Selasa, 25 Agustus 2009

SONYA’S BIG PROBLEM

Sonya terpekur menatap billing tagihan kartu kredit yang menumpuk di hadapannya. Dia hanya bisa memandangi tagihan-tagihan tersebut dengan pandangan hampa. Pikirannya kosong. Hanya ada satu pertanyaan yang timbul dalam benaknya saat ini.

“Bagaimana caranya agar aku bisa membayar semua tagihan ini?”

Sonya gadis manis keturunan Sunda ini nampak bingung. Sudah tiga jam dia duduk menyendiri dalam kamar, menatapi tumpukan amplop dari berbagai Bank yang tidak akan pernah hilang dari hadapannya. Ingin rasanya dia menangis meraung-raung seperti anak kecil dan berharap ada yang iba padanya. Kemudian memberikan bantuan keuangan padanya. Tetapi hal itu sangat tidak mungkin terjadi.

Sekali lagi Sonya hanya bisa berandai-andai. Jika dia seorang penyihir, dia akan membuat semua tagihan-tagihan ini menghilang seperti asap. WUSSHHHH!!!

Atau mungkin juga dia akan mengubah tagihan-tagihan tersebut menjadi bergepok-gepok uang seratus ribuan. Agar dia bisa melunasi semua hutang-hutangnya. Agar para kolektor yang menagihnya tidak mencercanya lagi. Agar orangtuanya dan kekasihnya tidak memarahinya lagi gara-gara urusan kartu kredit ini.

Saat Sonya masih bergelut dengan berbagai angan-angan dalam pikirannya, terdengarlah suara Adzan Maghrib bersahut-sahutan dari kejauhan. Sonya yang masih terpekur dalam kegalauan, sebenarnya tidak begitu memperdulikan suara Adzan itu. Tapi sebuah bisikan lembut dalam dirinya menyuruhnya mendengarkan suara Adzan. Perlahan-lahan pikirannya beralih dan mencoba mendengarkan panggilan Adzan tersebut.

Hatinya menjadi terenyuh saat dia mendengarkan suara Adzan dengan seksama. Air matanya mengalir membasahi pipinya yang bulat. Dia telah meninggalkan Tuhan begitu lama. Dia telah melalaikan semua perintah-Nya. Dia telah melupakan shalat dan dia semakin jauh dari agama. Dia kemudian merasa jijik pada diri sendiri. Dia tahu tentang agama, tetapi tidak mau melaksanakan perintah-Nya.

Hatinya berkecamuk dengan hebat. Semakin dia berusaha memikirkan semua permasalahan yang sedang dihadapinya, maka semakin hebat pulalah dorongan dalam dirinya untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Dia semakin ingin memohon ampunan atas segala dosa-dosanya. Sungguh ironis sekali. Di saat manusia tengah dilanda masalah dan kesusahan, mereka barulah mengingat Tuhan. Tapi di saat senang, mereka selalu melupakan-Nya.

Dia merutuki dirinya yang tidak pernah mau membuka matanya atas kehidupan dunia. Dia tergoda atas segala kemewahan dunia. Uang panas dalam kartu kredit itu bukanlah miliknya. Tapi dia telah menghambur-hamburkannya demi memenuhi kepuasan dirinya semata. Kini baru Sonya menyadari, kenikmatan duniawi yang dijalaninya itu hanyalah semu. Dia semakin terperosok dalam lilitan hutang yang kian mencekik leher.

Untuk menutupi setiap tagihan satu kartu, dia mengambil dari kartu kedua. Kemudian untuk menutupi kartu kedua, dia menutup lagi dari kartu ketiga. Begitu seterusnya. Bisa dibayangkan jika Sonya memiliki sebelas kartu kredit. Tagihan sebelas kartu pun semakin menjulang tinggi nilainya. Apalagi jika dia tidak membayarkan tagihan tersebut selama tiga bulan?

Para penagih hutang pun semakin menerornya. Pada awalnya Sonya masib sabar dengan ocehan-ocehan para kolektor itu jika mereka berkata dengan kasar. Tetapi terkadang rasa sabar Sonya tidak bisa lagi di tahan. Akhirnya dia juga ikut bersitegang dengan para kolektor atau mematikan ponselnya agar mereka tidak bisa menghubunginya. Akibatnya, mereka beralih menghubunginya ke kantor atau ke rumahnya. Ujung-ujungnya, saudara terdekatnya pun di hubungi mereka. Akibat ulah para penagih itu, Sonya menjadi sasaran kemarahan orang tuanya juga saudaranya. Belum lagi rasa malu yang dia dapatkan di kantor.

Semua orang di kantor sudah pasti membicarakannya dengan nada sinis. Sonya berusaha menutupi rasa malunya dengan memasang muka tembok. Kemudian untuk menghentikan ulah para penagih, dia mencoba meminjam dari kantor untuk melunasi hutang-hutangnya. Tapi pengajuan pinjaman tersebut tidak bisa diperolehnya, karena pinjaman yang lalu belum dapat dia lunasi.

Kini Sonya semakin tersudut. Dalam kebingungannya untuk mencari-cari pinjaman dana, dia mendapat berita buruk lagi. Dia terkena pemutusan kerja. Harapannya tinggal satu. Uang pesangon selama dia mendedikasikan diri pada perusahaan menjadi harapan utamanya sekarang. Tapi ternyata, kenyataan berkata lain. Dia tidak mendapatkan pesangon sepeser pun, karena pesangonnya itu telah dipotong untuk menutupi hutang-hutangnya di kantor. Sonya pun kian nelangsa.

Sonya pernah mengingat sebuah ayat dalam Al Qur’an (QS. Yassin : 82) yang berkata, “Sesungguhnya jika Allah menghendaki sesuatu, hanya berkata : “Jadilah!” maka jadilah ia.”

Ya, Sonya merasa bahwa Allah saat ini sedang memberikannya suatu cobaan yang memang harus dihadapinya. Sonya sadar, dia tidak boleh lari lagi. Dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya kepada dunia dan juga kepada Tuhan.

Perlahan Sonya bangkit. Dia berjalan menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu. Saat berwudhu, Sonya tak henti-hentinya menangis.

“Ya, Allah! Aku manusia yang paling berdosa. Aku manusia yang paling hina. Aku telah melupakan-Mu. Aku patut Engkau hukum, Ya Allah! Aku malu kepada-Mu karena telah mengabaikan segala perintah-Mu wahai Sang Pemberi Kehidupan,” ujarnya pilu.

Setelah mengambil air wudhu, Sonya mencari mukena dan sajadahnya yang sudah lama tersimpan dalam lemari bertahun-tahun. Bau lemari pada perangkat shalatnya sangatlah menyengat. Tapi Sonya tidak perduli. Sonya kemudian melaksanakan sholat Maghrib dengan khusyuk. Dia curahkan segalanya dengan memanjatkan doa pada Yang Agung. Sonya telah menyadari segala kebodohannya, kekeliruannya, keteledorannya dan kelalaiannya selama ini. Satu-satunya kini yang bisa dilakukannya berdoa dan memohon ampunan-Nya serta mencoba berikhtiar.

Setelah beberapa minggu, berbagai cobaan masih saja datang pada Sonya. Suatu kali dia melihat seorang Bapak sedang memegang uang sebanyak sepuluh juta rupiah di sebuah Bank saat dia hendak membayar tagihan.

“Uang itu sangat banyak. Andai uang itu jadi milikku...,” gumamnya.

Sebuah niat jahat timbul dalam benaknya. Dia ingin menguntit Bapak itu dan merebut uang tersebut, kemudian dia gunakan untuk melunasi hutangnya. Saat hendak melangkah mendekati Bapak itu, hati kecilnya segera mengingatkannya. Sonya segera berucap, “Astagfirullah.” Dengan hati miris, dia memandangi kepergian Bapak itu dengan uang sepuluh jutanya.

“Ya Allah, tolong jauhkanlah diriku dari godaan setan yang terkutuk. Bersihkanlah diriku dari semua pikiran-pikiran kotor yang hinggap dalam otakku,” ujarnya dalam hati.

Usaha Sonya untuk melunasi hutang-hutangnya tidak akan pernah berhenti. Selain dia berdoa, dia juga berikhtiar dengan jalan menjual semua koleksi buku-bukunya dan mencoba melamar kerja lagi di beberapa tempat. Alhamdulillah, koleksi buku-bukunya bisa terjual walaupun secara bertahap. Tidak lupa pula dia menyisihkan sedikit dari penjualan buku-bukunya tersebut untuk beramal.

Ketika Sonya menghadapi tekanan lagi dari para kolektor, dia sempat berpikir untuk menjual salah satu organ tubuhnya untuk bisa mendapatkan uang dengan cara cepat. Dia terinspirasi sebuah kisah nyata yang terjadi pada seorang gadis yang mengalami kesusahan sepertinya. Gadis itu telah menjual ginjalnya sebesar tujuh puluh jutaan. Hmm, jumlah yang menggiurkan.

Tapi kekasihnya mengingatkan Sonya, dan tidak mengijinkannya untuk melakukan hal itu. Kekasihnya saja tidak mengijinkan, apalagi Allah? Apakah Dia akan mengijinkannya pula? Apakah hal ini di halalkan-Nya? Sonya menangis sejadi-jadinya.

“Aku sungguh manusia penuh dosa. Aku sungguh tidak mensyukuri segala pemberianmu.Ya Illahi, kutuklah diriku yang tak tahu diri ini. Tunjukkanlah jalan-Mu kepadaku, terangilah hatiku, Mudahkanlah segala urusanku, wahai Sang Pemberi Maaf,” sujudnya dalam doa pada suatu malam yang sunyi.

Ada satu momment lagi yang tidak bisa dia lupakan saat dia mencoba berusaha untuk ikhlas. Ketika itu Sonya baru saja keluar dari ATM. Di pintu ATM, seorang lelaki tua sedang memandanginya. Lalu lelaki itu menghampirinya.

“Neng, Bapak minta tolong. Bisa?” tanyanya memelas.

“Ada apa, Pak?” tanya Sonya dengan ragu-ragu.

“Bapak baru saja mengantar orang ke bidan di depan. Bapak terus ndak bisa pulang. Bapak kehabisan ongkos. Neng bisa bantu Bapak? Bapak butuh uang ongkos untuk pulang ke rumah. Lima belas ribu saja, Neng. Ndak banyak,” jawabnya dengan terbatuk-batuk.

“Bapak pulang ke mana?” Sonya bertanya lagi.

“Bapak pulang ke Halim, Neng!”

“Begini, Pak. Saya juga sedang tidak punya uang. Saya tidak bisa memberi Bapak uang sebesar itu.”

Memang saat itu Sonya hanya membawa uang sedikit saja. Tadi dia mencoba melihat ke ATM untuk mengambil transferan dana dari kawannya. Tapi dananya ternyata belum masuk.

“Yah, seadanya juga ndak apa-apa. Bapak terima,” ucap Bapak tua itu masih dengan wajah memelas.

Sonya yang merasa iba padanya kemudian mengeluarkan uang sepuluh ribu untuknya. Wajah Bapak tua itu menjadi sumringah. Dia mengucapkan terima kasih pada Sonya dan berlalu dari hadapan Sonya.

Lima hari kemudian, Sonya melihat Bapak tua itu lagi. Dia berdiri di tempat yang sama. Lalu Sonya berinisiatif untuk memperhatikan Bapak itu. Dan... Sonya terhenyak melihat kelakuan lelaki tua itu. Dia telah melakukan hal yang sama terhadapnya pada setiap orang yang keluar dari ATM. Ternyata Bapak itu tidak beda dengan para pengemis yang duduk di pinggir jalan yang mengharap belas kasihan orang-orang yang lalu lalang. Hanya saja caranya Bapak tua itu jauh lebih elite pikir Sonya.

“Astagfirullah.... Sabar! Sabar! Harus Ikhlas!” Sonya mencoba meredam kekesalannya terhadap Bapak itu.

“Bapak itu juga lagi cari duit buat makan. Sama aja dengan aku. Hanya caranya saja yang berbeda.” Dia meyakinkan lagi hatinya.

“Ya Rabb, mudahkanlah rejekinya dan juga rejeki diriku,” doa Sonya untuk Bapak tua itu dan untuk dirinya juga.

Sungguh sebuah kemajuan untuk Sonya Dia yang sekarang berbeda dengan Sonya dua bulan yang lalu. Kini dia terlihat lebih tegar. Sonya mencoba untuk bersabar dan tawakal dalam menghadapi semua cobaan yang tengah dihadapinya. Dia pun berusaha untuk lebih ikhlas dan berserah diri pada Yang Kuasa. Walaupun hutang-hutangnya masih menumpuk dan para penagih hutang pun masih menerornya.

Sonya merasa yakin bahwa Allah tidak akan meninggalkannya sedetik pun. Sonya berharap dapat melalui semua cobaan ini karena Allah adalah pelindungnya dan Allah tentu tidak akan memberi cobaan padanya jika dia tidak mampu melewatinya.

Keyakinan Sonya pun terbukti. Allah kemudian memberikannya berbagai kemudahan-kemudahan di hari-hari selanjutnya dengan cara yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Akhirnya Sonya mendapatkan keringanan pembayaran atas beberapa tagihan kartu kreditnya. Yah, walaupun tidak semua kartu bisa mendapatkan keringanan, tetapi dia merasa bersyukur karena permasalahannya sudah mulai bisa teratasi dan dia bisa bernafas lega kembali. Sonya lalu bersujud syukur kepada Allah.

“Terimakasih Ya, Rabb! Karena Engkau telah mendengarkan doa-doaku selama ini. Engkau telah memudahkan jalanku pula. Engkau yang telah memberikan kekuatan dalam diriku, membuatku semakin percaya diri untuk dapat melalui semuanya. Aku sangat bersyukur atas semua pemberian-Mu. Terimakasih sekali lagi dari lubuk hatiku yang paling dalam atas semua rizky yang telah Engkau berikan kepadaku selama ini. Amin.”

Dita dan Doanya

“Ya, Allah! Engkau-lah Tuhan yang Maha Agung, Maha Mendengar dan Maha Memberi. Dita mempunyai sebuah permohonan Ya Allah. Dita ingin memiliki seorang adik. Adik yang manis, yang nanti bisa Dita sayangi dan Dita ajak main. Dita mohon, agar Allah mau mendengar doa Dita ini. Amin.”

Pada hari Minggu yang cerah, Dita dan Andini sedang bermain bersama di teras rumah Dita. Saat mereka asyik bermain, tiba-tiba sebuah taksi berhenti di depan rumah Dita. Pintu taksi pun terbuka. Dari dalam taksi keluarlah Bunda dan Ayah Dita. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit.

“Itu Ayah dan Bunda sudah datang!” serunya dengan senang.

Ayah dan Bunda kemudian menghampiri Dita sambil tersenyum bahagia.

“Dita!” Bunda memanggil Dita dengan lembut.

“Ya, Bunda.” Jawab Dita.

“Dita, Ayah dan Bunda baru saja mendapat kabar gembira dari Dokter. Kamu mau tahu kabar gembira itu?” tanya Bunda sambil mengelus-elus kepala Dita.

“Mau! Mau Bunda. Kabar gembira apa, Bunda?” tanya Dita penasaran.

“Menurut Dokter, Bunda tidak sedang sakit.” Ayah ikut berbicara pada Dita.

“Oh, begitu. Jadi Bunda baik-baik saja? Tapi kenapa dari kemarin Bunda muntah-muntah terus, Ayah? Dita kan jadi takut,” ujar Dita sedih.

“Nanti juga Bunda tidak akan muntah-muntah lagi.” Ayah mencoba menjelaskan.

“Dita, waktu itu Dita pernah meminta pada Ayah dan Bunda untuk diberikan seorang adik? Ingat tidak?” tanya Bunda.

“Oh, iya dong! Dita kan tidak pernah berhenti memintanya pada Bunda. Lalu Dita juga selalu berdoa pada Tuhan agar Dia mau memberikan seorang adik untuk Dita. Bunda tahu? Dita benar-benar menginginkan seorang adik, agar nanti bisa jadi teman bermain Dita,” celoteh Dita dengan riang.

“Nah, kali ini permintaan Dita telah dikabulkan oleh Tuhan. Dita akan memiliki seorang adik.” Bunda mengelus pipi Dita dengan lembut.

“Benar, Bunda?” tanya Dita tidak percaya.

“Dita akan mempunyai seorang adik?” tanyanya lagi pada Bunda.

Ayah dan Bunda mengangguk. Mereka tersenyum bahagia.

Dita melonjak kegirangan. Dia segera menghampiri Andini yang sedang duduk menatap mereka dari tadi.

“Andini, aku akan punya seorang adik!” serunya lagi dengan riang.

“Nanti kita tidak akan bermain berdua lagi. Tapi jadi bertiga dengan adikku. Aduh, nanti adik akan kuberi nama siapa ya? Tapi adikku itu perempuan apa laki-laki ya? Ah, kalau perempuan namanya Desti saja, dan kalau laki-laki namanya Derry saja. Bagaimana? Kamu suka dengan nama yang aku buat untuk adikku? Nanti adik akan ku ajak bermain ke taman. Kita bertiga bisa bermain dengan sepuasnya,” celotehnya tanpa henti.

Dita terus saja berceloteh pada Andini tanpa henti. Ayah dan Bunda yang melihat ulahnya hanya bisa menggeleng-geleng kepala dan tersenyum.

* * *

Dua hari kemudian, Bunda melihat Dita sedang menangis setelah pulang dari sekolah.

“Kenapa, Dita? Kok, pulang sekolah menangis?” tanya Bunda lembut.

“Hari ini Andini mengatakan sesuatu pada Dita tentang adik,” jawabnya sesegukan.

“Tentang Adik?” Bunda bertanya lagi.

“Ya. Kata Andini, jika adik lahir, Adik akan menjadi anak nakal. Dita tidak mau mempunyai adik yang nakal. Kalau dia nakal, lebih baik Bunda berikan pada Tante Sisca saja, ya? Tante Sisca kan galak. Nanti biar adik di marahi terus oleh Tante Sisca,” rengeknya pada Bunda.

“Hush! Dita, kamu tidak boleh seperti itu. Adik Dita ini belum tentu menjadi anak yang nakal.”

“Tapi jika kata-kata Andini itu terbukti, bagaimana Bunda?” tanyanya khawatir.

“Kalau begitu, Dita berdoa pada Tuhan dan memohon pada-Nya agar mempunyai adik yang shaleh. Insya Allah, doa Dita akan di dengar oleh-Nya,” kata Bunda dengan lembut pada Dita.

Mendengar kata-kata Bunda, hati Dita menjadi lega. Dia mengusap air matanya yang masih mengalir.

“Oh, begitu ya! Kalau begitu Dita akan selalu berdoa pada Tuhan agar adik menjadi anak yang shaleh,” ujarnya tersenyum lega.

* * *

Enam bulan kemudian, Tiba-tiba sikap Dita berubah. Dia sekarang tidak perduli lagi dengan adiknya yang akan lahir nanti. Dita tidak mau lagi mengelus adiknya yang masih ada dalam perut Bunda. Dita juga tidak pernah lagi membicarakan rencana-rencananya nanti bersama adik jika dia sudah lahir.

Ayah dan Bunda merasa heran dengan tingkah Dita yang aneh ini. Kali ini Bunda akan mencoba menanyainya.

“Dita, Bunda ingin bertanya pada Dita. Mengapa sikap Dita sekarang berubah pada adik?”

“Dita tidak mau punya adik,” jawabnya malas-malasan.

“Kenapa, Dita?” tanya Bunda lagi dengan lembut.

“Karena jika adik lahir nanti, Bunda dan Ayah tidak akan sayang lagi pada Dita. Bunda akan lebih banyak memperhatikan adik, dan bukannya Dita,” katanya sedikit kesal.

“Dita, Ayah dan Bunda tidak akan seperti itu. Jika adik lahir nanti, Adik tidak akan merebut kasih sayang kami pada Dita. Kami akan selalu tetap menyayangi Dita seperti biasanya. Kamu harus tahu itu, nak,” ujar Bunda sambil membelai rambut Dita yang panjang.

“Tapi, menurut teman-teman Dita di sekolah, adik nanti akan membuat Bunda kerepotan. Bunda harus memberikannya susu, harus memberikannya makan, harus mencucikan popoknya, dan harus memandikannya juga. Sudah pasti saat bermain dan belajar Dita dengan Bunda, jadi tidak ada.” Dita merengut.

“Hmm... Dita, kamu tahu saat adik lahir nanti seperti apa?”

Dita menggeleng.

“Adik yang baru saja lahir, tubuhnya sangat kecil dan rapuh. Dia tidak bisa apa-apa selain menangis, minum susu dan buang air. Dia belum bisa mandiri seperti Dita sekarang. Kasihan adik, jika tidak dibantu oleh Bunda. Pada saat inilah Bunda harus memberikannya susu agar adik tidak kehausan, harus memberikannya makan agar adik tidak kelaparan, harus mencucikan popoknya agar adik tidak gatal-gatal tubuhnya karena memakai popok kotor setiap hari, dan harus memandikannya juga agar adik terbebas dari kuman,” nasehat Bunda dengan sabar.

“Bunda rasa, Dita juga bisa membantu adik,” usul Bunda tiba-tiba.

“Dita membantu adik?” tanyanya heran.

“Iya. Bunda beri contoh, ya? Dita dapat memberikan botol susu untuk diminum adik yang sedang haus, Dita juga dapat mengajaknya bicara agar adik tidak bosan. Atau bisa juga menemaninya tidur dengan membacakan cerita seperti yang biasa Bunda lakukan pada Dita setiap malam. Jika adik menangis, Dita juga bisa menghiburnya dengan bernyanyi atau bermain bersama Bunda pula.”

“Wah, sepertinya senang sekali, Bunda!”

“Dita sewaktu bayi juga seperti itu. Semuanya harus dibantu Ayah dan Bunda. Dan sekarang, karena Dita sudah besar, Dita tidak perlu dibantu lagi seperti adik. Dita sudah menjadi anak yang mandiri. Ayah dan Bunda bangga dan sayang pada Dita. Adik kecil ini juga akan sayang pada Dita. Semuanya sayang Dita.”

“Dita juga sayang pada Bunda.” Dita memeluk Bunda dengan erat dan mencium pipinya dengan lembut.

“Dita juga sayang pada adik.” Dita mengelus adik yang ada dalam perut Bunda dan menciumnya pula.

“Bunda, Dita akan berdoa lagi pada Tuhan. Kali ini doa Dita berbeda. Dita mohon agar Tuhan juga mau menyayangi Ayah, Bunda dan adik. Seperti mereka yang juga selalu menyayangi Dita.”

* * *

Sembilan bulan kemudian, Dita diajak Ayah ke sebuah Rumah Sakit Bersalin. Di sana Dita melihat sebuah kamar dengan jendela kaca yang sangat lebar. Dalam kamar itu terdapat sepuluh bayi yang sedang terlelap tidur dalam kotak kaca tempat tidur bayi. Dita berusaha mencari tahu dalam kotak kaca yang mana adik bayinya berada pada Ayah.

“Ayah, adik bayi Dita yang mana?” tanyanya penasaran.

Ayah tersenyum dan menunjuk sebuah kotak kaca yang bertuliskan “Bayi DERRY” dalam kamar itu. Mulut Dita menganga lebar karena merasa tak percaya. Ayah dan Bunda memberikan nama Derry untuk adiknya. Itu artinya adik Dita laki-laki.

“Ayah, terima kasih!” Dita memeluk Ayah dengan erat.

Pandangan Dita kembali dalam kamar itu. Seorang suster datang dan menggendong Derry. Suster itu keluar kamar dan memberikan Derry pada Ayah.

“Dita, ini Derry. Adik Dita.” Ayah mendekatkan Derry pada Dita.

“Hai, adik Derry.” Dita menyapa adik kecilnya yang mungil.

Derry terbangun dan membuka matanya. Dia pun menangis dengan kuat dan kencang.

“Ayah, lihat! Adik Derry terbangun dan menangis. Mungkin dia haus.”

“Kalau begitu, sekarang kita bawa dia ke tempat Bunda,” kata Ayah.

Di kamar perawatan, Bunda segera memberikan susu pada Derry. Bunda terlihat letih tapi wajahnya menunjukkan rasa bahagia. Setelah kenyang minum susu, Derry tertidur kembali.

“Adik bayi kalau tidur lucu ya, Bunda?” komentar Dita yang sedang asyik memperhatikan adiknya.

“Dita suka pada adik?” tanya Bunda.

“Iya. Dita suka pada adik. Ternyata dia mungil sekali dan lucu. Dita tidak sabar untuk mengajaknya bermain,” kata Dita sambil mengusap-usap lengan Derry.

Ayah dan Bunda tersenyum pada Dita. Nampaknya keragu-raguan Dita tentang adiknya sudah sirna. Dia nampak bahagia dengan kedatangan Derry di tengah-tengah mereka.

“Bunda, doa Dita kini bertambah lagi satu pada Tuhan,” tambahnya lagi tiba-tiba.

“Apa itu?” tanya Ayah dan Bunda bersamaan.

“Dita berdoa semoga Ayah, Bunda, Dita dan adik Derry selalu senang. Seperti saat ini.” Dita yang sedang berbahagia kemudian memeluk Ayah Bundanya.

Selasa, 18 Agustus 2009

Di kecewakan pembeli

Gue kecewa.
Tahu enggak sih?
Ceritanya gue mau jual buku koleksi sendiri.
Udah capek-capek bukunya diberesin alias di paking,
eh orangnya ga nelpon balik.
Gue kejer... malah tambah ga ngasih respon
Salahnye di mana ye?
Apa dia emang gak minat...
ato guenya yang emang BU banget ye...
Hihihi