Senin, 06 Juli 2009

Misteri rumah angker Pak Karta


Rumah Pak Karta yang diujung jalan Melati katanya akan dikontrakkan lagi. Sudah tidak aneh lagi untuk lingkungan orang di komplek ini jika rumah tersebut selalu berganti-ganti penghuninya. Paling cepat penghuni baru minggat dalam waktu dua puluh empat jam setelah menempati rumah tersebut dan yang paling lama biasanya hanya bisa bertahan menempati rumah tersebut dalam waktu tiga hari saja. Saat penghuni itu keluar rumah, wajahnya terlihat pucat seperti mayat. Kelopak matanya cekung dan hitam, tampaknya dia tidak pernah bisa tidur dengan tenang. Mulutnya meracau tak karuan. Kami menganggapnya sudah menjadi gila karena terlalu lama berada dalam rumah tersebut.

Tak pernah ada satu pun penghuni tersebut yang berani menceritakan apa yang sedang terjadi dalam rumah tersebut. Mereka memilih untuk bungkam dari pada harus menceritakan apa yang baru saja dialaminya.

Terkadang para pemuda komplek tertantang untuk mencoba menguji nyali mereka memasuki rumah tersebut karena penasaran apa yang telah terjadi di dalam sana terhadap para penghuni rumah tersebut. Tapi hanya dalam hitungan detik mereka sudah lari terbirit-birit keluar dari sana.

Rumah itu menjadi terkenal dengan sebutan rumah angker. Sebenarnya rumah tersebut mulai menjadi angker saat anak Pak Karta, Hanifah meninggal dunia dengan cara tragis tiga bulan yang lalu. Dia ditemukan oleh Pak Karta sendiri tergeletak tak bernyawa dengan beberapa luka tusuk di dada dan di perutnya. Menurut berita, Hanifah di bunuh oleh kekasihnya sendiri. Sampai sekarang, kekasihnya yang bernama Ramon menghilang bagai di telan bumi. Motif pembunuhan pun sementara diduga karena cemburu.

“Aku mau mencoba masuk ke dalam rumah Pak Karta,” celetuk Jajang tiba-tiba.

“Kamu mau masuk ke dalam rumah angker itu, Jang?” Badri mencoba meyakinkan pendengarannya atas pernyataan Jajang.

“Wah, itu sih cari mati. Jangan cari masalah deh. Nanti kamu bisa jadi stress seperti si Sarip, tuh.” Radit membujuk Jajang.

“Aku tidak mengkhawatirkan hal itu. Aku hanya yakin jika aku berani menghadapi apa yang terjadi di dalam sana. Buat apa belajar ngaji dan sholat kalau aku tetap saja takut sama yang namanya mahkluk halus. Kita hanya boleh takut kepada Sang Pencipta. Bukan dengan demit!” ujar Jajang yakin.

“Terserah kamu deh. Kapan mulai beraksi?” tanya Badri penasaran.

“Nanti malam. Mau ikut?” tanya Jajang pada kedua kawannya.

Badri dan Radit saling bertatapan. Mereka terlihat ragu dan takut. Tapi mereka juga merasa tidak enak pada Jajang. Mulut mereka seperti terkunci dan tidak dapat mereka gerakkan.

“Bagaimana? Kamu berdua mau ikut aku tidak? Kalau tidak mau ikut, aku juga tidak marah. Yang pasti nanti malam aku sudah mulai beroperasi dalam rumah itu.” Jajang berusaha meyakinkan Badri dan Radit.

Malam harinya tepat jam sembilan malam, Jajang sudah berada di depan rumah angker. Jajang menatap ke dalam rumah yang gelap dan sepi. Semilir angin yang lembut dan dingin terasa menusuk kulit. Timbul sedikit rasa ragu dalam dirinya. Tapi Jajang ingat kembali ajaran guru mengajinya, “Janganlah kau merasa ragu atas apa yang telah engkau yakini kebenarannya. Ingatlah selalu kepada Sang Pencipta. Maka segala keraguan dalam dirimu akan terlepas dan kau akan selalu berada dalam lindungan-Nya.”

Tekad Jajang kembali menguat. Dengan membaca basmalah dan doa lainnya, Jajang mengangkat kaki kanannya untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Saat kaki itu hendak menyentuh lantai rumah, Badri dan Radit memanggilnya.

“Jang, tunggu! Kami ikut kamu,” seru mereka berdua serentak.

Jajang menoleh dan memandang mereka berdua dengan perasaan senang. Maka petualangan mereka dalam rumah angker milik Pak Karta pun di mulai.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar