Senin, 14 September 2009

CINTAILAH AKU

Tau enggak sih? Aku, Riri mahasiswi tingkat II jurusan Ekonomi STIE. Aku paling sebel sama cowok yang bisanya cuma lihat cewek berdasarkan tampangnya saja. Jika cewek itu cantik dan seksi, sampai jumpalitan pun si cowok akan ngejar terus sampai dapat. Tapi kalau tampang cewek itu es te de alias standar dan biasa-biasa aja – apalagi kalau jelek – enggak bakalan deh dilirik sama sekali. Sudah pasti si cowok langsung ngelengos pergi tanpa ba bi bu lagi. Heran deh!
Pernah enggak sih dalam pikiran mereka untuk melihat cewek dari sisi dalamnya dan bukan dari bungkusnya saja? Tapi kayaknya susah tuh! Sepertinya tradisi ini sudah mendarah daging dan kita enggak bisa berharap banyak. Paling-paling dari seribu orang cowok, hanya 1 orang saja yang bisa begitu. Sama aja bohong, kan? Ini sih sama saja dengan mencari jarum jahit diantara tumpukan jarum pentul. Nah, kebayang susahnya, kan?
First look selalu menjadi faktor utama di mata cowok. Kata orang kalau pada awalnya cowok suka penampilan kita pada pandangan pertama, di jamin mereka bakalan nyosor terus kayak bebek. So, untuk era abad ke dua puluhan ini sebenarnya cinta pada pandangan pertama itu maksudnya disebabkan karena tampilan pembungkus luar si cewek or karena inner beauty si cewek, sih?
Gak heran kalau teman-temanku melakukan make over besar-besaran ke Salon jika mereka punya janji kencan dengan sang pujaan hati nanti malam. Katanya sih buat menarik perhatian mereka dan juga buat nyenangin diri sendiri karena nanti mereka bisa mendapatkan pujian dari cowoknya masing-masing. Tapi bagiku, percuma! Ini sama saja dengan pembohongan public – udah kaya berita besar saja, ya? Aku enggak bisa seperti itu. Jika memang kita seperti ini adanya – tampang es te de, rambut pecah-pecah, postur tubuh gendut dan pendek misalnya – ya, musti kita tunjukkan ke mereka. Biar mereka menilai kita secara langsung. Jika dia menilai kita karena bungkusnya dan langsung cabut, berarti cowok itu harus di coret dalam list kategori cowok terbaik. Dia tidak patut mendapatkan cinta dari seorang cewek. Tapi jika dia bisa melihat inner beauty kita, dia patut kita acungin jempol. Saluuuutttt! Bravo! Aku suka cowok seperti ini. Cowok seperti ini jarang muncul di pasaran. Untuk mencari cowok yang seperti ini enggak mudah, kan? Kalau mudah di dapat sama saja bohong. Cowok baik kok di obral? Kurang greget, geetoo loh?
Aku saja sudah beberapa kali di kecewakan oleh beberapa cowok. Terutama yang kukenal dari chatting di internet. Semuanya bertingkah sangat menyebalkan. Boleh di bilang sok perfectsionist and sok gentle. Tapi, kalau udah ketemu yang aslinya, ternyata omongan mereka enggak sesuai dengan tingkah dan perilakunya. Setelah mereka bertemu denganku face to face, semuanya langsung menghilang keesokan harinya dan tinggal aku yang sibuk menghubungi mereka satu persatu sampai capek. Katanya ingin bersahabat denganku, kok malah kabur? Apa enggak bete?
Mau tahu apa yang pernah mereka katakan sebelumnya? Mereka pernah bilang kalau tampang seseorang enggak jadi masalah untuk bersahabat – padahal realitanya justru kebalikannya. Mereka juga pernah bilang sengaja mencari kawan dari internet – padahal sengaja nyari jodoh atau teman untuk check in. Idiih... kok bisa ya?
Memang kebetulan wajahku standar banget and jauh dari cantik. Postur tubuhku juga mungil dan pendek. Body-ku enggak seksi, malah lebih condong di bilang rata. Gayaku pun enggak feminim seperti layaknya mahkluk cewek. Aku justru tomboy dan lebih suka mengenakan kaos, jeans belel dan sepatu kets, dibandingkan bila harus memakai gaun atau rok dan high heel. Padahal usiaku sekarang sudah sembilan belas tahun. Sudah seharusnya aku berusaha menjadi kupu-kupu yang cantik dan menarik atau berubah dari seekor itik buruk rupa menjadi seekor angsa yang cantik untuk menarik perhatian kaum cowok. Tapi dalam kamus hidupku, belum pernah kucoba menerapkannya sebagai magic style dalam mencari jodoh.
Seperti kali ini. Aku berkenalan lagi dengan seorang cowok asal Bandung dari Internet. Namanya Ozie Subrata. Dia kuliah di Jakarta, tepatnya di Gundar jurusan Manajemen Informatika tingkat III. Persahabatan yang kami jalin telah berjalan kurang lebih sudah 4 bulan dan aku tidak ingin persahabatan kami selama ini di alam maya menjadi tergores.
Hari ini kami chatting lagi. Aku coba beranikan diriku untuk bertanya langsung padanya tentang sesuatu yang sangat membuatku penasaran selama ini. Kuketikan beberapa kata di layar monitor.
“Ozie, aku mau nanya. Agak sedikit private sih. Kamu keberatan, enggak?” tanyaku sedikit malu.
“Ri, memangnya aku bawa apaan sih sampai keberatan segala. Aku kan lagi enggak ngangkut kontainer.” Sebuah balasan muncul dari layar monitorku.
“Dodol! Aku pengen tahu aja. Tujuan kamu chatting di internet sebenarnya untuk apa sih?” tulisku lagi membalas jawaban Ozie.
“Nyari temen ngobrol dong!” balasnya kemudian.
“Basi tahu!” ejekku.
“Terus aku musti gimana dong? Nyari jodoh?!? Begitu maumu?” sahutnya lagi.
“Yah, ngaku aja deh kalau kamu memang lagi nyari jodoh lewat internet. Aku enggak marah kok kalau kamu jujur. Semua cowok kan memang begitu.”
“Kok, kamu jadi sentimen begini sih, Ri? Aku tuh udah jawab secucur-cucurnya, loh? Atau kamu mau pake kue serabi juga? Oke nanti aku tambahin deh. Suka rasa apa? Pisang coklat? Nangka keju? Atau Durian keju? LOL.”
“Dasar! Susah banget sih ngomong sama orang aneh.” Aku merasa gemas pada Ozie saat itu juga. Dia memang konyol.
“Nah, you know me-lah?” tulisnya dengan gaya bahasa Malaysia.
“Ngambek ah!” gerutuku kesal.
“Yee, begitu aja ngambek. Begini Riboy alias Riri Tomboy. Aku memang bener-bener nyari temen ngobrol, terus aku juga pengen menambah wawasan dengan bertukar informasi dengan mereka. Siapa tahu nanti aku bisa berbisnis dengan mereka. Misalnya bisnis jual beli komputer second ke Papua, atau bisnis pulsa, de el el. Begitu. Kalau soal jodoh, itu sih enggak usah di pusingin. Nanti juga datang sendiri tanpa harus kita kejar. Udah ngerti kan Riboy?” Ozie mencoba menjelaskan lagi kepadaku.
“Ooh!” jawabku singkat saja.
“Kok cuma ooh doang? Bilang aja kalau kamu tuh takut denganku kan?”
“Takut kenapa?”
“Ya, takut kalau aku ternyata berusaha mendekati kamu bukan karena faktor persahabatan. Ya, kan? Tapi karena faktor XXX. Kalau begitu, bagaimana kalau kita CI saja, yuk? LOL.” godanya.
“Ih, konyol! Norak! Ide gila dari mana lagi tuh? Ga banget deh? Pergi ke laut aja sana lalu kencan dengan gurita!” ketikku sambil mencibir pada layar monitor.
Memang Ozie sangat konyol. Tapi kekonyolannya itu yang membuatku menjadi semakin tertarik padanya. Dia itu cowok yang paling bisa membuat diriku tertawa dengan lepas.
Selain chatting, kami juga sering bicara melalui telepon. Kami sering berbagi cerita dan memberi komentar. Persahabatan kami terasa indah. Semakin lama aku mengenalnya, maka aku semakin tergoda untuk semakin mengetahui pribadinya. Dia sangat kocak, dia juga nyambung kalau aku ajak bicara. Satu hal lagi, dia suka sekali utak atik komputer sampai jebol. Jika sudah begitu dia hanya berkata, “Aku ternyata hanya bisa terima bongkar and enggak terima pasang.” Apa enggak keder tuh?
Tumben sekali hari ini Ozie meminta fotoku. Dia ingin tahu rupa asliku. Aku masih ragu untuk memberikan fotoku padanya. Timbul pertanyaan dalam diriku, apakah nanti dia bisa menerima diriku yang sebenarnya? Atau mungkin, bisa saja kuberikan foto orang lain yang wajahnya cukup cantik kepadanya? Tapi, bukankah itu berarti aku membohonginya? Seorang sahabat tidak mungkin membohongi kawannya, Itulah yang seharusnya aku lakukan.
“Ri, aku minta foto kamu dong! Biar aku tahu seperti apa tampangmu. Kira-kira sama seperti yang aku bayangkan apa enggak ya?”
“Ogah! Aku malu. Lagi pula aku enggak punya foto,” jawabku berbohong. Padahal aku punya banyak sekali file fotoku dalam komputer. Aku masih merasa takut kejadian dulu terulang lagi. Jika nanti dia mengetahui rupa asliku, jangan-jangan Ozie akan memutuskan untuk berhenti menghubungiku seperti yang lain dan stop pulalah persahabatan yang sudah dibina ini.
“Pelit!” sindirnya
“Biar! Aku jadi curiga, jangan-jangan fotoku nanti akan kamu pakai untuk nakutin tikus doang.”
“Hari geenee, kok masih ngasih alasan yang dah lama basi begitu. Apa enggak ada alasan lain? Di update dong! Yang pasti sih, fotomu akan aku pajang di pintu depan buat nakutin maling. Biar dia takut masuk ke dalam rumah gara-gara lihat wajahmu,” ledek Ozie sambil terkekeh-kekeh.
Aku jadi keki. Ozie memang sering sekali meledekku dan sepertinya dia suka sekali melakukan itu padaku. Soalnya aku gampang sekali ngambek. Tapi dengan mudah pula dia membuatku tertawa lagi.
“Ya udah, aku kasih fotoku dulu aja, ya? Nanti kamu cek lewat emailmu. oke? Terus, setelah kamu puas lihat wajahku yang guanteng kayak Richard Gere, nanti aku minta kamu untuk mengirim balik foto terbaikmu. Setuju?”
Ternyata Ozie menepati janjinya. Dia mengirimkan fotonya ke emailku. Dalam foto itu berdiri seorang cowok yang sangat tampan dan keren, sedang duduk di sebuah batu besar. Di bagian latarnya kulihat sebuah sungai yang airnya tampak mengalir di sela-sela bebatuan. Aku enggak nyangka kalau Ozie ternyata sangat keren sekali. Sejak saat itu setiap kali Ozie menghubungiku, aku selalu membayangkan dirinya dengan wujud pria dalam foto tersebut.
Semakin hari perasaanku terhadap Ozie menjadi berubah. Kupikir kini aku telah melewati batas sebuah persahabatan. Aku telah menodai janjiku sendiri untuk tidak menyukai cowok dari internet. Ozie telah mengisi hari-hariku dengan berbagai keceriaan. Dia tahu bagaimana caranya untuk menghiburku jika aku sedang sedih. Dia tahu bagaimana caranya membuatku bersemangat lagi. Dia juga bisa mengetahui jika aku menyembunyikan sesuatu darinya.
“Hayo! Hari ini kamu lagi bete ya? Ngaku aja?” tudingnya hari ini di telepon.
“Kamu kok bisa tahu sih kalau aku lagi bete? Udah ganti profesi jadi penyelidik apa jadi paranormal atau dukun? Jangan-jangan kamu berguru sama Ki Joko Bodo, ya?” tanyaku keheranan.
“Bukan! Aku ini justru gurunya Mbah Surip!” dia tergelak.
“Ngawur!” Tanpa terasa aku pun ikut tergelak bersamanya. Nah, setelah itu biasanya aku mulai curhat deh ke dia. Jujur saja dia juga bisa menjadi pendengar yang baik dan juga bisa menjadi penasehat yang handal.
Setiap hari aku jadi selalu memikirkan Ozie. Jika hari ini dia tidak menghubungiku, aku merasa hampa. Ozie sudah seperti candu untukku. Kehadiran Ozie layaknya obat rindu untukku. Ozie aku ingin berterus terang kepadamu. Tapi bagaimana caranya ya?
Kuputuskan untuk mengirimkan sebuah lagu dari Radio untuknya. Lagu ini mengungkapkan isi hatiku padanya. Semoga saja Ozie dapat memahami dan mengerti akan perasaanku.
“Zie, coba deh dengerin Radio Sonora sekarang. Aku tadi request ke sana agar mereka memutarkan sebuah lagu khusus untuk kamu,” ujarku hati-hati. Aku tidak ingin dia tersinggung.
“Wah, asik dong! Oke, sebentar ya? Aku coba cek sekarang.”
Teleponpun terputus. Lima menit kemudian, kami berdua sudah menikmati lagu yang kukirimkan untuknya. Lagu itu kupilihkan khusus untuknya. Sebuah lagi dari Afgan berjudul “Bukan Cinta Biasa”.
Ketika lagu tersebut berakhir, tiba-tiba ponselku berbunyi. Tertera nama Ozie di layar ponselku.
“Ri, makasih ya atas lagunya. Aku suka.”
Aku begitu bahagia saat dia bilang menyukai lagu kirimanku. Perasaanku kian melambung tinggi. Entah karena mood-ku yang sedang bagus atau memang sudah tiba saatnya aku memperkenalkan diriku yang asli padanya. Aku kemudian mengirimkan foto diriku kepadanya. Kukirimkan foto terbaikku, agar tidak terlihat jelek dimatanya. Aku merasa yakin jika Ozie akan menerima kondisiku setelah melihat rupa asliku. Karena aku yakin dia tidak sama dengan cowok-cowok lainnya yang telah meninggalkanku dengan begitu saja dan aku juga yakin dia memang mencari persahabatan bukan yang lainnya.
“Zie, kamu udah nerima fotoku kan?”
“Ya. Ternyata kamu tuh lucu. Kamu kelihatan pendek, kecil, udah gitu rata lagi. Coba ya aku pikir-pikir kamu tuh mirip apa ya?”
“Apa? Pasti mau ngeledek. Ya, kan?” tebakku padanya
“Hehehe... kayak kue bantet,” godanya sambil terkekeh-kekeh.
“Tuh, kan? Sebel!” gerutuku malas.
“Enggak deh! Kamu cukup manis deh. Seperti gulali,” ledeknya lagi.
“Kamu kayak bakpau,” umpatku kemudian membalas ledekannya.
Kami tergelak bersama. Sebelumnya aku tak pernah merasakan sebuah perasaan senang dan bahagia bila berbicara dengan seseorang. Hanya Ozie seorang yang justru bisa memberikannya kepadaku. Apakah Ozie menyadarinya bahwa setiap ucapannya serta perhatiannya sangat berpengaruh besar padaku. Dia seperti magnet dan aku telah terperangkap dalam gravitasinya. Ingin rasanya saat ini aku bertemu dirinya secara langsung dan mengungkapkan semua isi perasaanku padanya. Tapi kira-kira, apakah pantas?
Ozie kamu membuatku merasa gemas sekali. Kamu membuat hatiku semakin bertambah miris. Bisakah persahabatan ini berubah menjadi sebuah kisah asmara yang indah? Jujur saja, aku semakin tidak bisa menahan perasaanku yang semakin hari semakin membuncah. Aku menyukai pribadimu. Apalagi setelah melihat fotomu. Ternyata imajinasiku tentang dirinya tidaklah jauh berbeda. Ozie, apakah kamu mengerti apa yang terjadi dalam diriku sekarang ini?
Kucoba mengirimkan lagi sebuah lagu dari Melly Goeslaw dengan judul I Just Wanna Say I Love You untuk Ozie lagi. Tapi kali ini dia tidak memberikan sedikitpun komentar. Dia hanya diam.
“Ozie? Kamu marah karena lagu itu? Atau marah karena aku?” pancingku padanya untuk berbicara.
Dia hanya bernafas panjang.
“Ozie! Please, ngomong dong! Aku salah, ya? Aku minta maaf, deh. Aku enggak bermaksud untuk menyinggungmu. Ozie, kamu jangan diam aja dong?’ rengekku kemudian karena Ozie tetap tidak mau membuka mulutnya.
Kemudian Ozie membuka mulutnya. “Ri, gue enggak tahu harus ngomong apa. Mungkin lebih baik kita ketemu langsung. Biar lebih enak. Bagaimana?”
“Oke!” Aku menerima ajakannya.
Esok harinya kami bertemu di Monas. Kami duduk di rerumputan yang terhampar di tanah. Ku lirik Ozie yang sedang menatap Monas dengan pandangan hampa. Ternyata Ozie yang asli jauh lebih sempurna dan keren menurutku. Tadi saja nyaliku langsung ciut ketika baru pertama bertemu Ozie di sini. Aku jadi minder di hadapannya, karena aku menganggap diriku tidak sebanding dengannya. Bola mata Ozie berwarna coklat dan dia memandangku dengan ramah, kulitnya bersih, gaya berpakaiannya pun rapi, dan dia wangi. Hmm, dia lelaki pesolek juga rupanya.
Ozie berdehem. “Ri. Aku seneng akhirnya bisa bertemu kamu di sini. Kamu juga pasti seneng dong ketemu aku?”
“Oh, iya. Jelas sekali! Tapi aku sedikit minder nih kalau deket-deket kamu. Kamu ganteng banget sih! Tuh, lihat! Banyak cewek-cewek cantik yang ngelirik ke aku. Pandangan mereka padakuku terlihat sangat ganjil, kan? Mungkin mereka kini sedang mengejekku karena aku enggak cocok duduk di sebelah kamu.”
“Kamu ini!” Ozie menjitak kepalaku. “Begitu aja dipikirin. Kan udah aku bilang, kamu harus jadi kuat dan tegar. Jangan jadi orang yang lemah lagi. Satu lagi, jangan pernah jadi pemalu yang malu-maluin lagi. Tahu enggak? Biar saja mereka memandangmu dengan aneh. Anggap saja enggak ada yang aneh dengan dirimu. Pe de aja. Oke?” Ozie mengingatkan aku lagi.
“Ya, deh! Terus sekarang, kamu mau bilang apa padaku waktu kemarin?” desakku yang sudah mulai gatal ingin tahu perasaannya padaku.
“Oke!” Ozie kemudian menggeser duduknya dan duduk menghadap ke arahku. Ri, kamu suka aku?” tanyanya langsung.
Aku terhenyak. “Ya. Aku suka,” jawabku sedikit malu.
“Suka dalam arti sebagai sahabat atau ada rasa yang lain?” desaknya.
“Mmm....” Aku sedikit ragu untuk menjawabnya.
“Jujur saja. Aku enggak akan marah. Aku senang jika kamu bisa berterus terang padaku. Ingat! Kita akan selalu terbuka jika sedang mempunyai masalah. Ya, kan?” Ozie tersenyum padaku ramah. Tatapannya yang begitu teduh membuatku menjadi luluh di hadapannya.
“Ya. Aku pikir....” Aku mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Aku memang telah tertarik padamu,” kataku mencoba jujur di hadapannya.
Aah, lega sekali rasanya saat aku telah berhasil mengungkapkannya pada Ozie. Tapi, bagaimana dengan Ozie?
Ozie terdiam. Kemudian dia menyentuh jemariku dan menggenggamnya dengan erat. Perasaanku semakin tidak menentu ketika dia menyentuhku. Hatiku kebat-kebit tak karuan. Rasanya seperti ingin meledak.
“Riri, aku tak tahu harus bagaimana padamu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untukmu. Ri, cobalah untuk mengerti aku. Aku tidak bisa membalas perasaanmu. Aku jelas tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan. Aku minta maaf padamu. Tapi aku bisa memberikan perhatian yang lain padamu. Kita bisa menjadi sahabat dekat, atau aku juga bisa menjadi saudara terdekatmu yang bisa kamu goda dan bisa kamu ajak sharing. Bagaimana?”
Aku memandangnya dengan perasaan kecewa. Tiba-tiba hatiku terasa panas.
“Jangan bicara seperti itu dan jangan berjanji apa pun! Kamu memang sejak awal tidak tertarik padaku sama sekali. Ya, kan? Apalagi setelah kamu melihat rupa asliku. Aku yakin setelah pertemuan ini, kamu akan diam-diam pergi meninggalkanku. Sama seperti cowok-cowok lainnya yang pernah aku kenal. Begitu kan? Ternyata kamu juga tidak berbeda dengan cowok-cowok itu! Kalau begitu untuk apa jalinan persahabat yang sudah kita bina selama ini?” seruku miris.
Tak terasa airmataku mulai mengalir deras. Aku tergugu di depannya. Aku merasa sendiri dan tak mempunyai pegangan. Aku merasa lemah. Kupikir tak ada gunanya lagi berurusan dengan Ozie. Dia hanya akan menyakiti hatiku saja. Aku mungkin memang ditakdirkan untuk sendiri di sini. Aku berlari menjauhi Ozie. Kutinggalkan dia yang tampak bingung dan merasa bersalah. Dia memanggil-manggil namaku. Tapi aku tidak perduli. Aku ingin berlari dan hanya berlari sejauh-jauhnya hingga aku capek.
Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku kemudian berhenti di sebuah pohon dan menangis disana sejadi-jadi. Dunia terasa bukan milikku saat ini. Aku ingin sekali menjerit, tapi suaraku tidak dapat keluar. Tiba-tiba sebuah lengan yang kekar menyentuh bahuku dari belakang. Aku menoleh dan mendapatkan sosok Ozie yang telah menyentuhku. Aku berpaling padanya. Aku ingin berlari lagi dan menjauhinya. Tapi tampaknya kakiku tidak mampu lagi melangkah dan menuruti perintahku. Dia hanya diam tak bergerak.
“Ri,” sapa Ozie lembut. “Kumohon kamu mau mendengar penjelasanku kali ini. Setelah itu terserah kamu mau melakukan apa. Aku hanya ingin kamu juga mengerti kondisiku,” pintanya dengan penuh harap.
Aku hanya diam dan tidak melakukan apa-apa. Aku tetap memalingkan wajahku darinya. Aku malu padanya karena telah berani menyukainya. Dan aku juga malu karena dia telah menolakku. Aku berharap, jika dari awal semua ini kusadari akan begini akhirnya, tentunya aku tidak akan berani membiarkan perasaanku tumbuh dan berkembang.
“Riri, aku ingin kamu tahu. Aku memang tidak bisa membalas cintamu.”
“Karena aku jelek. Betul kan?” selaku dengan nada tinggi.
“Bukan itu. Sejak awal aku sudah memberitahumu, Ri. Tampang tidak menjadi soal buatku. Aku suka kamu apa adanya,” sanggahnya.
“Lalu apa? Apa yang membuatmu tidak bisa mencintaiku?” kataku masih penuh emosi.
“Aku bukanlah pria yang cocok untukmu. Aku bukanlah pria yang bisa kamu harapkan. Aku bisa menyukaimu tapi tidak bisa mencintaimu. Karena....” Ozie terdiam sesaat. “Karena aku, aku bukanlah pria yang normal. Aku ini tidak bisa mencintai seorang gadis. Aku hanya bisa mencintai sesama jenisku. Aku ini seorang gay,” ungkapnya dengan jujur.
Aku benar-benar terkejut saat mendengar kata “gay” dari mulutnya. Ini sebuah kejutan lain yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Ozie yang menjadi sahabatku selama ini dan juga cowok yang aku cintai selama ini adalah seorang gay? Sungguh, aku tidak bisa mengerti, kenapa ini bisa terjadi pada dirinya dan diriku. Apakah ini semacam lelucon untuk membuatku melupakannya?
“Kamu bohong! Kamu hanya mengatakan itu supaya aku bisa melupakanmu. Betul, kan?” desakku padanya.
“Aku tidak pernah membohongimu. Selama kita bersahabat, sebenarnya aku ingin sekali mengungkapkan masalah ini. Pada saat kamu mengirimkan lagu yang pertama, aku memang menyukainya tapi aku juga sedih karena pada saat itu juga sebenarnya aku sudah siap untuk mengatakan tentang kondisiku. Akibatnya, aku menjadi ragu sendiri. Aku melihatmu begitu bahagia. Lalu kuputuskan mengurungkan niatku hari itu karena aku takut jika kamu mendengar hal ini hatimu akan semakin sedih.”
Aku menangis. Aku memang bodoh. Aku tidak menyadari bahwa sebenarnya Ozie mempunyai sebuah masalah. Selama ini justru dia yang selalu membantu semua masalahku, tapi aku justru sama sekali tidak membantunya. Sahabat seperti apa aku ini?
“Kulihat, semakin hari perasaanmu semakin bertambah padaku. Apalagi setelah kamu mengirimkan lagu kedua. Kurasa sudah seharusnya aku menceritakan hal ini padamu sekarang. Aku tidak ingin perasaanmu untukku semakin dalam. Karena aku tahu bahwa kamu akan kecewa dikemudian harinya jika tetap mengharapkanku.”
Ozie kemudian menarikku dan mengangkat wajahku.
“Riri, kamu gadis termanis yang pernah aku kenal. Jika saja aku lelaki normal, aku pasti bisa membalas perasaanmu. Tapi aku tidak bisa. Aku hanya bisa memberikan kasih sayangku padamu hanya sebagai seorang sahabat atau saudara. Aku menganggapmu sebagai bagian dari keluargaku. Aku siap melindungimu. Aku siap untuk mendengar ceritamu. Aku juga masih mau bercanda denganmu seperti biasa. Aku janji tidak akan menyakitimu dan meninggalkanmu. Karena kamulah yang terbaik untukku.”
Kata-kata Ozie begitu menyentuh lubuk hatiku. Walau hati ini masih terasa sakit karena perasaanku tidak bisa terbalas, aku juga merasa kasihan padanya. Masalah dia justru jauh lebih rumit dariku. Bisa dibilang kelainan pada dirinya merupakan sebuah penyakit. Bisakah aku menyembuhkanmu Ozie dan membuatmu menjadi normal kembali? Aku ingin sekali kamu bisa hidup normal seperti yang lainnya.
“Zie. Aku minta maaf atas sikapku tadi,” ujarku malu. Air mataku masih jatuh membasahi pipiku.
“Tidak ada yang perlu di maafkan. Aku ikhlas,” ujarnya lembut sambil mengusap air mataku. “Aku justru yang seharusnya meminta maaf padamu.”
Aku menggeleng. “Tidak! Akulah yang seharusnya kamu maafkan. Aku tidak menyadari jika kamu mempunyai masalah seperti ini. Aku bukanlah sahabat yang baik. Aku hanya mementingkan perasaanku sendiri saja. Aku tidak peka. Selama ini kamu selalu membantuku, tapi aku justru tidak pernah membantumu. Aku malu padamu, Zie.” Aku tergugu dihadapannya.
Ozie memandangku penuh perhatian. Dia menarikku lebih dekat lagi dan memelukku. Dia mencium keningku dengan penuh kasih.
“Ozie, tidak bisakah kamu berpura-pura mencintaiku?” Aku berharap dia bisa merubah pikirannya.
“Riri, kamu adalah seorang gadis yang manis dan baik. Aku berharap semoga kamu bisa mendapatkan pria yang pantas untuk kamu cintai. Aku disini hanya bisa memberimu semangat, agar kamu tidak mudah putus asa dan menjadi lemah. Seperti kataku tadi aku siap melakukan apa saja untukmu. Aku tidak ingin kamu di sakiti oleh siapapun, karena sekarang kamu adalah bagian dari diriku. Sahabatku.”
Aku menarik bajunya dan menangis di dada Ozie. Tuhan biarkanlah aku menangis di sini. Biarkanlah kutumpahkan perasaan ini di dadanya. Biarkanlah aku berada dalam peluknya walau sesaat dan merasakan hangat pelukannya dan sentuhannya. Biarkanlah aku saat ini berangan-angan bahwa dia adalah seorang pria normal. Biarkanlah aku merasa jika juga dia mencintaiku. Biarkanlah aku seperti ini walau hanya sekejap saja. Setelah itu aku akan rela melepaskan rasa cinta dan kasih yang pernah ada untuknya selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar