Jumat, 29 Januari 2010

Naskah gue kok ga da kabar sich?

Udah lama enggak curhat niiiyyy...
Begini... gue lagi punya masalah...
Naskah yang gue kirim, kok enggak ada kabarnya ya?
Hmm... sampai kapan gue musti nungguinnya?
Mungkin sebaiknya gue tunggu sampai batas waktu 3 bulan aja deh!
Kalau udah begitu kirim lagi naskahnya ke tempat lain atau...
buat yang baru lagi dengan versi yang lebih baik!

OK?

YUP!

SEMANGAT!!!!!

^_^ Begitu dong....

SEPEDA IMPIAN BIMBIM



Saat pulang sekolah, Bimbim melihat Didik sedang mengayuh sepeda barunya. Bimbim tertarik sekali dan mendekatinya.

“Sepedamu bagus sekali,” puji Bimbim kagum.

“Ini namanya sepeda balap. Kamu bisa melaju kencang dengan sepeda ini,” jelas Didik bangga.

Bimbim menjadi iri. Dia juga ingin memiliki sepeda balap seperti milik Didik.

“Bu, Bimbim ingin sepeda balap seperti milik Didik,” pinta Bimbim sesampainya di rumah.

“Bimbim, sepedamu kan masih bisa dipakai.” Ibu mengusap dengan lembut kepala Bimbim.

“Sepeda Bimbim sudah berkarat dan jelek, Bu! Lagipula sepeda itu sudah kekecilan. Rasanya sudah tidak enak lagi untuk digunakan.”

Tiba-tiba Ibu memberikan sebuah usul. “Begini saja. Ibu akan membelikanmu sebuah celengan.”

”Ibu, Bimbim mau sepeda, bukannya celengan.” Bimbim protes.

“Bimbim, mungkin celengan yang ibu beri bisa membantumu mendapatkan sepeda balap seperti milik Didik. Celengan ini hanya dapat membantumu, jika kamu rajin menabung. Saat tabungan dalam celengan tersebut sudah terisi penuh, maka kita akan membukanya bersama-sama dan menghitung jumlah uang tabungan yang terkumpul didalamnya. Uang yang terkumpul itu nantinya bisa kamu belikan sepeda balap impianmu.”

“Wah, Bimbim mau, Bu!” seru Bimbim bersemangat.

Sejak itu, setiap hari Bimbim selalu rajin menyisihkan sebagian uang jajannya untuk ditabung dalam celengan yang berbentuk ayam jago. Celengan ayam ini dibelikan Ibu dari pasar. Karena celengan ayam ini terbuat dari keramik, maka Bimbim harus berhati-hati sekali memegangnya agar tidak terjatuh atau tersenggol tangannya sendiri.

Beberapa bulan kemudian, celengan ayam milik Bimbim sudah terisi penuh. Bimbim tidak sabar lagi untuk mengeluarkan isinya dan segera menghitungnya.

PRANGGG!

Sebuah bantingan keras membuat celengan ayam tersebut pecah. Beberapa pecahan celengan serta isinya nampak berserakan di lantai. Bimbim segera menbereskannya dan menghitung jumlah uang yang terkumpul.

“Tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Yah, masih kurang,” ujarnya lesu.

Bimbim lalu membayangkan sepeda balap berwarna merah yang dia lihat di toko kemarin. Pada sepeda itu menempel sebuah kertas bertuliskan angka Rp. 500.000 dengan ukuran yang besar dan tebal.

“Uang Bimbim masih kurang seratus lima puluh ribu lagi. Kalau begini sih, Bimbim masih harus menabung lagi,” ujarnya sedih.

Bimbim menjadi murung. Dia tidak bersemangat lagi. Ibu yang melihat Bimbim sedang termenung lalu mencoba mendekatinya.

Ada apa, Bimbim?” tanya Ibu lembut.

“Uang tabungan Bimbim kurang, Bu. Kalau begini, Bimbim belum bisa membeli sepeda balap seperti milik Didik, dong! Apalagi lomba sepeda sehat sebentar lagi akan diadakan di komplek ini. Bimbim ingin ikut lomba itu dengan menggunakan sepeda balap yang baru.”

“Bimbim tidak boleh putus asa dan sedih. Bimbim masih bisa menabung lagi. Yang penting sekarang Bimbim harus sabar dulu. Tidak lama lagi Bimbim pasti sudah bisa membeli sepeda balap,” nasehat Ibu.

“Baik, Bu!” kata Bimbim.

Keesokan harinya, Bimbim bertemu Kakek Amin yang sedang memanggil-manggil kucingnya yang berada di atas pohon. Rupanya kucing Kakek Amin lari ketakutan saat melihat seekor anjing dan langsung naik ke atas pohon. Kucing itu berjalan hilir mudik di sebuah dahan yang tinggi. Dia tidak berani turun. Bimbim pun merasa iba.

“Kakek tunggu saja dibawah, ya? Bimbim akan segera membawa Pussy turun,” janji Bimbim pada Kakek Amin.

Bimbim kemudian memanjat pohon dengan mudahnya. Lalu dia mendekati Pussy yang sedang gelisah dan gemetar karena ketakutan. Bimbim berusaha membujuk kucing itu supaya menjadi tenang. Akhirnya Pussy bisa tenang dan dapat di bawa turun oleh Bimbim.

“Terima kasih. Akhirnya Pussy bisa turun juga,” ujar Kakek Amin senang.

Bimbim tersenyum. Sebelum pergi, Kakek Amin memberikan selembar uang sepuluh ribu kepada Bimbim.

“Kamu telah begitu sabar membujuk Pussy turun dari pohon. Karena itu, Kakek merasa berterima kasih sekali kepadamu. Dan sebagai imbalan karena telah menolong Pussy dan Kakek, terimalah hadiah uang ini. Hanya ini yang Kakek bisa berikan untukmu. ”

Bimbim merasa senang dan mengucapkan terima kasih pada Kakek Amin. Uang itu rencananya akan dia tabung lagi. Dengan demikian kesempatan untuk mendapatkan sepeda balap semakin dekat.

Sore harinya, Tante Bella datang berkunjung ke rumah Bimbim. Tante Bella membawa begitu banyak tas besar. Kelihatannya kedua belah tangannya tidak sanggup mengangkut semua tas-tas itu. Dia nampak repot sekali. Bimbim tersenyum geli melihat Tante Bella yang terlihat kerepotan dengan tas-tas bawaannya.

“Bimbim, jangan tertawa saja. Tolong bantu Tante!” seru Tante Bella.

Bimbim mendekat. “Tas banyak sekali, Tante?”

“Iya. Tas ini berisi pakaian. Pakaian ini akan Tante jual ke toko. Kamu mau menolong Tante, kan?”

Bimbim mengangguk.

“Nah, tolong kamu bawa tas ini dan tas ini ke dalam, ” perintah Tante Bella.

Bimbim menurut. Dia membawa tas-tas tersebut ke dalam rumah. Tas itu begitu berat. Walau demikian, Bimbim tidak berani mengeluh. Tante Bella bisa jadi sangat cerewet jika Bimbim terlalu banyak mengeluh.

“Anak baik!” puji Tante Bella pada Bimbim. “Ini hadiah untukmu.” Tante Bella memberikan sebuah amplop kepada Bimbim.

Bimbim membuka amplop tersebut. Ternyata amplop itu berisi uang lima puluh ribu rupiah. Bimbim kaget.

“Tante sedang dapat untung banyak kali ini. Uang itu harus kamu tabung, ya?”

Bimbim mengangguk. Dia kian bersemangat karena uang tabungannya semakin bertambah. Bimbim lalu menceritakan rasa bahagianya pada Ibu.

“Kalau begitu, besok kita pergi ke toko sepeda. Bagaimana?” tawar Ibu.

“Uang Bimbim kan belum cukup, Bu?”

“Ibu yang akan menambahkan kekurangannya.”

“Benarkah?” Bimbim merasa takjub mendengar perkataan Ibu.

Esok harinya, Bimbim sudah mengayuh sepeda balap barunya di jalanan. Dengan hati riang Bimbim mengayuh sepeda itu. Sepeda impiannya sudah dia dapatkan. Benar kata Ibu, hanya dengan menabung serta bersabar, maka Bimbim bisa mendapatkan sepeda balap yang dia mau.

Akhirnya lomba sepeda sehat dibuka. Bimbim bersama Didik ikut mendaftar.

“Bim, ayo kita bersaing dalam lomba ini dan berusaha memperebutkan posisi juara pertama. Kamu berani?” tantang Didik.

“Ayo! Siapa takut? Aku juga sudah siap.” tantang Bimbim pula.

Semua peserta lomba bersiap-siap di garis start. Lalu terdengar bunyi letupan keras di udara. Lomba pun di mulai. Bimbim bertekad untuk memenangkan lomba ini dengan menggunakan sepeda balap barunya.

Sepeda Bimbim melaju dengan pesat, meninggalkan peserta lainnya satu persatu di belakang. Kini Bimbim berada di urutan paling depan, dan garis finish pun semakin terlihat. Dalam hitungan detik saja, Bimbim telah berhasil melewati garis finish. Lomba balap sepeda sehat kali ini pun dimenangkan oleh Bimbim. Bimbim tersenyum bahagia dan mengelus sepedanya dengan bangga.

AYO MANDI




“Dodi! Ayo mandi nak?” bujuk Ibu.
“Dodi tidak mau mandi. Dodi malas mandi!” seru Dodi.
“Dodi, kalau kamu tidak mandi, seluruh badan kamu bisa gatal-gatal, nak.”
Ibu masih terus membujuk Dodi agar dia mau mandi. Tapi Dodi bersikeras tetap tidak mau mandi.
“Dodi. Kamu ingat kata-kata Ibu Guru di sekolah?” tanya Ibu kemudian.
“Yang mana, Bu?” Dodi balik bertanya.
“Jika kita tidak rajin mandi maka di tubuh kita akan menempel berbagai kuman penyakit. Apa Dodi mau jika kuman-kuman itu menempel di tubuh Dodi?”
“Tidak, Bu,” jawab Dodi segera.
“Oleh karena itu Dodi harus rajin mandi setiap pagi dan sore. Agar tubuh Dodi tetap bersih dari kuman dan juga tubuh Dodi menjadi sehat,” nasehat Ibu.
“Ooh begitu, ya Bu?” Dodi mulai mengerti maksud Ibu.
“Iya. Nah, kalau begitu sekarang Dodi mandi, ya? Kalau Dodi sudah mandi, Dodi boleh main lagi,” kata Ibu lembut.
Dodi menurut dan dia segera pergi ke kamar mandi untuk mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian, Dodi pergi bermain lagi ke rumah Banu.
“Wah, kamu sudah mandi, Dod? Badanmu wangi sekali?” puji Banu pada Dodi.
“Iya dong. Selain wangi, aku juga jadi sehat,” sahut Dodi.
“Hah? Sehat? “ tanya Banu.
“Kalau kamu rajin mandi, tubuh kamu jadi sehat. Kuman penyakit tidak mau nempel. Itu kata Ibuku.”
“Tapi aku jarang sekali mandi. Hih! Airnya dingin.” Banu bergidik seperti sedang kedinginan. “Aku tidak suka air yang dingin. Aku juga tidak suka mandi,” lanjut Banu.
“Wah, tubuh kamu nanti bisa gatal-gatal loh, Ban,” sahut Dodi.
“Tapi aku enggak pernah gatal-gatal tuh. Nih, lihat?” Banu membuka kaosnya dan menunjukkan tubuhnya serta kedua tangan dan kakinya.
“Tapi tubuhmu bau sekali, Banu. Tuh, kuku jari tangan serta kakimu juga hitam. Banyak sekali kotoran di sana.” Dodi mengernyitkan hidungnya.
“Ah, itu sih sudah biasa, Dod.” timpal Banu.
Esok harinya, Dodi bermain lagi ke rumah Banu. Tapi ternyata Banu sedang sakit.
“Tante, Banu sakit apa?” tanya Dodi pada Tante Diah, Ibunya Banu.
“Dari tadi pagi Banu buang-buang air terus. Menurut Banu perutnya terasa mulas sekali dan tubuhnya terasa gatal-gatal,” ujar Tante Diah.
“Ooh. Sekarang Banu dimana Tante?”
“Ada di kamarnya. Coba saja kamu tengok ke dalam ya?”
Dodi mengangguk. Dodi lalu menemui Banu di kamarnya.
“Loh, Banu? Kamu sakit, ya?” tanya Dodi khawatir saat melihat keadaan Banu.
“Iya, Dod. Perutku mulas sekali. Dari tadi pagi aku terus-terusan buang air besar,” ujar Banu lemah.
“Kenapa bisa begitu?” tanya Dodi keheranan.
“Menurut Dokter yang memeriksaku tadi, di dalam perutku ada kumannya. Kuman itu datangnya dari tanganku ini. Tanganku kotor. Setiap kali aku akan makan aku tidak pernah membersihkannya dulu. Karena itu kuman-kumannya masuk ke dalam perutku.”
“Tapi kenapa tubuhmu juga memerah begitu?” tanya Dodi ketika melihat tubuh Banu yang memerah.
“Tubuhku juga terasa gatal-gatal, Dod. Sejak kemarin tubuhku mulai terasa gatal dan aku jadi sering menggaruk-garuknya. Akhirnya badanku jadi memerah begini. Menurut Dokter aku kena penyakit kulit. Ini juga akibat aku tidak rajin membersihkan tubuhku. Dokter menasehatiku agar aku harus rajin mandi dan membersihkan diri supaya tubuhku tetap sehat.”
“Wah, ternyata perkataan Ibu dan Dokter juga sama ya? Kalau tubuh kamu mau sehat harus rajin mandi. Untung aku menuruti perintah Ibu. Kalau tidak, mungkin aku akan sakit juga seperti kamu, Banu.”
“Mulai besok, aku juga akan rajin mandi seperti kata Dokter, Dod. Biar tubuhku tetap sehat dan kuat. Lalu kita bisa bermain bersama-sama lagi seperti biasa,” janji Banu.
“Nah, begitu dong! Selain sehat, tubuh Banu juga menjadi wangi seperti aku. Betulkan?” Dodi tertawa.
“Betul.” Banu setuju dan dia juga ikut tertawa.
“Karena itu kita harus rajin mandi agar semua kuman tidak mau menempel lagi. Ayo mandi!” seru Dodi penuh semangat.
“Ya. Ayo mandi!” seru Banu pula.
Mereka berdua pun tertawa bersama.