga minggu Zahra kecanduan dengan Facebook, dan selama itu pula beberapa kegiatan les yang biasa diikutinya tidak dihadirinya. Dimulai dari les Balet, les Bahasa Perancis, hingga ke les Piano. Hebatnya lagi, Zahra kini sudah pintar mencari-cari alasan untuk menghindari semua kegiatan tersebut jika ibunya menanyakan kabar semua kegiatannya. Alasannya antara lain; “Guru-guru les balet semuanya sedang ke Paris karena disana sedang ada festival pertunjukan Balet, sekolahnya diliburkan sampai bulan depan” atau “Guru pianonya sedang sakit karena jari-jarinya ketiban tangga sewaktu mencoba naik ke atas genteng, jadi beliau tidak bisa mengajar selama sebulan dan mereka tidak punya guru pengganti” dan masih banyak segudang alasan yang bisa diberikan kepada ibunya.

Bagi Zahra, bukan masalah lagi deh kalau harus ngasih alasan-alasan sederhana yang seperti itu. Yang terpenting dia bisa Facebook-an ria selama yang dia suka. Sejak sepulang sekolah, dia sudah nongkrong di warnet. Pulang ke rumahnya, sudah Facebook-an lagi dengan laptop. Jam tidur pun tidak bisa dilewatkan begitu saja, handphone ditangan pun jadi sasaran untuk ber-Facebook ria.

“Wueleh... wueleh... kamu bener-bener sudah nyandu ya dengan Facebook.” Suara Niken tiba-tiba menyeruak di dekat telinga Zahra yang saat itu sedang duduk sendiri di kantin sekolah.

Zahra diam saja tak bergeming dari tempatnya.

“Ternyata kamu lebih gila dari aku, Ra. Sekarang gantian aku yang kamu cu-ex in” ujar Niken cemberut sambil menepuk halus pundak Zahra yang saat itu sedang asik mengutak atik handphonenya.

Zahra menoleh pada Niken dan tersenyum, “ Sorry ya, Sis. Soalnya Facebook ini bikin aku penasaran terus setiap waktu. Selalu aja ada kabar atau gosip terbaru dari temen-temen. And yang pasti aku jadi bisa tahu dong kegiatan Haykal dan dengan siapa saat ini Haykal berhubungan.”

“Hmm... Haykal ya?” Niken termenung sesaat.

“Ada apa? Ada yang salah dengan Haykal?” tanya Zahra curiga.

“Eeh, enggak! Aku cuma bingung. Katamu Haykal sudah jadi pacarmu, tapi kok aku sering melihat dia jalan dengan Arini? Kamu lagi marahan dengannya ya?” desak Niken.

Wajah Zahra berubah pucat. Tampak sekali dia agak kurang suka mendengar kabar yang satu ini.

Memang beberapa minggu ini sejak Zahra mengenal Facebook, Zahra tidak pernah terlihat bersama-sama lagi dengan Haykal. Padahal Haykal sudah berulang kali mencoba menghubunginya – setiap Haykal menghubunginya pada saat itu pula Zahra selalu sedang berkonsentrasi dengan Facebook-nya – selalu ditanggapi Zahra dengan nada yang datar-datar saja. Beberapa kali pula Haykal mencoba mengajaknya pergi ke suatu tempat, tetapi Zahra selalu menolaknya dengan halus. Saat itu Zahra lebih memilih Facebook dibandingkan Haykal.

“Zahra, kamu kenapa sih enggak mau jalan lagi dengan aku?” tanya Haykal suatu kali.

“Duh, bukannya aku gak mau jalan sama kamu Haykal. Aku cuma lagi malas pergi kemana-mana karena baru datang tamu di hari pertama nih!” jawabnya segan.

“Mungkin besok aku bisa menemani kamu pergi. Bagaimana?” pinta Zahra dengan sedikit memberi harapan pada Haykal.

“Baiklah! Besok, aku tunggu disini, di warung Pak Bejo. Tapi kamu jangan sampai lupa Ra.” Haykal tersenyum senang karena merasa mendapat harapan dari Zahra.

“Pasti dong!” jawab Zahra mantap sambil mengacungkan jempol.

Ternyata harapan tinggal harapan, Haykal sudah terlalu lama menunggu kedatangan Zahra di warung Pak Bejo. Dengan langkah gontai dia meninggalkan warung tersebut dengan perasaan kecewa, sedangkan Zahra sudah lupa dengan janjinya pada Haykal dan tetap asik ber-Facebook ria dengan Niken.

Sejak saat itu Haykal tak pernah lagi mencoba menghubungi ataupun mengajak Zahra pergi. Haykal pun kadang berkomentar biasa-biasa saja jika Zahra ber say hello padanya di Facebook.

Suara Niken membuyarkan lamunan Zahra, “Sis, jangan terlalu memilih Facebook, dong? Bisa-bisa Haykal kabur dengan cewek lain loh! Memangnya kamu sudah siap kehilangan dia?”

“Aku enggak kehilangan dia kok. Aku masih tetap berhubungan dengannya. Tuh lihat, aku selalu kontak dengannya melalui Facebook ini. Kamu lihat kan? Aku selalu memberikan komentar untuknya,” ujar Zahra miris seraya menodongkan handphone nya pada Niken agar Niken bisa melihat apa yang dia lakukan pada Haykal.

“Aku sih percaya kalau kamu masih berhubungan dengannya, Ra. Tapi, orang lain tanggapannya berbeda. Mereka pikir kamu sudah tidak ada hubungan lagi dengan Haykal, dan Haykal sekarang sedang jadi sasaran empuk cewek-cewek yang selalu mengincar dia sejak dulu. Haykal kan orang paling ganteng di sekolah kita, and pintar juga. Sudah pasti banyak yang suka pada dia. Enggak ada deh orang yang pantas bersama dia kecuali kamu. Karena kalian tuh pasangan ideal di sekolah bagiku,” celoteh Niken tanpa henti. Dia ingin Zahra benar-benar mengerti akan maksud ucapannya.

Zahra hanya duduk terdiam menunduk dan memandangi handphone yang sedang dipegangnya. Tak terasa setetes air terjatuh mengenai handphone tersebut.

“Kalau kamu tidak menginginkannya, banyak yang akan mencoba mengambilnya darimu mungkin termasuk aku. Aku tahu Haykal sudah terlalu baik buatmu, masa hanya dengan website seperti itu Haykal bisa tergantikan dari sisimu,” ujarnya lagi.

Zahra tergugu dan meradang. Matanya mulai banjir dengan air mata.

Haykal memang terlalu baik untuk Zahra. Zahra mencoba mengingat kembali pada saat itu dia sedang sakit cacar dan tidak bisa masuk sekolah selama beberapa hari. Padahal sebentar lagi akan ada ujian semester. Satu-satunya teman yang selalu memberi perhatian padanya hanya Niken dan Haykal.

Zahra baru mengenal Haykal di kelas dua. Mereka masuk dikelas yang sama, jurusan IPA. Sejak awal masuk kelas itu Haykal sudah menunjukkan perhatiannya pada Zahra. Apalagi disaat sakit seperti ini, dia lebih antusias lagi menunjukkan perhatiannya. Selama Zahra sakit, Haykal selalu membawakan buku catatan pelajaran serta PR yang diberikan hari ini dari sekolah untuk Zahra. Dia berharap Zahra tidak akan ketinggalan pelajaran karena sudah mendekati ujian.

“Haykal, kamu enggak perlu meminjamkan buku catatanmu untukku dong. Nanti kamu belajarnya dari mana jika buku ini ada bersamaku?”

“Tenang saja. Aku sudah menyiapkan copy-nya kok! Jadi kamu enggak usah khawatir ya?” jawab Haykal santai.

Zahra tersenyum malu. Haykal baik sekali mau menemaninya disaat seperti ini. Padahal tubuhnya penuh dengan cacar, dan Zahra sendiri takut melihat wajahnya di kaca. “Seperti monster, “ pekiknya dalam hati.

Kondisi Zahra saat itu benar-benar membuatnya sangat minder karena harus berhadapan dengan Haykal dan Zahra juga takut Haykal akan tertular penyakitnya ini. Akan tetapi Haykal tampaknya tidak memperdulikan hal tersebut. Haykal terkesan tidak merasa jijik dengan cacar yang menempel di tubuh Zahra.

Disaat orang lain menjauhi dirinya, justru Haykal berusaha mendekatinya. Disaat orang lain membuang muka darinya, Haykal menatapnya dengan penuh sayang. Disaat orang lain mencemooh penyakitnya, Haykal memberinya kekuatan untuk menghadapi penyakit tersebut. Sungguh hal ini membuat Zahra menjadi terharu, karena Haykal telah bersedia menemaninya disaat susah dan itu adalah perhatian yang tidak bisa dibayar dengan apapun.

“Sekarang waktunya minum obat, Non.” Celetuk Haykal sambil menyodorkan beberapa pil untuk diminum Zahra.

Dada Zahra semakin terasa sesak karena mengingat kejadian tersebut. Zahra termenung lama sekali dan air mata masih membasahi pipinya.

“Aku... aku... tidak bermaksud menggantikan Haykal dengan website ini Niken. Aku tidak tahu mengapa hal ini bisa begitu menyita semua perhatianku. Aku sepertinya tidak sanggup untuk berhenti. Sudah kucoba menahan semua keinginan terbesarku untuk membuka Facebook, tetapi tetap saja aku selalu kalah dengan keinginan ini,” ujarnya menyesal.

“Aku tahu, kamu tidak akan pernah mencoba menggantikan Haykal dengan yang lain Zahra. Konsentrasimu hanya terfokus pada candu Facebook ini saja.” Niken mengusap pundak sahabat karibnya.

“Sekarang aku harus bagaimana? Haykal mungkin sudah tidak mau menemuiku lagi.” Katanya sedih.

“Yah, kita berusaha dulu. Jangan cepat mengambil kesimpulan negatif dulu dong. Tetap optimis, Sis! Oke?” Niken mengepalkan tinjunya ke udara.

“Oke!”

Keduanya tersenyum riang dan saling berpelukan.

“Satu lagi yang ingin aku ceritain ke kamu Niken,” ujar Zahra tiba-tiba.

“Apa lagi?”

“Aku kena marah ibuku gara-gara Facebook juga,” kata Zahra malu.

“Wah, itu sudah pasti. Aku sudah bisa menebaknya kok! Terus bagaimana ceritanya?” tanya Niken antusias.

“Seluruh guru lesku menelpon ke rumah. Sialnya, yang menerima telepon mereka itu adalah ibuku. Ibuku marah hebat ketika menerima laporan ketidak hadiranku dari mereka, apalagi setelah tahu tagihan telepon membengkak – karena sering internetan – termasuk tagihan handphoneku.”

“Lalu?” selidik Niken penasaran.

Dengan wajah lesu Zahra menimbang-nimbang Handphone ditangannya. “Pulsaku dibatasi, uang jajanku pun dibatasi, dan Pak Jaya menjadi bodyguardku deh.”

“Haa... Bodyguard? Yang bener, akh!” seru Niken kaget tak percaya.

“Bodyguard untuk apa?” tanyanya kemudian setelah kagetnya hilang.

“Bodyguard untuk menjagaku supaya tidak bolos les lagi,” seru Zahra kesal.

“Ha ha ha, sudah nasibmu kali ya? Terima and pasrah saja deh. Itu juga kan gara-gara ulahmu sendiri.”

“Daripada Pak Jaya yang jadi Bodyguardnya, lebih baik Haykal saja yang menjadi bodyguardku,” gerutu Zahra.

Niken terkikik geli karena melihat ulah Zahra. “Pak Jaya tuh sudah tua, Sis. Kamu pergi dengan berlari kemana pun dia gak akan bisa ngikutin kamu. Napasnya pasti sudah ngos-ngosan sebelum sampai sepuluh langkah mengejarmu. So, ga ada masalah dong kalau dia jadi bodyguardmu. Toh, kamu tetep bisa kabur dari les.”

Perkataan Niken seperti membuahkan ide baru ke otak Zahra.“Hei, bener juga tuh omonganmu!”

Tapi Zahra kemudian berpikir ulang kembali. “Akh, tapi enggak deh. Aku takut dosa sama orang tua. Hei, lebih baik kita cari Haykal sekarang. Kamu mau kan menemaniku mencarinya?” pinta Zahra dengan wajah memohon.

“Dengan sepenuh hatiku, Sis.” Niken pun merangkul bahu Zahra.

***

Tampak dari kejauhan Haykal akan masuk ke Ruang Perpustakaan dan terlihat oleh Zahra dan Niken seorang gadis berusaha menggandeng tangan Haykal dari belakang. “Itu Arini,” pekik mereka berdua.

“Haykal! Tunggu!” teriak Niken tiba-tiba.

Haykal menoleh ke arah mereka. Ketika tahu siapa yang memanggilnya, Haykal melanjutkan langkahnya memasuki Ruang Perpustakaan.

Arini pun menoleh pada mereka, tampak sekali dia terkejut. Tapi kemudian dia tersenyum ketika tahu Haykal tidak merespon panggilan Niken.

“Eh, ngapain kamu kesini?” tanya Arini sinis pada Zahra dan Niken.

“Loh? Suka-suka kita dong mau kemana. Lagipula Perpustakaan ini terbuka untuk seluruh murid artinya tidak tertutup untuk kita juga,” cibir Niken pada Arini.

“Ra, kamu sekarang masuk kedalam deh. Biar cewek centil and gatel ini aku yang urus,” perintah Niken pada Zahra.

“Kamu bilang apa barusan? Centil? Gatel?.....” suara Arini terdengar marah pada Niken, tapi Zahra tidak perduli dengan ocehannya itu dan segera mengejar Haykal masuk kedalam Perpustakaan.

Di dalam ruangan yang penuh rak dan buku-buku tersebut, Zahra melayangkan pandangannya keseluruh penjuru ruang. Matanya kemudian menangkap tubuh seorang laki-laki yang mirip dengan perawakan Haykal. Zahra pun menghampirinya.

“Haykal!” panggilnya pada cowok itu.

Haykal tampak tak bergeming sekalipun saat Zahra memanggilnya.

“Haykal, aku tahu kamu masih marah kepadaku. Aku sungguh menyesal atas perlakuanku padamu saat itu. Aku mohon, maafkan aku. Aku memang cewek yang gak tahu malu dan gak punya perasaan. Aku menyesal sekali karena terlalu terlena pada dunia maya itu dan aku telah menyia-nyiakan kamu,” sesal Zahra pada Haykal.

Haykal masih tetap diam dan membelakangi Zahra.

“Haykal? Marahmu sudah tidak bisa diredakan lagi ya? Aku benar-benar menyesal telah membuatmu marah seperti ini. Tapi tolong janganlah kamu memusuhiku dan meninggalkanku begitu saja. Aku tidak mau jika kamu sampai pergi menjauhiku dalam keadaan yang seperti ini,” pinta Zahra dengan memelas.

“Jadi jika keadaannya berbeda, kamu mau dijauhi olehku?”

Suara Haykal akhirnya keluar juga, tetapi dia tetap membelakangi Zahra.

Zahra tercekat. Seluruh persendiannya lemas. Sewaktu melihat Haykal menjauhinya tadi saja Zahra sudah kelimpungan, apalagi melihat Arini mencoba mendekati Haykal. Hatinya semakin gelisah.

“Seandainya sejak awal hubungan kita tidak terganggu, aku mungkin tidak akan menyadari bahwa sebenarnya aku tidak bisa jauh darimu.” Zahra pun menangis terisak-isak.

“Kamu memang tidak seharusnya aku sakiti, dan aku tidak mau kamu menjauhiku baik dalam situasi buruk sekalipun. Aku menyukaimu dengan sepenuh hatiku. Aku tidak mau kamu meninggalkanku karena aku sayang kamu Haykal, ” sebuah pengakuan meluncur dari mulut mungil Zahra.

Tiba-tiba sepasang lengan memeluk Zahra dari belakang. Zahra terkejut dan ketakutan. Ketika dia ingin berteriak memanggil Haykal yang berada di depannya , pemilik lengan itu memberi isyarat agar dia tutup mulut dengan membungkam mulut Zahra.

“Aku senang sekali mendengar pengakuanmu tadi Zahra, kini biarkan aku memelukmu hanya sebentar saja. Please!”

Mata Zahra terbelalak kaget dan dia kemudian menangis tersedu-sedu. Ternyata sang pemilik lengan adalah Haykal dan lengan Haykal kini tidak membungkam mulutnya lagi. Haykal kini berhadapan dengannya dan memeluknya dengan erat sekali.

“Aku tidak akan pernah bisa marah padamu Zahra, aku hanya memberimu waktu untuk sendiri dan bersenang-senang dengan kesibukanmu. Kupikir itu hanya kesenangan sesaat saja dan mungkin sebentar lagi kamu pun akan mulai bosan dan meninggalkannya. Sekalian aku juga ingin tahu isi hatimu yang sebenarnya padaku. Apakah kamu akan merindukanku jika aku tidak berada disampingmu. Itu yang aku ingin tahu,” ujar Haykal sambil mengusap air mata Zahra

“Dan kini kamu telah tahu seluruh isi hatiku?” Zahra tersenyum bahagia dan mencoba memeluk Haykal.

Tiba-tiba sebuah suara garang menegur mereka, “ Ehem... ehem... maaf ya ruang Perpustakaan ini bukan tempat untuk berpacaran.”

Haykal dan Zahra kaget sekali, tapi ketika tahu darimana suara itu berasal, mereka pun sama-sama tertawa. Ternyata suara itu berasal dari mulut Niken.

“Sebentar. Jika kamu tadi berdiri dibelakangku, lalu siapa yang berdiri dihadapanku dan membelakangiku sejak tadi? Perawakannya mirip sekali denganmu.” Zahra penasaran karena sejak tadi dicu-ex in oleh orang yang mirip Haykal ini.

“Perkenalkan,” kata Haykal dengan gaya seorang pesenter. “Dia adalah kembaran identikku alias patung diriku yang kubuat untuk pelajaran seni rupa nanti.”

“HAAAA.... “ Zahra dan Niken membelalakkan matanya.

“Sialan! Ternyata dari tadi aku hanya berbicara sama patung ya? Hu uh!” gerutu Zahra kesal.

Niken dan Haykal menertawai tingkah Zahra yang cemberut karena kesal.

Jatibening, 08 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar