Kamis, 02 Juli 2009

Hadiah Istimewa Untuk Ibu


Sejak pagi Amran bertingkah aneh. Ada sesuatu yang sangat mengganggunya hari ini. Amran sama sekali tidak menyentuh sarapan pagi yang telah disiapkan oleh Ibu dan Amran juga tidak menghiraukan si Puss yang selalu bermanja-manja dikakinya setiap dia akan berangkat sekolah.

Amran saat ini duduk di bangku kelas 6 SD Cinta Kasih. Prestasinya di Sekolah cukup mengagumkan dan dia sangat disukai oleh kawan-kawannya. Tapi hari ini dia tampak kurang bersemangat, sesekali termenung kemudian menjadi gelisah. Kawan-kawannya sekelas merasa heran dengan kelakuan Amran yang tidak seperti biasanya hari ini termasuk Dodi sahabat karibnya.

“Tingkahmu tidak seperti biasanya, Amran. Ada masalah ya?” tegur Dodi padanya.

“Ya Dod. Aku sedang bingung sekarang. Tiga hari lagi Ibuku akan berulang tahun. Aku ingin sekali memberinya hadiah. Tentunya hadiah untuk Ibuku harus yang terindah. Tapi... sampai sekarang aku masih belum menemukan hadiah apa yang bagus untuknya,” ujar Amran lesu.

Dodi tersenyum setelah mendengar penjelasan Amran. “Bagaimana kalau sepulang sekolah nanti kita mencarinya bersama-sama,” ajak Dodi kemudian.

Mata Amran berbinar saat mendengar ajakan Dodi. “Kamu sungguh-sungguh mau membantuku untuk mencari hadiah yang cocok untuk Ibu?” tanyanya penasaran.

“Ya,” kata Dodi mantap.

Siangnya setelah bel pulang sekolah berbunyi, Amran dan Dodi pergi menuju sebuah toko peralatan rumah tangga milik Kho Ahong yang ada di pasar.

Di dalam toko, Amran menatap keseluruh penjuru, mencari hadiah yang cocok untuk Ibu. Mata Amran kemudian tertuju pada sebuah Mixer kue yang terdapat di etalase toko. Wajah Amran seketika berubah menjadi cerah saat melihat Mixer tersebut.

“Amran, ada yang kamu inginkan di toko ini?” tanya Dodi tiba-tiba.

Amran tersenyum senang dan mengangguk pada Dodi. “Ada. Aku ingin sekali membelikan Mixer kue itu untuk ibuku,” ujarnya seraya menunjuk sebuah Mixer yang berada di etalase depan toko. “Ibuku sering sekali membuat kue untuk pesanan orang dan kue yang dibuatnya sungguh lezat. Aku sering merasa iba ketika Ibu sedang mengocok adonan kue, tangan Ibu sering merasa pegal bila harus menggunakan pengocok tangan.”

Amran menghela nafas panjang, kemudian dia mengingat kejadian sebelumnya yang membuatnya sedih.

“Tangan kanan Ibu sudah tidak sekuat dulu lagi. Tangan itu sempat keseleo saat terjatuh dari tangga satu tahun yang lalu. Untuk menopang hidup kami hanya kue jualan Ibu-lah yang kami jadikan andalan sehingga kami bisa makan dan bersekolah,” ujarnya sedih pada Dodi.

Dodi tahu bahwa Amran seorang anak yatim. Ayahnya meninggal dunia saat Amran berusia delapan tahun. Ibunya kini menjadi tulang punggung keluarga untuk bisa menyekolahkan anaknya dan untuk makan sehari-hari.

“Aku ingin membelikan Mixer itu untuk meringankan beban Ibu saat membuat kue,” kata Amran kemudian.

“Kalau begitu sekarang kita tanyakan pada pemilik toko ini, berapa harga mixer tersebut,” ajak Dodi seraya menghampir Kho Ahong pemilik toko.

“Kho, berapa harga Mixer yang sedang dipajang etalase itu,” tanyanya sambil menunjuk ke arah etalase.

“Ooh, Mixer itu harganya mahal nak. Dua ratus lima puluh ribu rupiah, “ jawabnya seraya tersenyum.

Mata Amran membelalak. Amran tidak menyangka bahwa harga sebuah Mixer bisa semahal itu.

“Kho, adakah Mixer dengan model yang berbeda dan dengan harga yang lebih murah?” tanya Amran kepada Kho Ahong.

“Ada, sebentar saya ambilkan barangnya.” Pemilik toko itu kemudian masuk kedalam untuk mengambil model Mixer yang lainnya.

“Dod, aku hanya mampu membayarnya seharga lima puluh ribu saja. Jika harganya lebih mahal dari itu aku sungguh tidak sanggup,” kata Amran cemas pada Dodi.

Saat itu Kho Ahong sudah kembali dengan membawa Mixer dengan model yang berbeda ke hadapan mereka.

“Ini model yang lainnya,” katanya sambil memperlihatkan Mixer tersebut kepada kedua anak itu.

Amran mengambil Mixer itu dan memperhatikannya dengan seksama. “Mixer ini tampak lebih kecil dari pada Mixer yang ada di etalase itu. Apakah Mixer ini sama bagusnya dengan yang ada di etalase itu Kho?” tanya Amran penasaran sambil terus memperhatikan Mixer yang ada ditangannya.

“Sama saja. Hanya Mixer ini tidak selengkap seperti yang ada di etalase. Cukup Mixer dengan pengaduknya saja dan Mixer ini bukan dari merek terkenal,” kata Kho Ahong lagi.

“Harga Mixer ini berapa Kho?” tanya Dodi penasaran pula.

“Hanya delapan puluh ribu rupiah saja.”

“Aah... masih terlalu mahal,” kata Amran lesu.

“Apakah harganya bisa dikurangi lagi Kho?” tanyanya kemudian sambil memandangi Mixer itu. Kini dia berharap dapat membeli Mixer ini untuk Ibunya.

“Bisa. Jadi tujuh puluh lima ribu rupiah saja. Bagaimana?” tawar Kho Ahong.

Amran memberikan Mixer tersebut pada Kho Ahong dan mengambil uang yang terdapat di saku celananya. Ditatapnya beberapa uang ribuan serta uang koin yang kini dalam genggamannya. Wajahnya seketika berubah menjadi sedih.

“Uangnya kurang Kho. Aku hanya punya lima puluh ribu rupiah saja hasil dari membongkar celengan ayam di rumah.” Amran terdiam sejenak. “Aku tidak dapat membelinya Kho. Terima kasih,” katanya sedih sambil memasukkan kembali uang itu ke dalam saku celananya.

“Sayang sekali... Ibu tidak akan pernah bisa mendapatkan Mixer untuk mengocok kue,” ujarnya pilu.

Dodi segera merangkul sahabatnya. “Kalau begitu kita mencari hadiah yang lain saja, mungkin ada yang lebih bagus lagi dari sebuah Mixer? Kali ini kita cari barang yang sesuai dengan uangmu,” hiburnya pada Amran.

Amran tersenyum kecut tapi dia amat berterima kasih pada Dodi karena Dodi sudah mau menemaninya mencari hadiah untuk Ibu. Amran menyusut hidungnya yang kini mulai berair dengan tangannya kemudian balas merangkul sahabatnya itu.

Kho Ahong pemilik toko sangat terenyuh melihat pemandangan kedua anak tersebut.

“Nak, tunggu!” serunya saat melihat Amran dan Dodi hendak beranjak meninggalkan tokonya.

Kedua anak tersebut menoleh padanya dan menghampirinya. Ternyata Kho Ahong punya ide untuk Amran. Amran boleh membeli Mixer itu seharga lima puluh ribu saja tapi dengan satu syarat. Amran harus mau membantu Kho Ahong menyapu toko setelah pulang sekolah selama tiga hari.

Wajah kedua anak tersebut menjadi cerah kembali saat mendengar ucapan Kho Ahong. Mereka pun menyanggupi syarat dari Kho Ahong.

Tepat tiga hari Amran menyapu di toko milik Kho Ahong. Dia tersenyum senang saat Kho Ahong menepati janjinya dengan memberikan Mixer yang sudah diangan-angankannya untuk hadiah Ibu. Amran berterima kasih pada Kho Ahong dan segera pulang untuk bertemu Ibu.

Amran berujar dalam hati, “Alhamdulillah, akhirnya aku bisa memberikan Mixer ini sebagai hadiah untuk Ibu.”

Sesampainya di rumah, Amran melihat Ibu sedang mengocok kue dengan kocokan tangan. Hari ini Ibu mendapatkan pesanan yang lumayan cukup banyak. Ibu terlihat letih tapi tetap berusaha tersenyum saat melihat kedatangan Amran.

Amran terharu melihat keadaan Ibu dan segera merangkulnya. “Ibu, selamat ulang tahun.”

Amran kemudian mencium kedua belah pipi ibunya dan memperlihatkan hadiah yang sudah disiapkan untuk Ibu.

“Ibu, terimalah hadiah ini. Amran ingin Ibu selalu menggunakannya agar tangan Ibu tidak terasa pegal lagi saat mengocok adonan kue. Mixer ini Amran beli dari uang hasil tabungan dan hasil bekerja di toko Kho Ahong.” ujarnya bangga.

Mendengar uraian Amran, Ibu menjadi terharu. Dipeluknya Amran erat sekali.

“Terima kasih Amran. Hatimu sungguh tulus, Nak. Ibu sungguh bahagia memiliki anak sepertimu. Sebenarnya hadiah yang paling istimewa untuk Ibu adalah kamu, Amran. Kamu satu-satunya harta Ibu yang paling berharga di dunia. Terima kasih Nak,” ucapnya lembut seraya mencium kening Amran.

“Nah, sekarang ayo kita coba Mixer baru ini, Bu?” pinta Amran dengan penuh semangat pada Ibu.

Ibu mengangguk dan mereka berdua tertawa bahagia bersama saat pertama kali mencoba Mixer itu.

“Kamu memang anak terbaik yang pernah Ibu miliki Amran,” bisik Ibu lembut di telinga Amran dan Amran tersenyum bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar