Senin, 12 Oktober 2009

Sahabat & Cinta


“Mei, kamu mau pulang bareng aku, gak?”

Sebuah suara yang kukenal menyapaku dari belakang. Kulihat Toni sedang mendorong sepeda ontelnya menuju ke arahku.

Setiap hari Toni selalu mengajakku berangkat dan pulang sekolah bersama, dan setiap hari pula aku menolaknya dengan cara halus, “Maaf, Ton! Hari ini aku juga tidak bisa ikut pulang dengan kamu. Aku harus membeli buku dulu.”

“Kalau begitu, aku antar kamu deh! Kamu mau beli buku dimana?”

“A ...a ... aku mau beli buku di Toko Harfiz. Kamu tidak perlu mengantarku, karena aku pergi dengan ... dengan ... ,” Aku bingung harus mengajak siapa, kucoba lirik kanan lirik kiri mencari-cari siapa yang bisa kujadikan alasan untuk ikut denganku membeli buku. Saat itu juga mataku tertuju pada seorang gadis manis tapi centil, Celia. “Nah, kebetulan Celia akan lewat ke arah sini.”

“Ehm, aku ... aku akan pergi dengan Celia,” jawabku gugup seraya cepat-cepat menghampiri Celia dan menggandeng tangannya.

Celia kebingungan karena ulahku itu. Aku menyeringai kepadanya dan mengedipkan mata padanya agar dia mau mengerti keadaanku.

“Oh ... begitu? Ya sudah, bagaimana kalau besok? Kamu bisa, kan?” Toni berharap padaku dengan wajah memohon.

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi untuk menolaknya. Aku hanya bisa mengucapkan, “Insya Allah, jika memang tidak ada halangan, aku mungkin bisa pulang bersamamu.”

Sebenarnya aku malu jika harus ikut pulang dengan Toni. Akhir-akhir ini perasaanku gelisah jika harus dekat-dekat dengannya. Wajahku selalu memerah pada saat kami bertemu pandang dan perhatiannya membuatku merasa risih.

Aku kenal dia sejak dari kecil. Dari tahun ke tahun kami selalu satu sekolah, mulai dari TK, SD, SMP sampai dengan sekarang, SMU. Bosen juga sih lihat tampangnya terus, tapi karena Toni anak yang enak diajak curhat dan asik, jadi aku agak terhibur juga. Semua anak menyukai Toni karena dia pintar dan supel. Kalau dilihat-lihat lagi wajahnya lumayan juga kok, gak kalah dengan Brad Pitt. .

Kerennya lagi, dia tuh jago basket dan suka sekali naik sepeda ontel bututnya. Aku sudah terbiasa naik sepeda ontel dengannya saat ke sekolah atau hanya berkeliling komplek dan pasar. Di sepanjang jalanpun kami sudah terbiasa berceloteh dan bersenda gurau.

Kalau dijaman sekarang anak muda lebih senang naik sepeda motor, mulai dari motor bebek sampai motor otomatis, tapi Toni lebih senang dengan sepeda ontel bututnya. Kemana pun dia pergi, sepeda itu tidak pernah lepas dari tangannya. Dia tidak malu walau hanya menenteng sepeda butut.

“Ini sepeda warisan dari kakeku. Kakek pernah berpesan agar aku merawat sepeda itu. Jika aku sayang Kakek, maka aku pun pasti sayang pada sepedanya, karena Kakek merawatnya dengan sepenuh hati seperti dia menyayangiku dengan sepenuh hati pula.” Inilah jawaban yang kudapat ketika kutanyakan padanya mengapa dia begitu senang pada sepeda ontelnya.

“Lagipula dari tahun ke tahun, sepeda ini akan semakin berharga. Aku jamin harganya bisa mencapai ratusan juta, karena sepeda ini akan menjadi barang antik. Iya, kan? Pada saat harganya sudah tinggi, aku akan menjualnya. Kan, aku bisa jadi kaya mendadak! He ... he ... he ..., “ candanya kemudian. Kupikir Toni memang konyol juga ya?

“Meilany, kok melamun sih? Tanganku sakit nih, sampai kapan kamu pegang tanganku terus?” Suara Celia membuyarkan lamunanku.

“Duh, sorry banget ya? Aku gak bermaksud nyakitin tanganmu.”

“He eh gak apa-apa! By the way, tadi ada masalah apa sampai aku ikut-ikut diseret nih?” tanya Celia penasaran.

“Biasa lah! Toni ngajak pulang bareng lagi,” jawabku seadanya.

“Kenapa sih kamu gak mau diajak pulang sama dia? Biasanya juga kamu pulang bareng dengan dia. Tumben-tumbenan kamu beberapa hari ini gak pulang bareng dia lagi. Apa sedang ada masalah dengannya?”

“Gak ada! Aku hanya pengen pulang sendiri saja.”

“Kamu gak bisa bohongin aku Mei. Aku tahu kamu itu sedang ada masalah dengannya. Iya, kan?”

Celia tampak penasaran dengan tingkahku ini Dengan berbagai cara dia berusaha membujukku untuk menceritakan perasaanku. Akhirnya aku mengalah juga, kuceritakan permasalahan yang sedang terjadi pada diriku.

“Kamu tentu sudah tahu kalau aku sudah berteman dengan Toni sejak dari kecil? Pertemanan kami saat ini rasanya ada yang berubah semenjak dia mencoba melindungi aku dari gangguan si Jabrik, preman di sekolah ini.”

“Oh, kasus si Jabrik yang mencoba merayu kamu supaya menjadi pacarnya, kan? Terus apalagi yang terjadi?”

“Nah, semenjak kejadian itu aku menjadi risih dengan kehadiran Toni. Di satu sisi aku bangga karena dia membelaku dan melindungiku, disisi lain ada perasaan gelisah yang membuatku memandangnya bukan sebagai kawan lagi. Aku melihat dia sebagai sosok seorang pria yang begitu gagah dan kuat serta rela berkorban demi seorang gadis yang dicintainya. Setiap hari dirinya semakin mempesona, hal ini terus menggangguku.”

“Wah ... wah ... wah ...,” Celia serius mendengarkan curhatku. “Lalu, perasaanmu padanya jadi berubah, begitu?”

“Setiap aku melihat Toni, yang kulihat bukan Toniku yang dulu, teman sedari kecil, tetapi Toni yang mempesona. Aku tidak mau mempunyai pikiran ini, aku hanya ingin menganggap Toni sebagai kawan saja, tidak lebih dari itu. Karena itu, aku berusaha menghindarinya agar aku bisa menghilangkan perasaan yang ada dihati ini. Tapi kenyataannya ... aku tetap tidak bisa. Wajahku semakin bersemu merah setiap kali berjumpa dengannya dan aku semakin malu jika dia memperhatikan diriku.”

Celia tersenyum, kemudian menepukku halus dan menjabat tanganku dengan wajah ceria. “Itu namanya Cinta, Mei! Kamu sedang jatuh cinta pada Toni. Selamat, ya? Pertahankan saja perasaan itu dan kamu tidak perlu capek-capek berusaha menghilangkannya. Rugi juga loh kalau kamu harus kehilangan Toni. Dia cukup tampan, baik dan populer juga kan?“

Celia berusaha meyakinkanku agar aku tetap mempertahankan rasa ini. Dan aku masih merasa galau.

“Aku rasa jika aku tetap menyimpan perasaan ini, persahabatan kami bisa hancur Cel! Seandainya dia menerima perasaanku, aku bisa bahagia. Tetapi jika dia menolakku, persahabatan kami yang sudah lama ini akan bubar dengan membawa beban sepundak. Aku bisa menderita nantinya,” ujarku ketakutan.

“Hei, Neng! Begitu saja kok takut! Seorang sahabat sejati pasti akan mengerti perasaan sahabatnya, dan tidak akan membuat sahabatnya itu menderita. Kamu tidak perlu takut, biarkan saja perasaan itu semakin mekar dihatimu.”

Kata-kata Celia membuatku terpana. Aku semakin ingin mendengarkan nasehatnya. Ya, saat ini aku memang membutuhkan saran dari seorang kawan, agar aku tidak terbebani oleh pikiranku sendiri.

“Walaupun dia nanti menolakmu, kamu tidak perlu kecewa. Jika dia hanya bisa mencintai orang lain dan hidupnya bahagia, kamu tidak perlu iri dan benci. Karena kamu sudah memiliki harta yang tak ternilai harganya, yaitu Cinta dan Pengorbanan. Harta itu membuat kamu bisa mencintai seseorang dan rela berkorban demi kebahagian orang yang kamu cintai.”

Aku menangis dalam hati, apakah saat ini aku bisa melihat Toni dengan gadis lain? Hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehku. Selama kami berteman, aku tidak pernah perduli jika dia mengajak gadis lain dengan sepedanya. Aku tidah pernah cemburu sama sekali. Tetapi kali ini, untuk memikirkannya saja aku menjadi miris. Hatiku terasa sakit seakan tertusuk beribu-ribu jarum.

“Cinta ... ,” aku bergumam dalam hati. Aku termenung, dan mencoba memahami arti cinta yang sebenarnya.

Entah kenapa, tiba-tiba aku mempunyai kekuatan. Mungkin ini kekuatan cinta, aku harus menjadi kuat. Aku harus bisa mengalahkan perasaan cemburu ini, dan aku ingin mencoba memelihara dan merawat perasaanku yang baru pada Toni. Cinta ini akan kusirami, kuberi pupuk dan kubiarkan berbunga serta mekar seperti layaknya mawar.

“Celia ... ,” ujarku tiba-tiba. “Kamu memang sahabat terbaik yang pernah kukenal. Aku salut padamu. Terima kasih karena kamu telah memberiku saran dan petuah yang berharga sekali. Aku tak bisa membayangkan, akan seperti apa jadinya jika aku tidak bercerita padamu. Mungkin saat ini aku masih dilanda ketakutan dan terombang ambing oleh perasaan ini. Kamu memang hebat!”

Aku peluk Celia dengan erat. “Terima kasih Celia!

“It’s ok, friend! Besok, kalau mau curhat lagi, temui aku lagi ya? Aku siap menampung segala keluh kesahmu, loh! Sekalian buka praktek psikolog deh! He ... he ... he ...”

Setelah aku berbicara dengan Celia, aku merasa ada yang berbeda. Aku menjadi merasa bahagia dan mempunyai sebuah kekuatan baru.

Aku ingin segera bertemu Toni, aku ingin pulang bersamanya, aku ingin bercerita dan bercanda dengannya lagi, dan aku juga ingin menyatakan perasaanku padanya. Perasaanku sungguh berbunga-bunga saat ini. Aku menjadi orang yang tidak sabar. Tanpa kutunda-tunda lagi, aku segera menghubungi Toni dengan handphoneku.

Sebuah nada tunggu dari grup Project Pop “Ku Bukan Super Star” terdengar ditelingaku, dan lagu tersebut berubah menjadi suara Toni.

“Hallo!”

“Hallo, Ton! Kamu ada dimana sekarang?” tanyaku tak sabar.

“Masih dikantin. Kenapa?”

“Aku mau kesana? Kamu tunggu aku, ya?”

“Loh, bukannya kamu akan pergi dengan Celia ke toko buku?” tanyanya heran.

“Gak jadi! Aku mau pulang bareng kamu saja deh! Aku ada perlu dengan kamu. Tolong tunggu aku, ya?” pintaku dengan manja.

“Ok! Cepet ya?”

“Flip!” Toni menutup handphonenya dan dengan sabar dia menunggu kedatangan Celia.

“Mei, Aku disini akan selalu menunggumu ... selalu ...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar