Rabu, 28 September 2016

Salam Kangen

Halo kawan.

Lama tak jumpa, ya? Rindu rasanya menulis di blog ini lagi. Tak terasa, ternyata 4 tahun sudah aku meninggalkan blog ini. Blog ini benar-benar terbengkalai bagai rumah yang tak terawat. Hihihi.

Semoga setelah ini, rumah ini bisa terawat lagi dan akan kuisi dengan berbagai kehidupan lagi. Doakan ya semoga usahaku ini akan berhasil. Hehehe.

See you next time.


Ida Fitrie D

Senin, 27 Agustus 2012

Selamat Jalan, Pak.


Inalillahi wa inailaihi rojiuun...

Makam Bapak Bay Subarna Soeradimadja
di Cieunteung - Tasikmalaya

Suasana duka masih meyelimuti keluarga kami. Hingga kini kami masih tak percaya jika Bapak meninggalkan kami untuk selama-lamanya setelah berjuang dengan penyakit Tumor Paru yang dideritanya. Bapak akhirnya tak kuat menahan semua itu dan beliau wafat di hari Sabtu 11 Agustus 2012 jam 13.00 WIB.

Padahal dua hari sebelumnya, kondisi Bapak terlihat membaik. Beliau sudah tidak tergantung lagi dengan oksygen. Beliau juga sudah mulai mau makan. Hanya sayang..., keinginan beliau yang terakhir untuk berjalan, menggunakan gigi palsu dan bertemu dengan si bungsu tidak bisa terpenuhi.

Selamat jalan Ayahanda kami tercinta. Semoga engkau kini dapat tenang di sana bersamaNYA. Maafkan anakmu ini yang belum mampu mewujudkan semua impian dan keinginanmu. Maafkan pula anakmu ini yang belum mampu membahagiakan dirimu hingga akhir hayatmu.




Senin, 09 Juli 2012

TENTANG BAPAK (2)

Hari ini, Bapak boleh pulang setelah diopname selama 2 minggu. Bapak pasti senang, karena sejak kemarin-kemarin beliau selalu minta pulang ke rumah. Mungkin Bapak sudah bosan dengan bau rumah sakit.

Bicara soal pulang, aku jadi ingat saat kecil dulu, saat Bapak tidak pulang-pulang ke rumah karena harus tugas luar kota. Sebenarnya, Bapak bekerja di sebuah perusahaan BUMN dan beliau ditempatkan di sebuah kapal tanker. Pekerjaan Bapak memang mengharuskan beliau untuk berpindah-pindah tempat dari daerah yang satu ke daerah yang lain untuk mengangkut minyak bumi ke setiap daerah.

Dulu, saat aku masih berusia 5 tahun, Bapak pernah bilang, ” Bapak kerjanya di kapal.” Ketika kutanya Ibuku, beliau mengiyakan jawaban Bapak. Nah, saat itu (namanya juga masih unyu and lugu) kukira yang dimaksud kapal itu adalah pesawat terbang. Makanya, setiap kali ada pesawat terbang melewati rumah kami, aku selalu berteriak-teriak ke arah pesawat yang sedang asyik terbang di langit luas itu. ”Bapak! Ini Ida! Cepet pulang, ya, Pak! Ida tunggu oleh-olehnya! Jangan lupa pulang ya, Pak! Ida tungguin oleh-olehnya!”

Aku juga dengan bangga mengatakan hal ini pada kawan-kawan sepermainanku. ”Hei! Itu kapal Bapakku! Bapakku sekarang lagi pergi ke Singapur (Negara Singapura maksudnya). Pulangnya pasti bawa mainan boneka bayi yang bisa nangis buatku. Terus, Bapak pasti bawa jeruk sunkist sekardus, apel sekardus, telur sekardus juga, biskuit dua kaleng besssaaar..., sama satu lagi, susu beruang sekardus besssaaar jugaaa....,” kataku sok sekali pada teman-temanku. Mereka lalu terkagum-kagum akan ceritaku tentang Bapak. Aku jadi semakin senang. Bapakku memang hebat, pikirku saat itu. Teman-temanku enggak ada yang punya Bapak seperti Bapakku.

Hihihi namanya juga anak-anak, sebenarnya hal yang paling utama kutunggu-tunggu dari Bapak sebenarnya hanya mainannya. Waktu itu sebelum beliau berangkat tugas lagi, Bapak pernah berjanji untuk membelikanku boneka bayi yang bisa nangis jika dotnya ditarik. Jadi, selama Bapak berlayar, aku selalu menghitung hari kedatangan Bapak dan menunggu oleh-oleh boneka bayi darinya agar aku bisa memamerkannya pada teman-temanku. ”Memangnya cuma si A (namanya lupa) aja yang bisa punya boneka bayi? Aku juga pasti nanti punya boneka bayi yang lebih bagus dari si A,” ujarku sambil berkhayal menggendong boneka bayi yang lucu itu dan memamerkannya pada si A.

Makanya saat Bapak pulang ke rumah dengan segudang oleh-oleh, aku langsung berteriak paling lantang yang. ”Bapak pulaaang!!!”

”Apaaa uyang!” adikku yang kedua pun tak kalah hebohnya berteriak.

”Mana oleh-olehnya, Pak? Mainan boneka yang bisa nangisnya mana, Pak?” tanyaku tak sabar. Tapi Bapak menyuruhku tenang dan bersabar sambil membuka oleh-oleh yang lainnya dulu. Setelah beberapa lama, mainan yang kuminta pun kuterima. Tapi aku menerimanya dengan rasa kecewa.

”Kenapa?” tanya Bapak bingung.

”Bonekanya jelek, Enggak sama dengan punya si A. Bonekanya gede banget,” rajukku.

”Eh, ini bonekanya bagus. Beda sama yang lain. Lihat! Bonekanya pakai jaket bulu. Warnanya bagus seperti jeruk sunkist. Ini gak ada yang punya. Belinya aja dari Singapore,” bujuk Bapak.

Aku masih merengut. Memang bonekanya bisa menangis dan ada dotnya. Tapi tidak sama seperti yang kumau. Boneka yang dibelikan Bapak terlalu besar dan memakai jaket. Padahal boneka bayi yang aku mau itu, sedang merangkak dan hanya mengenakan popok saja. Aku ngambek sampai lama. Bapak tetap membujukku dengan mengatakan bonekaku itu paling bagus dan mahal harganya. Beda dari boneka lainnya. Tetapi aku justru tidak mau. Karena aku ingin boneka yang sama seperti anak-anak lainnya.


Sampai aku besar pun, Bapak selalu memberikan aku barang-barang yang berbeda dengan kawan-kawan lainnya. Aku ingin sepatu roda lengkap dengan sepatunya, tetapi beliau hanya membelikan rodanya saja yang bisa diikat ke sepatu sendiri. Aku meminta dibelikan sajadah kecil berwarna merah dengan gambar kabah dan masjid, tetapi dia membelikanku sajadah besar dengan warna lain bergambar masjid saja. Jadi jika aku ke masjid membawa sajadah yang lebarnya melebihi sajadah kawan-kawan lainnya, aku jadi malu sendiri. Karena sajadahku makan banyak tempat sehingga teman-temanku jadi tersingkir.

Ada satu hal yang membuatku terharu dari Bapak. Seperti yang kuceritakan di awal, setiap Bapak pulang pasti membawa oleh-oleh jeruk sunkist sekardus, apel sekardus, telur sekardus juga, biskuit dua kaleng besar, susu beruang sekardus besar juga. Kukira oleh-oleh yang dibawa Bapak ini dibeli khusus oleh Bapak di daerah-daerah yang pernah beliau singgahi. Ternyata oleh-oleh (kecuali mainan dan baju-baju) yang pernah dibawa Bapak itu adalah jatah makan Bapak setiap hari selama di kapal. Ini kuketahui dari Ibuku.

Aku jadi salut pada Bapak. Ternyata Bapak selalu memikirkan keluarganya selama dia berlayar. Sampai-sampai dia berpikir, ”Di sini aku bisa makan enak, sementara anak istriku hanya bisa makan nasi dengan lauk ikan asin saja.” Lalu Bapak memutuskan untuk menyisihkan sebagian jatah makanannya untuk keluarganya.

Melihat kami menyambut kepulangan Bapak dengan gembira, dan menyantap dengan lahap semua buah, telur, kue dan susu yang dibawanya untuk kami, ternyata membuat hati Bapak bahagia dan lega. Sungguh saat itu aku tak menyadari perasaan Bapak kepada kami. Walau Bapak memiliki kekurangan dan kami sering berselisih paham, tetapi kami tetap bersyukur memiliki Bapak yang selalu menyayangi keluarganya.

Kini saat Bapak sakit dan kembali pulang ke rumah lagi, sudah tidak ada lagi tawa ceria anak-anaknya yang menyambutnya pulang dan berteriak-teriak kegirangan, ”Bapak pulang! Bapak Pulang!”





Yang ada sekarang, justru rasa pedih di hatiku saat melihat dan membayangkan penderitaan Bapak untuk menghadapi penyakitnya nanti.

Sabtu, 07 Juli 2012

TENTANG BAPAK (1)




Kira-kira sudah 12 hari, Bapak masuk opname di rumah sakit. Awalnya kurang lebih sebulan yang lalu, aku melihat keganjilan di sekitar wajah dan leher Bapak. Di daerah itu, Bapak terlihat jadi gemuk. Bukan! Itu bukan gemuk, pikirku. Tapi lebih condong seperti bengkak. Apalagi saat itu, Bapak juga mulai sering batuk-batuk dan sering sesak napas. Kian lama batuknya kian berat.

Aku sarankan agar beliau berobat sebelum terlalu parah. Pertama beliau diperiksa dokter umum, lalu berlanjut ke dokter spesialis. Tapi asumsi mereka, Bapak terkena radang. Akhirnya setelah empat kali berobat tidak membuat beliau lebih baik (apalagi napas beliau semakin sesak dan untuk jalan sebanyak sepuluh langkah saja sudah bikin ngos-ngosan), Bapak akhirnya mau berobat ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut.

Saat di rumah sakit, Bapak harus di rontgent. Ternyata hasilnya... saluran pernapasan Bapak mengalami penyempitan di paru-paru sebelah kiri. CT Scan pun dilakukan untuk memperjelas lagi penyebab penyakit Bapak. Aku harap hasil dari CT Scan tidak ditemukan hal-hal yang buruk. Karena saat aku menjenguk Bapak di hari Kamis malam (28 Juni 2012) Bapak terlihat begitu segar setelah diopname beberapa hari, walau rasa sesak itu masih ada dan tetap harus di uap.

Tetapi kenyataan berkata lain. Hasil CT Scan pun keluar dan dokter memanggil ibuku serta aku sebagai anaknya di sebuah ruang khusus. Dari sana aku dan ibuku baru mengetahui hasil CT Scan tersebut dan sempat kaget juga saat dokter memvonis bahwa Bapak terkena Tumor Paru Stadium IV dan sudah merambah ke hati.

Kami tak menunjukkan perasaan kami secara langsung dan kami berdua mencoba berusaha untuk tetap bersikap tegar. Aku takut bila aku menangis, maka ibuku juga akan terbawa menangis. Padahal setelah semua itu, di balik kamar lain, aku menangis walau tak mengeluarkan air mata. Rasanya bagaikan tertusuk-tusuk beribu-ribu jarum. Ternyata aku tak setegar yang kukira... :(

Setelah itu, Ibu segera menemani Bapak dan saat itu Bapak masih belum mengetahui penyakitnya karena dokter sendiri pun bingung memberitahukan Bapak soal penyakitnya. Kutahu, Bapak gampang emosi. Bapak mudah sekali naik darah. Menderita sesak seperti ini saja, Bapak sudah sangat uring-uringan. Apalagi bila beliau tahu perihal yang sebenarnya?

Penelitian kembali dilakukan untuk menentukan jenis Tumor yang diderita Bapak. Rabu kemarin (05 Juli 2012) dilakukan Bronchoscophis untuk Bapak di rumah sakit lain (karena rumah sakit tempat Bapak dirawat, alat-alatnya belum memadai). Menurut ibuku yang menemani Bapak, hasilnya memang benar bahwa Bapak menderita Tumor Paru. Tetapi untuk detailnya baru bisa diketahui seminggu kemudian. Yang terjadi kini, Bapak juga sudah mengetahui penyakitnya dari para dokter yang memeriksanya. Oh, semoga saja Bapak bisa tabah dan sabar mendengar berita tersebut.

Tiga hari setelah di Bronchoscophis, aku baru bisa menjenguk Bapak. Kulihat Bapak tak sesegar seperti saat terakhir kutemui. Kata Ibu, infus Bapak terpaksa dipindah ke kaki yang lain. Ini sudah lebih dari 5 kali infusan Bapak dipindah. Kutahu betapa nyerinya ditusuk-tusuk jarum infusan. Aku saja sampai ngilu walau hanya mendengar cerita dari ibu, apalagi bila harus melihat langsung?



 

Ya Allah Tuhan segenap manusia, hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tiada kesembuhan kecuali dengan penyembuhan-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit ”. (HR Muttafaq ‘Alaih).

Senin, 11 Juni 2012

"Realistic Mouth"

Hai!!!

Wah, sudah lama juga ya enggak ngeposting sesuatu yang  baru di blog ini.
Hehehe... tenaaang!
Kali ini aku mau posting sesuatu yang baru.

Taraaa... inilah hasil semedi selama 2 jam di kantor tadi siang.


Ini link videonya di Youtube :


Begitu kuatnya ingin membuat gambar dengan menggunakan photoshop, membuatku nekad mencari-cari Tutorial Digital Painting dari Youtube. Sampai akhirnya, ketemulah tutorial bergambar mulut yang bikin mataku gak mau merem selama 2 hari (Jum'at dan Sabtu) untuk memelototi tutorial ini di depan layar monitor dan juga di dalam mimpi.

Dan di hari Seninnya, mulailah kukebut hasil semediku itu dalam tempo 2 jam. Padahal waktu yang tercantum dalam tutorial itu hanya membutuhkan 1 jam saja untuk membuat gambar ini.
Yah... setidaknya, buat pemula seperti aku ini, gambarnya enggak jelek-jelek amat lah buat cuci mata. Hehehe... :P