Selasa, 14 Juli 2009

Uhuk... uhuk... uhuk...
Sebel. Gue gak bisa ngapai-ngapain gara-gara kena flu n' batuk. Tambah meriang segala.
Udah tiga hari badan enggak enak banget.
Gue coba tanya temen gue yang seorang dokter.
Katanya kalau obat n' antibiotik udah gak mempan, lebih baik ngunyah daun sirih aja.
Yeaaakkkkk!!!!!
OMG.... Daun sirih, geeetttoooo loooohhh!!!!
Gue gak nyangka harus pake itu. Padahal gue gak suka baunya kan.
Tapi demi kesehatan gue kudu coba juga nih. Why not?
Murah meriah kan, gak perlu banyak biaya kalau gue ke rumah sakit.
Obat alternatif yang pasti manjur.

Jumat, 10 Juli 2009

Tips mengatasi rasa jenuh & stress

Terkadang jenuh dan stress juga menghadapi segalanya. Sekali-kali pengen juga sih jalan-jalan. Ke lokasi wisata kek, ke Mall juga boleh (cuci mata lihat discount-an), ke toko buku?!? Hmm... oke juga! Apalagi nyari tempat jajanan yang enak. Huih.... yang pasti semuanya bisa nguras kantong kalau enggak tahan pengen beubelian.
(Jaman sekarang enggak ada yang murah and gratis, nenk!)

Yang pasti, kalau lagi jenuh and stress... lebih baik enggak usah kemana-mana yang bisa ngabisin duit deh (apalagi kalau emang aslinya ga berduit... hehehe). Nanti malah double stressnya.

Mendingan tengok deh ke belakang rumah... Nah ada rumput yang udah mulai tinggi, ada tanaman yang hampir mati karena jarang di siram, ada ikan yang enggak pernah di kasi makan sebulan sampai kolamnya hitam (kasihan banget itu ikan, kok masih bisa hidup ya?). Coba aja ngeberesin itu semua. Tapi ngeberesinnya jangan pake gondok. Gak kan hasil buat ngilangin jenuh and stressnya deh. Dibawa relax aja. Pasti nanti udah asyik sibuk sendiri ngurusin itu semua.

Kalau cara diatas gak berhasil, biasanya cari cara untuk melepaskan emosi. Bisa dengan cara teriak-teriak. Mau teriak sambil nyanyi and nungging boleh juga. Teriak ngagetin setiap orang lewat juga boleh, asal mau kena semprot aja. Hehehe...

Gak mempan juga???
Huh... satu-satunya cara lagi yang gue tahu... guyur kepala pake air, trus di shampoin, terus dipijitin, terus di guyur air lagi, tinggal molor deh... ZZzzzzzzzz...

Senin, 06 Juli 2009

Misteri rumah angker Pak Karta


Rumah Pak Karta yang diujung jalan Melati katanya akan dikontrakkan lagi. Sudah tidak aneh lagi untuk lingkungan orang di komplek ini jika rumah tersebut selalu berganti-ganti penghuninya. Paling cepat penghuni baru minggat dalam waktu dua puluh empat jam setelah menempati rumah tersebut dan yang paling lama biasanya hanya bisa bertahan menempati rumah tersebut dalam waktu tiga hari saja. Saat penghuni itu keluar rumah, wajahnya terlihat pucat seperti mayat. Kelopak matanya cekung dan hitam, tampaknya dia tidak pernah bisa tidur dengan tenang. Mulutnya meracau tak karuan. Kami menganggapnya sudah menjadi gila karena terlalu lama berada dalam rumah tersebut.

Tak pernah ada satu pun penghuni tersebut yang berani menceritakan apa yang sedang terjadi dalam rumah tersebut. Mereka memilih untuk bungkam dari pada harus menceritakan apa yang baru saja dialaminya.

Terkadang para pemuda komplek tertantang untuk mencoba menguji nyali mereka memasuki rumah tersebut karena penasaran apa yang telah terjadi di dalam sana terhadap para penghuni rumah tersebut. Tapi hanya dalam hitungan detik mereka sudah lari terbirit-birit keluar dari sana.

Rumah itu menjadi terkenal dengan sebutan rumah angker. Sebenarnya rumah tersebut mulai menjadi angker saat anak Pak Karta, Hanifah meninggal dunia dengan cara tragis tiga bulan yang lalu. Dia ditemukan oleh Pak Karta sendiri tergeletak tak bernyawa dengan beberapa luka tusuk di dada dan di perutnya. Menurut berita, Hanifah di bunuh oleh kekasihnya sendiri. Sampai sekarang, kekasihnya yang bernama Ramon menghilang bagai di telan bumi. Motif pembunuhan pun sementara diduga karena cemburu.

“Aku mau mencoba masuk ke dalam rumah Pak Karta,” celetuk Jajang tiba-tiba.

“Kamu mau masuk ke dalam rumah angker itu, Jang?” Badri mencoba meyakinkan pendengarannya atas pernyataan Jajang.

“Wah, itu sih cari mati. Jangan cari masalah deh. Nanti kamu bisa jadi stress seperti si Sarip, tuh.” Radit membujuk Jajang.

“Aku tidak mengkhawatirkan hal itu. Aku hanya yakin jika aku berani menghadapi apa yang terjadi di dalam sana. Buat apa belajar ngaji dan sholat kalau aku tetap saja takut sama yang namanya mahkluk halus. Kita hanya boleh takut kepada Sang Pencipta. Bukan dengan demit!” ujar Jajang yakin.

“Terserah kamu deh. Kapan mulai beraksi?” tanya Badri penasaran.

“Nanti malam. Mau ikut?” tanya Jajang pada kedua kawannya.

Badri dan Radit saling bertatapan. Mereka terlihat ragu dan takut. Tapi mereka juga merasa tidak enak pada Jajang. Mulut mereka seperti terkunci dan tidak dapat mereka gerakkan.

“Bagaimana? Kamu berdua mau ikut aku tidak? Kalau tidak mau ikut, aku juga tidak marah. Yang pasti nanti malam aku sudah mulai beroperasi dalam rumah itu.” Jajang berusaha meyakinkan Badri dan Radit.

Malam harinya tepat jam sembilan malam, Jajang sudah berada di depan rumah angker. Jajang menatap ke dalam rumah yang gelap dan sepi. Semilir angin yang lembut dan dingin terasa menusuk kulit. Timbul sedikit rasa ragu dalam dirinya. Tapi Jajang ingat kembali ajaran guru mengajinya, “Janganlah kau merasa ragu atas apa yang telah engkau yakini kebenarannya. Ingatlah selalu kepada Sang Pencipta. Maka segala keraguan dalam dirimu akan terlepas dan kau akan selalu berada dalam lindungan-Nya.”

Tekad Jajang kembali menguat. Dengan membaca basmalah dan doa lainnya, Jajang mengangkat kaki kanannya untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Saat kaki itu hendak menyentuh lantai rumah, Badri dan Radit memanggilnya.

“Jang, tunggu! Kami ikut kamu,” seru mereka berdua serentak.

Jajang menoleh dan memandang mereka berdua dengan perasaan senang. Maka petualangan mereka dalam rumah angker milik Pak Karta pun di mulai.

Bersambung...

Jumat, 03 Juli 2009

Selamat Jalan Kawan


Sesosok tubuh yang lemah tampak terbaring diam di sebuah kamar ICU Rumah Sakit Islam di daerah Cempaka Putih. Di samping tubuh itu tampak seorang lelaki berusia dua puluhan sedang membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an untuknya.

Wajah lelaki tersebut terlihat letih dan pucat. Suara yang keluar dari mulutnya terdengar sedikit parau. Sesekali dia terisak dan meneteskan airmata saat memandang tubuh yang berada dihadapannya. Tangan kanannya kemudian membelai lembut tangan tubuh yang tergeletak tak berdaya itu. Ingin sekali dia berharap tubuh itu akan segera membuka matanya, tapi tampaknya itu adalah hal yang mustahil.

Pemandangan tersebut sungguh sangat mengharukan dan selalu aku ingat hingga saat ini. Tubuh yang aku lihat diam dan tak bergerak itu temanku, Susi. Dia kini diam tak berdaya ditempat tidurnya, matanya terpejam dan wajahnya tampak damai sekali. Tapi aku merasa miris melihatnya karena aku tahu disekujur tubuhnya hingga kepalanya banyak sekali luka yang sangat mengerikan.

Lelaki yang berada disampingnya masih terus membacakan ayat-ayat suci untuknya. Aku sempat melihat matanya tampak sembab dan dibeberapa bagian lengan terlihat pula beberapa luka kecil. Aku jadi bertanya dalam hati, “Sebenarnya apa yang telah terjadi pada mereka berdua?”

Salah seorang teman menyampaikan padaku bahwa Susi dan lelaki itu yang ternyata kekasihnya mengalami kecelakaan di daerah kemayoran saat sepulang dari kampus. Motor yang ditumpanginya telah menabrak sebuah mobil, dan saat itu juga Susi terlempar jauh dan mendarat di aspal dengan keras. Helm yang dipakainya pun pecah, darah mengalir dari sekujur tubuhnya. Aku bergidik saat mendengar kisah yang menimpa Susi dan kekasihnya itu. Sungguh kisah yang sangat mengerikan.

Aku tercekat memandang Susi, seorang gadis Jawa kelahiran Salatiga yang bersekolah di Jakarta. Aku mengenal Susi sejak SD dan dia mengaji di tempat yang sama pula denganku. Kami memang tidak akrab tapi aku mengenalnya sebagai gadis yang sangat baik dan manis, logatnya kental sekali jika berbicara dan dia tidak pernah berulah.

Saat kuliah, kami bertemu kembali dan ternyata dia masih ingat kepadaku. Di kampusku dia menjadi aktifis rohis yang aktif, sifatnya yang baik dan ramah kepada siapa saja membuatnya banyak disukai semua orang. Semua mata kuliahnya juga mendapat nilai yang memuaskan. Tak pernah sedikit pun aku mendengar cela tentangnya.

Saat terakhir aku bertemu dengannya, dia sedang merencanakan untuk pulang ke kampungnya setelah ujian semester ini selesai. Kulihat wajahnya begitu senang dan bahagia karena begitu menantikan saat-saat kepulangannya ke kampung halaman untuk bertemu orang tuanya. Sedikitpun aku tak pernah mengira bahwa dia akan menjadi seperti ini, tergolek lemah tanpa daya setelah kecelakaan yang dialaminya terjadi pada hari terakhir ujian semester.

Saat ini Susi tidak bisa dibangunkan. Beberapa saat sebelumnya dia sempat bangun, dan merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Atas saran Dokter, Susi harus dibius agar tubuhnya stabil untuk melakukan operasi. Aku berharap semoga Susi bisa lekas sembuh jika operasi sudah dilakukan

Semakin hari perkembangan Susi tidak mengalami kemajuan. Kami semua sebagai temannya hanya bisa mendoakan kesembuhan Susi.

Buruknya lagi, sekarang di kampus mulai terdengar kabar jelek tentang Susi. Semua teman-teman dikampus sedang hot-hotnya membicarakan kabar yang satu ini. Mereka bilang Susi tidak berjodoh dengan kekasihnya dan Susi sudah mengetahuinya setelah dia melaksanakan shalat istikarah. Akan tetapi Susi tetap meneruskan hubungan tersebut. Akhirnya mereka menjadi celaka karena menentang kehendak Allah. Astagfirullah... aku menjadi semakin miris mendengar kabar tersebut.

Kenapa dia yang tengah terbaring lemah itu masih dipergunjingkan orang. Seharusnya mereka tidak usah membicarakan hal-hal yang buruk tentangnya.

Tiba-tiba seorang kawan menangis. “Susi telah meninggal!” katanya tersedu-sedu. Seluruh isi kampus gempar. Susi, mahasiswi terbaik kami telah pergi dan menutup mata untuk selamanya.

Tak ada lagi tawa dan senyumnya yang manis, tak ada lagi candanya, tak ada lagi celotehannya, dan tak ada lagi gadis ayu berjilbab yang selalu berjalan dengan agak terburu-buru dari Fakultas Ekonomi menuju Masjid dengan menenteng map serta buku-buku pelajaran.

Susi menepati janjinya. “Setelah ujian semester ini selesai, aku akan pulang ke Salatiga!” itu kata-kata terakhirnya yang masih kuingat. Susi memang telah pulang untuk selama-lamanya dan jasadnya kini kembali ke Salatiga kota kelahirannya.

Angin semilir berhembus lembut membawa harumnya aroma bunga melati, kulihat samar-samar Susi tersenyum bahagia. Aku melambai padanya dan berdoa untuk kepergiannya. “Selamat jalan kawan. Semoga engkau tenang bersama-Nya disana.”

In Memoriam Susi

Jatibening, 19 Mei 2009

Kamis, 02 Juli 2009

Mimi dan Wawa


Di sebuah rumah yang indah, tinggallah dua ekor anak kucing yang bernama Mimi dan Wawa. Mereka sangat dimanjakan oleh pemilik rumah, Ibu Dini. Segala kebutuhan mereka selalu dipenuhi oleh tuannya. Mereka selalu diberi makan makanan yang bergizi. Tuannya juga sering membawa Mimi dan Wawa ke salon hewan, sehingga tubuh mereka selalu terlihat bersih dan rapih. Mimi dan Wawa juga tidak lupa diberi pakaian dan perhiasan yang indah-indah. Mereka jadi terlihat cantik sekali. Mimi dan Wawa menjadi sangat senang tinggal dirumah tersebut.

Suatu hari, pemilik rumah pergi ke luar kota untuk beberapa hari. Mimi dan Wawa dititipkan ke sebuah rumah penitipan hewan. Pemilik rumah hewan itu sangatlah baik dan ramah. Ibu Dini nampaknya cukup tergesa-gesa meninggalkan mereka. Akibatnya beberapa barang untuk bekal Mimi dan Wawa tidak semuanya terbawa.

Di rumah hewan tersebut, Mimi dan Wawa berkenalan dengan beberapa ekor hewan lainnya, seperti Gogi si anjing chihuahua, Smiley si kucing persia, Igu si Iguana kecil, dan Bebe si burung beo. Kawan baru Mimi dan Wawa tampaknya cukup menyenangkan.

Mimi dan Wawa rupanya terbiasa hidup dimanjakan oleh tuannya, sehingga mereka menjadi kucing yang sombong. Kawan-kawan baru mereka di rumah penitipan hewan sangat tidak menyukai tingkah Mimi dan Wawa yang sombong.

Mimi dan Wawa lebih suka bermain berdua saja. Jika mereka mempunyai makanan yang enak, kawan-kawannya tidak pernah mereka beri. Jika mereka mempunyai mainan yang bagus, kawan-kawannya juga tidak pernah mereka pinjami. Mimi dan Wawa senang memamerkan semua barang yang mereka miliki dan menganggap kawan-kawannya hanyalah kelompok hewan yang tidak punya apa-apa.

“Kami memiliki pakaian yang indah-indah dan perhiasan yang terbuat dari berlian. Sudah pasti kalian tidak memiliki barang-barang seperti kami,” ujar Mimi pada kawan-kawan barunya dengan bangga.

“Ya, dirumah kami juga terdapat tempat bermain yang luas sekali, sehingga kami bisa bermain dengan sepuasnya,” tambah Wawa dengan pongah.

“Makanan kami tidak sembarangan. Semuanya di beli dari luar negeri. Begitu pula susu untuk kami. Semuanya dibeli khusus untuk kami dari toko hewan yang terkenal di sana. Tidak seperti disini. Semuanya serba murah dan jelek kualitasnya.” Mimi menjilati tangannya dan mematut dirinya di cermin yang terdapat di rumah hewan tersebut.

“Kami tidak suka dengan makanan lokal karena rasanya menjijikkan. Hueekkk....” Wawa bertingkah seakan hendak memuntahkan makanan.

Walaupun mereka bertingkah sangatlah sombong, Gogi, Smiley, Igu dan Bebe masih mau mengajak mereka bermain bola bersama. Tapi jawaban mereka sungguh menyedihkan.

“Kami tidak suka bermain dengan mainan produksi lokal. Semuanya berkualitas jelek. Sekali pakai langsung rusak. Huh, sungguh tidak menarik.” Mimi mencibir.

Gogi, Smiley, Igu dan Bebe hanya menatap mereka dengan pandangan tak suka. Mereka menganggap Mimi dan Wawa sangat konyol dan sombong. Tadinya mereka berharap Mimi dan Wawa mau bergabung dengan mereka dan bermain bola bersama. Tapi kini mereka menjadi ragu. Sepertinya Mimi dan Wawa tidak akan mau bermain bersama mereka.

“Hmm... kupikir tadi kalian akan ikut bermain bola bersama kami. Jika kalian tidak suka, kami juga mengerti,” kata Smiley yang berusaha tetap bersikap ramah pada mereka.

Mimi dan Wawa kemudian pergi dari hadapan mereka dengan dagu terangkat dan berjalan dengan pongahnya.

“Huh, aku tidak suka dengan tingkah mereka. Mereka sungguh membuatku menjadi sebal dan muak,’ gerutu Bebe si beo.

“Betul, seharusnya kita tadi tidak usah mengajaknya bermain jika jawabannya sungguh tidak mengenakkan,” seru Igu si iguana.

Gogi berdehem. “Walaupun mereka sombong, tapi kita tetap tidak boleh membenci mereka kawan-kawan. Jika kita membenci mereka, berarti tingkah kita sama saja dengan mereka.”

Igu dan Bebe tampaknya kurang setuju dengan kata-kata Gogi. Mereka merengut kesal.

Smiley memandang kawan-kawannya dengan sedih. “Sudah. Sekarang kita jangan membicarakan mereka lagi. Lebih baik sekarang kita bermain bola bersama seperti tujuan awal kita tadi. Ayo, kawan-kawan.” Smiley memberi semangat kepada ketiga kawannya.

Smiley bersama ketiga kawannya bermain bola dengan riangnya di halaman belakang. Mimi dan Wawa hanya bisa menatap mereka dengan pandangan iri sementara mereka hanya bisa duduk bertopang dagu di bantal yang empuk.

“Huh, seandainya tuan kita tidak melupakan mainan kita di rumah. Tentu sekarang kita bisa bermain seperti mereka dengan riangnya,” gerutu Wawa.

“Lupakan mainan. Kita masih memiliki makanan dan pakaian serta perhiasan yang indah-indah,” balas Mimi malas-malasan.

Wawa mendesah lesu. “Tapi rasanya tidak enak jika seharian ini aku tidak dapat bermain.”

Keesokan harinya, pemilik rumah penitipan hewan menyediakan makanan untuk para hewan di tempat itu. Mimi dan Wawa mendapatkan jatah makanan khusus mereka yang berbeda dari hewan-hewan lainnya dan mereka duduk disudut agak menjauh dari hewan-hewan lainnya.

Saat itu semua hewan memakan makanan mereka dengan lahapnya. Mereka kadang saling berbagi makanan, kadang tertawa dan bercanda dengan riangnya. Sungguh pemandangan yang sangat menyenangkan.

Mimi memperhatikan semua kejadian tersebut, dan tertegun sejenak. Tiba-tiba semuanya yang dirasanya menjadi terasa hambar.

“Hmm... kenapa makanan ini rasanya tidak enak ya?” Mimi bertanya pada Wawa setengah berbisik. Dia tidak mau hal ini diketahui oleh hewan lain.

“Tidak. Rasanya sama seperti biasanya. Tapi aku juga merasa ada yang aneh saat memakannya. Seperti kurang berselera,” jawab Wawa sambil menjulurkan lidahnya yang mulai terasa tawar.

“Kau lihat mereka?” tanya Mimi sekali lagi seraya menunjuk Gogi dan yang lainnya. “Mereka tampak sangat menikmati makanan mereka yang menjijikkan dan murahan itu. Apakah makanan itu sungguh enak dimakan?” Mimi menatap mereka penasaran.

“Sepertinya begitu. Kenapa tidak kita coba saja makanan mereka.” Wawa menawarkan sebuah permintaan yang mustahil.

“Tidak. Aku tidak mau. Makanan itu menjijikan sekali.”

“Tapi dari baunya sangat mengiurkan hidungku.”

“Mengapa tidak kau coba saja sendiri?” sindir Mimi.

Tanpa disuruh Mimi pun Wawa sudah melarikan diri menuju tempat Gogi dan kawan-kawannya. Tampaknya Gogi menerima kedatangan Wawa dengan suka cita dan mengajaknya makan bersama mereka. Sekali lagi mereka bersenda gurau bersama, tentunya kali ini Wawa ikut tertawa bersama mereka.

Mimi semakin jengkel pada Wawa karena telah meninggalkannya sendiri di sudut dengan makanan yang tidak enak. Sedangkan Wawa asyik tertawa bersama dengan yang lain.

Wawa semakin akrab dengan kawan barunya, sedangkan Mimi semakin menyendiri dan sibuk dengan dirinya sendiri. Mimi mencoba mengingatkan Wawa agar tidak bergabung dengan hewan lain. Tapi Wawa tidak perduli.

“Mereka kawan yang baik, Mimi! Mereka sangat menyenangkan. Ku harap kau mau bergabung dengan kami,” kata Wawa saat Mimi menegurnya.

Tentu saja Mimi menolaknya dengan tegas. Baginya mereka hanyalah hewan yang kotor dan kasar.

Mimi beranjak dari bantal tidurnya yang empuk. Dia merasa bosan dengan suasana di kandangnya. Mimi berjalan menyusuri ruang demi ruang dan sampai di teras belakang.

Rupanya cuaca hari ini sedang tidak bersahabat. Hujan turun dengan derasnya. Mimi menatap titik-titik hujan yang turun dari langit. Dingin. Tubuhnya ingin sekali bergerak untuk mengusir rasa dingin ini.

Tiba-tiba matanya melihat bola milik Smiley di dekat pintu belakang. Sudah lama Mimi tidak bermain dengan bola. Mimi jadi terpancing untuk menyentuhnya. Disengolnya bola tersebut dengan pelan. Bola menggelinding perlahan. Disenggolnya kembali bola itu sedikit lebih kencang. Bola meluncur dengan cepat mengitari pot bunga. Rupanya bermain bola cukup menyenangkan. Mimi menjadi lupa diri dan asyik bermain bola sendiri.

Tanpa disangka-sangka, kaki Mimi malah menginjak bola itu. Mimi kehilangan kesimbangan. Lantai teras yang licin karena terkena cipratan hujan membuatnya terpeleset jatuh dan semakin tergelincir menuju selokan yang terdapat di samping rumah. Mimi sangat ketakutan dan tubuhnya terasa sakit. Dia berteriak-teriak meminta tolong.

Smiley yang kebetulan lewat dan melihat kejadian tersebut mencoba menolongnya naik kembali ke teras. Tapi lantai yang licin membuat usahanya sia-sia. Dia kemudian memanggil teman-temannya yang lain untuk membantunya menolong Mimi. Berkat bantuan Smiley dan kawan-kawan, Mimi dapat tertolong.

Tubuh Mimi dipenuhi lumpur dan sangat kotor. Mimi malu dengan dirinya yang kotor dan dia lebih malu lagi karena telah ditolong oleh Smiley dan kawan-kawannya.

“Terima kasih semuanya. Aku sangat malu sekali karena telah ceroboh dan membuat kalian susah payah menolongku keluar dari sana,” ujarnya malu sambil menundukkan kepalanya.

Smiley tersenyum ramah. “Tidak usah sungkan. Kami semua disini bersahabat. Jika sahabat kami menemui kesulitan, maka kami akan berusaha membantunya.”

Wawa memeluk Mimi dengan erat. “Untung kami segera mengetahui apa yang terjadi denganmu. Jika tidak, mungkin kau akan duduk berjam-jam di selokan itu dengan lumpur dan hujan disekelilingmu tanpa ada yang mengetahui apa yang telah terjadi padamu.”

Mimi terharu dan menangis. “Maafkan aku....”

Wawa memeluknya lagi dengan erat. Smiley, Gogi, Igu dan Bebe kemudian memeluk Mimi pula. Semuanya terasa menjadi hangat untuk Mimi

Sejak kejadian itu Mimi mencoba menghilangkan sifat buruknya dan bersahabat dengan semua hewan. Mimi sekarang mau berbagi dan mau bermain bersama. Dia tidak lagi memamerkan semua barang miliknya. Semua hewan diijinkannya untuk memakai barang miliknya termasuk memakan makanan khusus miliknya. Mimi kini juga mau memakan makanan biasa yang murah dan yang katanya menjijikan itu. Padahal rasanya sungguh lezat dan bergizi pula.

Mimi kini berubah. Mimi tidak lagi sombong dan angkuh. Ternyata bersikap sombong tidaklah bagus. Justru dia menjadi dingin dan merasa kesepian. Mempunyai sahabat yang bisa diandalkan, yang bisa berbagi, yang bisa menghiburnya dikala susah, yang bisa mengingatkannya dikala dia salah ternyata sungguh membuatnya bahagia.

Mimi berkata dalam hati dengan tersenyum bahagia. “Persahabatan itu sungguh indah dan menyenangkan, ya?”

Hadiah Istimewa Untuk Ibu


Sejak pagi Amran bertingkah aneh. Ada sesuatu yang sangat mengganggunya hari ini. Amran sama sekali tidak menyentuh sarapan pagi yang telah disiapkan oleh Ibu dan Amran juga tidak menghiraukan si Puss yang selalu bermanja-manja dikakinya setiap dia akan berangkat sekolah.

Amran saat ini duduk di bangku kelas 6 SD Cinta Kasih. Prestasinya di Sekolah cukup mengagumkan dan dia sangat disukai oleh kawan-kawannya. Tapi hari ini dia tampak kurang bersemangat, sesekali termenung kemudian menjadi gelisah. Kawan-kawannya sekelas merasa heran dengan kelakuan Amran yang tidak seperti biasanya hari ini termasuk Dodi sahabat karibnya.

“Tingkahmu tidak seperti biasanya, Amran. Ada masalah ya?” tegur Dodi padanya.

“Ya Dod. Aku sedang bingung sekarang. Tiga hari lagi Ibuku akan berulang tahun. Aku ingin sekali memberinya hadiah. Tentunya hadiah untuk Ibuku harus yang terindah. Tapi... sampai sekarang aku masih belum menemukan hadiah apa yang bagus untuknya,” ujar Amran lesu.

Dodi tersenyum setelah mendengar penjelasan Amran. “Bagaimana kalau sepulang sekolah nanti kita mencarinya bersama-sama,” ajak Dodi kemudian.

Mata Amran berbinar saat mendengar ajakan Dodi. “Kamu sungguh-sungguh mau membantuku untuk mencari hadiah yang cocok untuk Ibu?” tanyanya penasaran.

“Ya,” kata Dodi mantap.

Siangnya setelah bel pulang sekolah berbunyi, Amran dan Dodi pergi menuju sebuah toko peralatan rumah tangga milik Kho Ahong yang ada di pasar.

Di dalam toko, Amran menatap keseluruh penjuru, mencari hadiah yang cocok untuk Ibu. Mata Amran kemudian tertuju pada sebuah Mixer kue yang terdapat di etalase toko. Wajah Amran seketika berubah menjadi cerah saat melihat Mixer tersebut.

“Amran, ada yang kamu inginkan di toko ini?” tanya Dodi tiba-tiba.

Amran tersenyum senang dan mengangguk pada Dodi. “Ada. Aku ingin sekali membelikan Mixer kue itu untuk ibuku,” ujarnya seraya menunjuk sebuah Mixer yang berada di etalase depan toko. “Ibuku sering sekali membuat kue untuk pesanan orang dan kue yang dibuatnya sungguh lezat. Aku sering merasa iba ketika Ibu sedang mengocok adonan kue, tangan Ibu sering merasa pegal bila harus menggunakan pengocok tangan.”

Amran menghela nafas panjang, kemudian dia mengingat kejadian sebelumnya yang membuatnya sedih.

“Tangan kanan Ibu sudah tidak sekuat dulu lagi. Tangan itu sempat keseleo saat terjatuh dari tangga satu tahun yang lalu. Untuk menopang hidup kami hanya kue jualan Ibu-lah yang kami jadikan andalan sehingga kami bisa makan dan bersekolah,” ujarnya sedih pada Dodi.

Dodi tahu bahwa Amran seorang anak yatim. Ayahnya meninggal dunia saat Amran berusia delapan tahun. Ibunya kini menjadi tulang punggung keluarga untuk bisa menyekolahkan anaknya dan untuk makan sehari-hari.

“Aku ingin membelikan Mixer itu untuk meringankan beban Ibu saat membuat kue,” kata Amran kemudian.

“Kalau begitu sekarang kita tanyakan pada pemilik toko ini, berapa harga mixer tersebut,” ajak Dodi seraya menghampir Kho Ahong pemilik toko.

“Kho, berapa harga Mixer yang sedang dipajang etalase itu,” tanyanya sambil menunjuk ke arah etalase.

“Ooh, Mixer itu harganya mahal nak. Dua ratus lima puluh ribu rupiah, “ jawabnya seraya tersenyum.

Mata Amran membelalak. Amran tidak menyangka bahwa harga sebuah Mixer bisa semahal itu.

“Kho, adakah Mixer dengan model yang berbeda dan dengan harga yang lebih murah?” tanya Amran kepada Kho Ahong.

“Ada, sebentar saya ambilkan barangnya.” Pemilik toko itu kemudian masuk kedalam untuk mengambil model Mixer yang lainnya.

“Dod, aku hanya mampu membayarnya seharga lima puluh ribu saja. Jika harganya lebih mahal dari itu aku sungguh tidak sanggup,” kata Amran cemas pada Dodi.

Saat itu Kho Ahong sudah kembali dengan membawa Mixer dengan model yang berbeda ke hadapan mereka.

“Ini model yang lainnya,” katanya sambil memperlihatkan Mixer tersebut kepada kedua anak itu.

Amran mengambil Mixer itu dan memperhatikannya dengan seksama. “Mixer ini tampak lebih kecil dari pada Mixer yang ada di etalase itu. Apakah Mixer ini sama bagusnya dengan yang ada di etalase itu Kho?” tanya Amran penasaran sambil terus memperhatikan Mixer yang ada ditangannya.

“Sama saja. Hanya Mixer ini tidak selengkap seperti yang ada di etalase. Cukup Mixer dengan pengaduknya saja dan Mixer ini bukan dari merek terkenal,” kata Kho Ahong lagi.

“Harga Mixer ini berapa Kho?” tanya Dodi penasaran pula.

“Hanya delapan puluh ribu rupiah saja.”

“Aah... masih terlalu mahal,” kata Amran lesu.

“Apakah harganya bisa dikurangi lagi Kho?” tanyanya kemudian sambil memandangi Mixer itu. Kini dia berharap dapat membeli Mixer ini untuk Ibunya.

“Bisa. Jadi tujuh puluh lima ribu rupiah saja. Bagaimana?” tawar Kho Ahong.

Amran memberikan Mixer tersebut pada Kho Ahong dan mengambil uang yang terdapat di saku celananya. Ditatapnya beberapa uang ribuan serta uang koin yang kini dalam genggamannya. Wajahnya seketika berubah menjadi sedih.

“Uangnya kurang Kho. Aku hanya punya lima puluh ribu rupiah saja hasil dari membongkar celengan ayam di rumah.” Amran terdiam sejenak. “Aku tidak dapat membelinya Kho. Terima kasih,” katanya sedih sambil memasukkan kembali uang itu ke dalam saku celananya.

“Sayang sekali... Ibu tidak akan pernah bisa mendapatkan Mixer untuk mengocok kue,” ujarnya pilu.

Dodi segera merangkul sahabatnya. “Kalau begitu kita mencari hadiah yang lain saja, mungkin ada yang lebih bagus lagi dari sebuah Mixer? Kali ini kita cari barang yang sesuai dengan uangmu,” hiburnya pada Amran.

Amran tersenyum kecut tapi dia amat berterima kasih pada Dodi karena Dodi sudah mau menemaninya mencari hadiah untuk Ibu. Amran menyusut hidungnya yang kini mulai berair dengan tangannya kemudian balas merangkul sahabatnya itu.

Kho Ahong pemilik toko sangat terenyuh melihat pemandangan kedua anak tersebut.

“Nak, tunggu!” serunya saat melihat Amran dan Dodi hendak beranjak meninggalkan tokonya.

Kedua anak tersebut menoleh padanya dan menghampirinya. Ternyata Kho Ahong punya ide untuk Amran. Amran boleh membeli Mixer itu seharga lima puluh ribu saja tapi dengan satu syarat. Amran harus mau membantu Kho Ahong menyapu toko setelah pulang sekolah selama tiga hari.

Wajah kedua anak tersebut menjadi cerah kembali saat mendengar ucapan Kho Ahong. Mereka pun menyanggupi syarat dari Kho Ahong.

Tepat tiga hari Amran menyapu di toko milik Kho Ahong. Dia tersenyum senang saat Kho Ahong menepati janjinya dengan memberikan Mixer yang sudah diangan-angankannya untuk hadiah Ibu. Amran berterima kasih pada Kho Ahong dan segera pulang untuk bertemu Ibu.

Amran berujar dalam hati, “Alhamdulillah, akhirnya aku bisa memberikan Mixer ini sebagai hadiah untuk Ibu.”

Sesampainya di rumah, Amran melihat Ibu sedang mengocok kue dengan kocokan tangan. Hari ini Ibu mendapatkan pesanan yang lumayan cukup banyak. Ibu terlihat letih tapi tetap berusaha tersenyum saat melihat kedatangan Amran.

Amran terharu melihat keadaan Ibu dan segera merangkulnya. “Ibu, selamat ulang tahun.”

Amran kemudian mencium kedua belah pipi ibunya dan memperlihatkan hadiah yang sudah disiapkan untuk Ibu.

“Ibu, terimalah hadiah ini. Amran ingin Ibu selalu menggunakannya agar tangan Ibu tidak terasa pegal lagi saat mengocok adonan kue. Mixer ini Amran beli dari uang hasil tabungan dan hasil bekerja di toko Kho Ahong.” ujarnya bangga.

Mendengar uraian Amran, Ibu menjadi terharu. Dipeluknya Amran erat sekali.

“Terima kasih Amran. Hatimu sungguh tulus, Nak. Ibu sungguh bahagia memiliki anak sepertimu. Sebenarnya hadiah yang paling istimewa untuk Ibu adalah kamu, Amran. Kamu satu-satunya harta Ibu yang paling berharga di dunia. Terima kasih Nak,” ucapnya lembut seraya mencium kening Amran.

“Nah, sekarang ayo kita coba Mixer baru ini, Bu?” pinta Amran dengan penuh semangat pada Ibu.

Ibu mengangguk dan mereka berdua tertawa bahagia bersama saat pertama kali mencoba Mixer itu.

“Kamu memang anak terbaik yang pernah Ibu miliki Amran,” bisik Ibu lembut di telinga Amran dan Amran tersenyum bahagia.

Kambing Bang Basir


Bang Basir tetangga Mamat baru saja membeli sepasang kambing. Kambing yang jantan berwarna coklat diberinya nama Samson dan yang betinanya berwarna putih diberinya nama Delilah. Samson dan Delilah rencananya akan dikembang biakkan, biar nanti Bang Basir bisa memiliki peternakan kambing dari sepasang kambing ini.

Hari ini seperti biasanya Bang Basir mencari rumput untuk makanan Samson dan Delilah. Rupanya Bang Basir lupa menutup pintu kandang kambingnya, sehingga Samson dan Delilah dengan mudahnya keluar dari kandangnya.

Kedua kambing itu dengan riangnya mengitari pekarangan rumah Bang Basir dan menghabiskan semua tanaman yang ada disana. Setelah puas menghabisi seluruh tanaman dirumah Bang Basir, Samson dan Delilah mencoba mencari makanan lainnya di rumah tetangga yaitu rumah Mamat.

Kebetulan sekali rumah Mamat dalam keadaan sepi. Babeh sedang ngontrol pabrik kerupuknya di daerah Bojong, Enyak sedang belanja ke warung Mpok Pida, sedangkan Mamat sedang asyik molor alias tidur pules di ranjangnya yang empuk.

Ketika Mamat sedang asyik-asyiknya bermimpi tentang Safina – artis penyanyi keluaran Indonesia Idol yang lagi top banget dibicarakan orang – bersama dirinya sedang asyik bernyanyi dalam satu panggung, tiba-tiba terdengar suara barang-barang berjatuhan. Bunyinya mungkin seperti perang dunia ke empat yang lagi meletus (memangnya udah ada ya perang dunia ke empat?).

PRRAAAANGGGGG... DUUNNGG... DUUNNGG... BBRAAAAKKKK....

Bagi Mamat yang saat itu sedang terlelap tidur, suara-suara ribut itu seperti suara tepukan para penonton dalam mimpinya yang terkagum-kagum akan keindahan suaranya yang berduet dengan Safina. Mulut Mamat komat-kamit seperti sedang mengucapkan sesuatu. Dalam tidurnya dia tersenyum-senyum sendiri. Sepertinya mimpinya kali ini bersama Safina terlalu indah untuk dibuyarkan.

Enyak yang baru saja pulang belanja, agak sedikit kaget melihat pintu rumahnya terbuka dengan lebar.

“Loh, kenape pintu rumah gue ngemplong begitu? Perasaan tadi sebelum pergi udah gue tutup,” ujarnya curiga.

Enyak kemudian masuk kedalam rumah dengan hati-hati sambil menjinjing tas belanjaan. Saat mengetahui keadaan didalam rumahnya yang amburadul dan berantakan, Enyak langsung syok dan tas jinjingnya terjatuh dari tangannya.

“Masya Allah!” pekiknya nyaring.

“Ya Allah, rumah gue kenape nih? Kenape semue pada berantakan begini? Ape ade maling tadi mampir kemari?” Enyak panik sekali.

Enyak mencoba meneliti semua harta bendanya yang ada di rumah tersebut. Ternyata masih lengkap semua, tidak ada satupun barang yang hilang. Dia kemudian mengecek ke dapur. Enyak langsung syok lagi ketika melihat isi dapurnya. Semua makanan yang tadi dia disiapkan untuk makan siang habis tandas tak ada yang tersisa. Satu hal lagi yang paling aneh bagi Enyak, banyak sekali jejak kaki aneh berada diatas meja dapurnya yang tidak begitu tinggi

“HRRRRRGGHHHHHHHH!” Enyak kesal dan senewen. “Kerjaan siape sih nih? Bikin gue marah aje,” gerutunya menahan emosi.

Enyak segera menelusuri rumahnya, mencari-cari si pembuat onar yang telah mengacak-acak rumahnya itu. Tapi dia tidak menemukan biang onar tersebut.

“Kemane die ye? Awas lo ye! Gue bakalan kasih bogem mentah entar kalau ketemu,” ancamnya marah. Enyak kemudian celingukan mencari si biang onar yang bikin rumahnya berantakan.

Tiba-tiba Enyak teringat anak satu-satunya si Mamat. Enyak khawatir kalau sesuatu terjadi pada Mamat.

Enyak segera menuju kamar Mamat sambil memanggil-manggil namanya, “Mamat... Mamat....”

Ketika sampai di kamar Mamat, mata Enyak terpana melihat pemandangan di kamar tersebut.

Mamat yang benar-benar kebluk tidak mendengar panggilan Enyaknya tersayang. Mamat masih bermimpi bersama Safina. Dalam mimpinya Safina membelai-belai pipinya dengan lembut dan mengendus-endusnya menciumi bau si Mamat. Sebenarnya Mamat agak sedikit bingung juga, kok si Safina doyan ngendus-ngendus kaya kambing.

“Safina, lo jangan ngendus-ngendus gue kaya begini dong! Malu kan dilihat para penonton,” ujar Mamat malu-malu.

“Mmmbbbeeeeeeee....” Suara yang aneh keluar dari mulut Safina.

“Oh, gue ngerti kok kalo elo emang seneng ngendus-ngendus begitu. Gak ape-ape deh. Gue juga mau diendus-endus ama elo.”

“Mmmmmbbbbeeeeeeeee....” Suara Safina semakin nyaring.

“Iye gue tahu, wangi tubuh gue bikin elo seneng kan? Sengaja gue mandi kembang tujuh rupa buat elo. Gue kan malu ketemu ama elo kalo kagak mandi dulu, ntar elo ngira bau gue sama kayak kambing Bang Basir.” Saat itu Mamat mencoba merangkul Safina.

Tiba-tiba Safina dalam mimpinya berubah menjadi marah. “MMMMBBBBBEEEEEEEEKKKKKKK....”

Kini Mamat mulai agak heran. “Safina, suara elo kenape jadi berubah begini? Masa gara-gara gue ngomongin kambingnya Bang Basir, elo jadi ikut-ikutan bersuara kayak kambing begitu. Safina... Safina... elo gak boleh pergi. Temenin gue disini ye?” pinta Mamat sambil terus mempererat rangkulannya pada Safina.

Safina semakin memberontak dan menghentak-hentakkan kakinya seakan hendak menerjang Mamat.

Mamat kebingungan melihat tingkah Safina. “Safina jangan galak-galak begitu dong! Ini kan gue Mamat yang tadi nyanyi bareng elo....”

Tanpa di duga-duga seekor kambing jantan menyeruduk Mamat. Mamat jatuh terjungkal dan Safina terlepas dari pegangannya.

“Aduhhhhhh.... kenape gue diseruduk? Siape yang nyeruduk gue ye?” Mamat yang langsung terbangun dari tidurnya berusaha memicingkan matanya mencari penyebab kenapa dia terjungkal dari tempat tidur.

Matanya langsung beradu pandang dengan Samson, kambing jantan milik Bang Basir yang sedang berdiri di hadapannya. Samson nampak marah karena tadi melihat Delilah meronta-ronta dalam pelukan si Mamat. Rupanya Samson cemburu pada Mamat. Kambing kok bisa cemburu ya?

Melihat mata Samson yang jalang, Mamat ketakutan dan langsung ngibrit dari kamarnya mencari tempat yang aman sambil berteriak memanggil nama Enyaknya.

“NNNYYYAAAAAKKKKKKK... tulungin Mamat NYYAAAKKK....”

Samson terus mengejar Mamat sampai kemana pun.

Enyak yang sejak tadi melihat tingkah Mamat bersama dua ekor kambing di dalam kamarnya tertawa ngakak sampai terkencing-kencing.

“Rasain tuh! Gak kira-kira sih kalau tidur. Kebluk banget. Ada kambing masuk rumah aja kagak bangun-bangun. Begimane kalo rampok yang dateng? Bisa abis deh! Ha... ha... ha... Aduh... aduh... yaaaa beser deh! Ha... ha... ha....”

Jatibening, 15 Juni 2009

Mamat Pengen Jadi Dokter

“Enyak, jangan sakit dong. Ntar yang ngurusin Mamat sama Babeh siape?”

Mamat yang sedang mengompres Enyak dengan lap basah mencoba menahan tangisnya. Udah tiga hari ini Enyak terserang demam yang tinggi dan kini Enyak hanya bisa terbaring di tempat tidur saja.

“Nyak, Mamat anterin ke Dokter lagi, ye? Katanya kalau tiga hari panasnya enggak berhenti kudu cek darah. Kan sekarang penyakit Demam Berdarah sama Tipes lagi in, Nyak! Bahaya kan kalau enggak cepet-cepet diobatin,” bujuk Mamat pada Enyak.

Enyak mengangguk lemah. “Iye, Mat! Enyak mau ke Dokter lagi deh,” ujarnya parau.

Mamat segera memapah Enyak menuju ke ruang tamu dan menyediakan bangku untuk Enyak duduki.

“Enyak tunggu disini bentar ye. Mamat mau ambil motor dulu.”

“Mat, Elo mau nganter Enyak ke Dokter pake motor? SIM elo kan belum jadi. Nanti kalo kena tilang Pulisi, gimane?” tanya Enyak khawatir.

“Tenang aje deh, Nyak. Kite lewat jalan kampung aje. Pan Pulisi mah enggak ngerazia daerah begituan,” jawab Mamat santai sambil mengambil motornya yang sedang nangkring di garasi.

Setelah semuanya siap, mereka pun berangkat menuju rumah sakit terdekat. Mamat segera mendaftarkan nama Enyak di bagian pendaftaran.

“Nah, Nyak! Sekarang tinggal nunggu dipanggil nih. Enyak kudu tenang ye?”

“He eh.” Enyak menjawab dengan anggukan kepala juga.

Mamat memandang ke seluruh area ruang tunggu rumah sakit, memperhatikan pasien-pasien yang datang berobat dan satu lagi perhatiannya tertuju pada Suster-suster jaga atau yang sedang lalu lalang di hadapannya. Semuanya cantik dan menarik, dan mereka murah senyum. Mamat seperti melihat banyak bidadari berseliweran dihadapannya.

“Nyak, Suster-suster di sini baek-baek banget ye?. Tuh, Suster yang barusan lewat juga senyum ke Mamat. Terus cantik lagi. Mamat mau deh kalo disuruh tinggal disini. Mamat jadi berasa dikelilingi bidadari.” Mamat jadi berkhayal sedikit nih.

“Hush. Udeh deh, elo jangan ngawur. Suster gembrot begitu dibilang cantik.” Kata Enyak sambil memperhatikan Suster yang baru saja ditunjuk Mamat.

“Gembrot kan cuma bodynya Nyak. Tapi inner beauty-nya dong. Enyak kan cuma liat fisiknya doang.”

“Tampangnya sangar begitu, elo bilang juga ramah. Die gak senyum sama sekali tuh tadi ame kite. Kalo manyun, iye. Elo bener-bener gak beres nih otaknye. Berkhayal melulu bisanye,” protes Enyak lagi.

“Enyak pan lagi panas badannya, jadi wajar kalo Enyak ngeliat Suster-suster itu aneh. Pan justru Enyak yang terancam kena halusinasi gara-gara demam tinggi,” bela Mamat.

Enyak ingin protes lagi tetapi terhalang oleh panggilan Suster yang memanggil namanya.

“Nyak, nama Enyak dipanggil tuh,” seru Mamat.

Mamat dan Enyak kemudian berjalan menuju ruang praktek Dokter Nia Murniasih. Ternyata di dalam ruang tersebut Mamat melihat seorang wanita berwajah ayu, kulitnya putih bersih, senyumnya sangat manis dan dia ramah sekali.

Mata Mamat langsung berbinar takjub. “Wuih... mata aye gak salah nih? Ini Bidadari ape mahkluk halus ye?” bisik Mamat pada Enyak.

Enyak langsung nyikut perut Mamat tanda enggak suka. “Jangan kurang ajar, Mat. Ntu Dokter bukannya mahkluk halus macam memedi.”

Mamat meringis kesakitan karena kena sikut Enyak. Enggak disangka, Enyak jago banget kalo sikut menyikut. Istri pesilat emang kudu bisa bela diri juga dong.

Dokter Nia mempersilahkan mereka duduk dikursi dan bertanya, “Ibu sakit apa? Apa yang sedang dirasakan Ibu?”

Enyak kemudian menjelaskan penyakit yang sedang dideritanya, sementara Mamat masih terpesona dengan keindahan mahklus halus eh Dokter Nia yang ada dihadapannya.

“Oke, kita cek lab saja ya Bu? Saya beri surat pengantarnya untuk Ibu bawa ke lab?” ujar Dokter Nia seraya menuliskan sesuatu pada secarik kertas. Mamat melihat gerakan Dokter Nia bagaikan Bidadari yang sedang menari dimatanya.

“Setelah hasil lab didapat, Ibu bisa kembali lagi kesini untuk saya periksa hasil labnya. Nah ini surat pengantarnya.” Dokter Nia menyerahkan amplop putih berisi kertas yang tadi ditulisnya.

Sontak ketika Dokter Nia mengatakan mereka harus kembali, Mamat jadi kege-eran karena merasa Dokter tersebut ingin bertemu khusus dengannya.

“Makasih ye Dokter. Jadi entar kite boleh balik lagi kemari?” tanya Mamat senang.

“Tentu, dan itu harus.” Dokter Nia tersenyum manis. Hati Mamat makin melambung.

“Harus? Aduh Dokter begitu perhatian banget nih ama aye. Aye jadi malu.” Mamat menjadi tersipu-sipu karena merasa Dokter Nia begitu perhatian padanya.

“Lagi-lagi begini,” kata Enyak sambil nyikut Mamat lagi. Kali ini dengan hentakan yang sedikit keras dari yang pertama tadi.

“Aaaduuuuuhhhhh.... Ennnyyyaaaakkkk... saakiiitt...” pekiknya tertahan. “Dokter Nia, tulung periksa aye dong. Mamat takut tulang iganye ade yang patah nih,” pintanya pada Dokter Nia sambil membuka kaos sampai batas dadanya.

“Mamaaat.... Lu ngapain sih?” Enyak marah ke Mamat.

“Maapin anak aye ye Dok. Die lagi kumat kayanye nih.”

Dokter Nia tertawa melihat tingkah Enyak dan Mamat. “Tidak apa-apa, Bu! Saya senang kok. Pagi-pagi begini udah ada hiburan. Jadi bikin enggak bosen kalau banyak pasien seperti ini sih.”

“Kalo begitu, kite pamit aje Bu Dokter. Misi ye Dok!” pamit Enyak menahan malu sambil menggandeng Mamat yang masih meringis.

Sepanjang hari ini mulai dari ketemu Dokter Nia sampai ke lab terus sampai balik lagi ke ruangan Dokter Nia, Enyak kesel dengan kelakukan Mamat yang norak banget. “Enyak nyesel kenape enggak minta dianter Babeh aje tadi ke rumah sakit,” gerutunya dalam hati.

“Mat, elo bikin gue malu didepan orang-orang termasuk Dokter. Elo kenape sih hari ini? Bukannya bantuin Enyak yang lagi sakit, malah bikin gue keder.” Jelas banget Enyak lagi sewot gara-gara ulah Mamat hari ini.

“Mamat enggak kenape-kenape Nyak. Mamat Cuma terpengaruh suasana rumah sakit ini yang mayoritas cewek semua. Apalagi mereka cantik-cantik, termasuk Dokter Nia pastinye. Mata laki-laki kan silau kalo liat yang begituan. Mamat kan laki-laki, wajar dong kalo Mamat seneng lihat yang indah-indah juga. Dikelilingi cewek cantik jadi bikin Mamat kaya raja minyak aje ye? Hehehe...,” ujarnya sambil nyengir.

“Dasar! Elo mah emang ijo kalo liat yang begituan,” kata Enyak sambil ngejitak kepala Mamat.

Be te we Nyak, Mamat kayanya nanti pengen jadi Dokter aje deh. Selain bisa bantuin orang yang sakit juga bisa dikelilingi Suster-suster cantik. Gimane Nyak?” tanyanya sambil mematut-matut diri memasang gaya seperti seorang Dokter.

“Kagak cocok!” jawab Enyak manyun.

“Yah, si Enyak! Dukung dong cite-cite Mamat nih. Terus tadi gimane hasil lab-nya? Pan aye tadi gak ikut ke dalem buat dengerin hasilnye dari Dokter Nia.”

“Enyak kena gejala tipes. Kudu banyak istirahat di tempat tidur, terus kudu makan yang lembut-lembut juga. Sementara Enyak istirahat sambil ngobatin penyakit gue, elo musti bantuin gue beres-beres rumah ye? Termasuk nyuci ama masak.”

“Laaa... gimane sih? Masa kudu aye yang ngerjain semuanye. Emangnye enggak bisa manggil orang laen buat bantuin kite ape?”

“Katanya elo mau bantuin orang yang sakit, ini juga jalan menuju tercapainya cite-cite elo kan Mat?” sindir Enyak sambil menahan tawa.

“Bantuin ngobatin doang Nyak, bukannya bantuin beberes rumah dong. Itu mah jadi PEMBOKAT namanya.....” protes Mamat.

Jatibening, 17 Juni 2009