Selasa, 25 Agustus 2009

Dita dan Doanya

“Ya, Allah! Engkau-lah Tuhan yang Maha Agung, Maha Mendengar dan Maha Memberi. Dita mempunyai sebuah permohonan Ya Allah. Dita ingin memiliki seorang adik. Adik yang manis, yang nanti bisa Dita sayangi dan Dita ajak main. Dita mohon, agar Allah mau mendengar doa Dita ini. Amin.”

Pada hari Minggu yang cerah, Dita dan Andini sedang bermain bersama di teras rumah Dita. Saat mereka asyik bermain, tiba-tiba sebuah taksi berhenti di depan rumah Dita. Pintu taksi pun terbuka. Dari dalam taksi keluarlah Bunda dan Ayah Dita. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit.

“Itu Ayah dan Bunda sudah datang!” serunya dengan senang.

Ayah dan Bunda kemudian menghampiri Dita sambil tersenyum bahagia.

“Dita!” Bunda memanggil Dita dengan lembut.

“Ya, Bunda.” Jawab Dita.

“Dita, Ayah dan Bunda baru saja mendapat kabar gembira dari Dokter. Kamu mau tahu kabar gembira itu?” tanya Bunda sambil mengelus-elus kepala Dita.

“Mau! Mau Bunda. Kabar gembira apa, Bunda?” tanya Dita penasaran.

“Menurut Dokter, Bunda tidak sedang sakit.” Ayah ikut berbicara pada Dita.

“Oh, begitu. Jadi Bunda baik-baik saja? Tapi kenapa dari kemarin Bunda muntah-muntah terus, Ayah? Dita kan jadi takut,” ujar Dita sedih.

“Nanti juga Bunda tidak akan muntah-muntah lagi.” Ayah mencoba menjelaskan.

“Dita, waktu itu Dita pernah meminta pada Ayah dan Bunda untuk diberikan seorang adik? Ingat tidak?” tanya Bunda.

“Oh, iya dong! Dita kan tidak pernah berhenti memintanya pada Bunda. Lalu Dita juga selalu berdoa pada Tuhan agar Dia mau memberikan seorang adik untuk Dita. Bunda tahu? Dita benar-benar menginginkan seorang adik, agar nanti bisa jadi teman bermain Dita,” celoteh Dita dengan riang.

“Nah, kali ini permintaan Dita telah dikabulkan oleh Tuhan. Dita akan memiliki seorang adik.” Bunda mengelus pipi Dita dengan lembut.

“Benar, Bunda?” tanya Dita tidak percaya.

“Dita akan mempunyai seorang adik?” tanyanya lagi pada Bunda.

Ayah dan Bunda mengangguk. Mereka tersenyum bahagia.

Dita melonjak kegirangan. Dia segera menghampiri Andini yang sedang duduk menatap mereka dari tadi.

“Andini, aku akan punya seorang adik!” serunya lagi dengan riang.

“Nanti kita tidak akan bermain berdua lagi. Tapi jadi bertiga dengan adikku. Aduh, nanti adik akan kuberi nama siapa ya? Tapi adikku itu perempuan apa laki-laki ya? Ah, kalau perempuan namanya Desti saja, dan kalau laki-laki namanya Derry saja. Bagaimana? Kamu suka dengan nama yang aku buat untuk adikku? Nanti adik akan ku ajak bermain ke taman. Kita bertiga bisa bermain dengan sepuasnya,” celotehnya tanpa henti.

Dita terus saja berceloteh pada Andini tanpa henti. Ayah dan Bunda yang melihat ulahnya hanya bisa menggeleng-geleng kepala dan tersenyum.

* * *

Dua hari kemudian, Bunda melihat Dita sedang menangis setelah pulang dari sekolah.

“Kenapa, Dita? Kok, pulang sekolah menangis?” tanya Bunda lembut.

“Hari ini Andini mengatakan sesuatu pada Dita tentang adik,” jawabnya sesegukan.

“Tentang Adik?” Bunda bertanya lagi.

“Ya. Kata Andini, jika adik lahir, Adik akan menjadi anak nakal. Dita tidak mau mempunyai adik yang nakal. Kalau dia nakal, lebih baik Bunda berikan pada Tante Sisca saja, ya? Tante Sisca kan galak. Nanti biar adik di marahi terus oleh Tante Sisca,” rengeknya pada Bunda.

“Hush! Dita, kamu tidak boleh seperti itu. Adik Dita ini belum tentu menjadi anak yang nakal.”

“Tapi jika kata-kata Andini itu terbukti, bagaimana Bunda?” tanyanya khawatir.

“Kalau begitu, Dita berdoa pada Tuhan dan memohon pada-Nya agar mempunyai adik yang shaleh. Insya Allah, doa Dita akan di dengar oleh-Nya,” kata Bunda dengan lembut pada Dita.

Mendengar kata-kata Bunda, hati Dita menjadi lega. Dia mengusap air matanya yang masih mengalir.

“Oh, begitu ya! Kalau begitu Dita akan selalu berdoa pada Tuhan agar adik menjadi anak yang shaleh,” ujarnya tersenyum lega.

* * *

Enam bulan kemudian, Tiba-tiba sikap Dita berubah. Dia sekarang tidak perduli lagi dengan adiknya yang akan lahir nanti. Dita tidak mau lagi mengelus adiknya yang masih ada dalam perut Bunda. Dita juga tidak pernah lagi membicarakan rencana-rencananya nanti bersama adik jika dia sudah lahir.

Ayah dan Bunda merasa heran dengan tingkah Dita yang aneh ini. Kali ini Bunda akan mencoba menanyainya.

“Dita, Bunda ingin bertanya pada Dita. Mengapa sikap Dita sekarang berubah pada adik?”

“Dita tidak mau punya adik,” jawabnya malas-malasan.

“Kenapa, Dita?” tanya Bunda lagi dengan lembut.

“Karena jika adik lahir nanti, Bunda dan Ayah tidak akan sayang lagi pada Dita. Bunda akan lebih banyak memperhatikan adik, dan bukannya Dita,” katanya sedikit kesal.

“Dita, Ayah dan Bunda tidak akan seperti itu. Jika adik lahir nanti, Adik tidak akan merebut kasih sayang kami pada Dita. Kami akan selalu tetap menyayangi Dita seperti biasanya. Kamu harus tahu itu, nak,” ujar Bunda sambil membelai rambut Dita yang panjang.

“Tapi, menurut teman-teman Dita di sekolah, adik nanti akan membuat Bunda kerepotan. Bunda harus memberikannya susu, harus memberikannya makan, harus mencucikan popoknya, dan harus memandikannya juga. Sudah pasti saat bermain dan belajar Dita dengan Bunda, jadi tidak ada.” Dita merengut.

“Hmm... Dita, kamu tahu saat adik lahir nanti seperti apa?”

Dita menggeleng.

“Adik yang baru saja lahir, tubuhnya sangat kecil dan rapuh. Dia tidak bisa apa-apa selain menangis, minum susu dan buang air. Dia belum bisa mandiri seperti Dita sekarang. Kasihan adik, jika tidak dibantu oleh Bunda. Pada saat inilah Bunda harus memberikannya susu agar adik tidak kehausan, harus memberikannya makan agar adik tidak kelaparan, harus mencucikan popoknya agar adik tidak gatal-gatal tubuhnya karena memakai popok kotor setiap hari, dan harus memandikannya juga agar adik terbebas dari kuman,” nasehat Bunda dengan sabar.

“Bunda rasa, Dita juga bisa membantu adik,” usul Bunda tiba-tiba.

“Dita membantu adik?” tanyanya heran.

“Iya. Bunda beri contoh, ya? Dita dapat memberikan botol susu untuk diminum adik yang sedang haus, Dita juga dapat mengajaknya bicara agar adik tidak bosan. Atau bisa juga menemaninya tidur dengan membacakan cerita seperti yang biasa Bunda lakukan pada Dita setiap malam. Jika adik menangis, Dita juga bisa menghiburnya dengan bernyanyi atau bermain bersama Bunda pula.”

“Wah, sepertinya senang sekali, Bunda!”

“Dita sewaktu bayi juga seperti itu. Semuanya harus dibantu Ayah dan Bunda. Dan sekarang, karena Dita sudah besar, Dita tidak perlu dibantu lagi seperti adik. Dita sudah menjadi anak yang mandiri. Ayah dan Bunda bangga dan sayang pada Dita. Adik kecil ini juga akan sayang pada Dita. Semuanya sayang Dita.”

“Dita juga sayang pada Bunda.” Dita memeluk Bunda dengan erat dan mencium pipinya dengan lembut.

“Dita juga sayang pada adik.” Dita mengelus adik yang ada dalam perut Bunda dan menciumnya pula.

“Bunda, Dita akan berdoa lagi pada Tuhan. Kali ini doa Dita berbeda. Dita mohon agar Tuhan juga mau menyayangi Ayah, Bunda dan adik. Seperti mereka yang juga selalu menyayangi Dita.”

* * *

Sembilan bulan kemudian, Dita diajak Ayah ke sebuah Rumah Sakit Bersalin. Di sana Dita melihat sebuah kamar dengan jendela kaca yang sangat lebar. Dalam kamar itu terdapat sepuluh bayi yang sedang terlelap tidur dalam kotak kaca tempat tidur bayi. Dita berusaha mencari tahu dalam kotak kaca yang mana adik bayinya berada pada Ayah.

“Ayah, adik bayi Dita yang mana?” tanyanya penasaran.

Ayah tersenyum dan menunjuk sebuah kotak kaca yang bertuliskan “Bayi DERRY” dalam kamar itu. Mulut Dita menganga lebar karena merasa tak percaya. Ayah dan Bunda memberikan nama Derry untuk adiknya. Itu artinya adik Dita laki-laki.

“Ayah, terima kasih!” Dita memeluk Ayah dengan erat.

Pandangan Dita kembali dalam kamar itu. Seorang suster datang dan menggendong Derry. Suster itu keluar kamar dan memberikan Derry pada Ayah.

“Dita, ini Derry. Adik Dita.” Ayah mendekatkan Derry pada Dita.

“Hai, adik Derry.” Dita menyapa adik kecilnya yang mungil.

Derry terbangun dan membuka matanya. Dia pun menangis dengan kuat dan kencang.

“Ayah, lihat! Adik Derry terbangun dan menangis. Mungkin dia haus.”

“Kalau begitu, sekarang kita bawa dia ke tempat Bunda,” kata Ayah.

Di kamar perawatan, Bunda segera memberikan susu pada Derry. Bunda terlihat letih tapi wajahnya menunjukkan rasa bahagia. Setelah kenyang minum susu, Derry tertidur kembali.

“Adik bayi kalau tidur lucu ya, Bunda?” komentar Dita yang sedang asyik memperhatikan adiknya.

“Dita suka pada adik?” tanya Bunda.

“Iya. Dita suka pada adik. Ternyata dia mungil sekali dan lucu. Dita tidak sabar untuk mengajaknya bermain,” kata Dita sambil mengusap-usap lengan Derry.

Ayah dan Bunda tersenyum pada Dita. Nampaknya keragu-raguan Dita tentang adiknya sudah sirna. Dia nampak bahagia dengan kedatangan Derry di tengah-tengah mereka.

“Bunda, doa Dita kini bertambah lagi satu pada Tuhan,” tambahnya lagi tiba-tiba.

“Apa itu?” tanya Ayah dan Bunda bersamaan.

“Dita berdoa semoga Ayah, Bunda, Dita dan adik Derry selalu senang. Seperti saat ini.” Dita yang sedang berbahagia kemudian memeluk Ayah Bundanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar