Selasa, 25 Mei 2010

AT CINEPLEX

AT CINEPLEX



Eskalator mengantarkan Sandy, Nancy dan Joe ke lobby Cineplex. Sore ini mereka ingin nonton film Drag Me To Hell sebuah film yang bertema horor. Sengaja Nancy memilihkan film tersebut.

“Nih, kita nonton film ini saja,” ujar Nancy tadi siang saat melihat sebuah gambar film horor yang tercetak di koran hari ini. “Biar semakin dekat,” katanya lagi sambil terkekeh-kekeh.

Dekat apanya? Sandy merajuk senang.

Hari ini Sandy memang telah berjanji pada Joe untuk makan bersama. Tentunya Sandy tidak lupa mengajak Nancy pula. Setelah makan, mereka pergi ke Cineplex untuk menonton film horor yang judulnya Drag Me To Hell itu.

Di lobby begitu banyak orang lalu-lalang di sana. Muda-mudi yang bergaya trendy. Pasangan kekasih yang mengumbar kemesraan. Pasangan suami-istri dengan anak-anaknya. Semuanya antusias sekali ingin menonton film favorite mereka masing-masing.

Antrian tiket di loket saat itu sudah panjang. Joe segera ikut mengantri tiket dari belakang. Sementara itu Nancy membeli beberapa minuman dan makanan untuk pertunjukan film nanti.

Di dekat loket tiket, terlihat cowok keren mengenakan kemeja kotak-kotak warna biru muda yang dibuka dua kancing atasnya. Memperlihatkan belahan otot dadanya yang menonjol. Celananya blue denim. Penampilannya terlihat sempurna.

Sandy menahan decak kagumnya. Hmm... keren juga tuh cowok. Tipe cowok idaman gue.
Cowok keren itu melihat kedatangan Sandy dan menghampirinya. Sandy agak canggung saat cowok itu semakin mendekatinya dan melambaikan tangannya. Lalu dia tersenyum pada Sandy.

Hah? Dia kenal gue? Siapa ya? Wajahnya kayaknya kok familiar deh. Tapi siapa ya? Sandy mencoba mengingat-ingat cowok itu.

“Hai!” sapanya ramah. “Enggak disangka ya kita bisa bertemu di sini.”

Cowok itu semakin mendekat. Kini dia sudah berada tepat dihadapan Sandy. Sandy memandang wajah cowok itu lekat-lekat. Dia jadi ingat kembali siapa cowok itu.

Oh, iya... dia si lelaki di dalam bis.

“Haa... Steve?” tanyanya bercampur rasa senang.

“Yup! Have you forgotten me?” Steve tertawa.

“Kamu sendirian?”

“Well, actually no! I’m with... a friend,” katanya sedikit lesu.

“Friend? Cowok or cewek nih? Pastinya someone special ya?” ledek Sandy.

“No. She’s just a friend. There’s nothing special between us.” Steve mencoba menjelaskan.

“She? Tuh, benarkan? Dia itu pasti cewek. Enggak usah malulah sama aku,” goda Sandy.

Tiba-tiba dari arah toilet wanita, seorang gadis cantik menghampiri Steve. Gadis itu memakai gaun berwarna hijau lembut dengan motif bunga lily di pinggir roknya. Tas tangannya berwarna senada dengan gaun yang dipakainya. Sepasang sepatu berhak 7 centi menambah serasi penampilannya.

“Honey! Tiketnya sudah kamu beli?” Gadis itu langsung menempel manja pada Steve dan merangkul pinggang Steve dengan mesranya. Seakan-akan dia sedang menunjukkan pada Sandy bahwa Steve ini miliknya. Langkahi dulu mayatnya jika ingin merebut Steve darinya.

Steve sepertinya merasa risih dengan sikap yang dilakukan si gadis.

“Sudah, Vanya,” jawab Steve singkat.

Steve bergeser sedikit dan mencoba melepaskan rangkulan Vanya dari pinggangnya. Tapi tampaknya Vanya tidak mau melepasnya dan dia semakin mempererat rangkulannya. Steve menyerah.

“Siapa dia, honey? A friend of yours?” selidiknya curiga.

“Well, Vanya this is Sandy and Sandy this is Vanya.” Steve memperkenalkan kami berdua.

Sandy mengulurkan tangannya untuk bersalaman dan berusaha tersenyum. Sedangkan Vanya hanya tersenyum sinis dan menolak untuk bersalaman. Terpaksa Sandy hanya bersalaman dengan angin saja dan menyebutkan namanya dengan nada jengkel, “Sandy.”

“Sandy ini mahasiswi tingkat akhir jurusan ekonomi di Universitas...,” ucapan Steve terpotong oleh Vanya.

“Honey, filmnya sudah akan dimulai. Sorry Sandy, kami tinggal ya?” sela Vanya tiba-tiba.

Vanya segera menarik lengan Steve setengah memaksa. Steve menepiskan lengannya dari Vanya. Vanya merengut dan berjalan dengan kesal menuju Studio empat.

“Sandy, aku benar-benar minta maaf. Tadinya aku berharap bisa ngobrol lebih banyak lagi denganmu. Mungkin next time. Oke?”

Steve meminta maaf dengan tulus pada Sandy.

“It’s Ok! You may go now!” balas Sandy.

Steve tersenyum dan berjalan menghampiri Vanya yang sudah tak sabar menunggunya di pintu studio empat.

Lucu juga ya? Kemarin, gue yang bilang next time padanya. Sekarang, giliran dia yang bilang next time ke gue. Mungkin kita memang enggak berjodoh untuk ngobrol lebih lama.

“Siapa tuh cowok keren yang barusan ngobrol sama elo? Ceweknya jutex banget, deh!” Nancy menegur Sandy dari belakang.

“Kenalan baru gue. Namanya Steve.”

“Anak mana?”

“Enggak tahu. Kenalannya aja di bis. So, gue belum sempat nanya-nanya tentang dia tuh.”

“Jadi elo enggak punya nomor ponselnya dong? Padahal dia oke banget loh? Sayang kalau dibuang,” celoteh Nancy tanpa henti.

“Ya, enggak lah! Gue enggak ngurusin begituan, Non! Mau cakep kek, oke kek, sayang dibuang kek, enggak ada urusannya sama gue dong.” Sandy langsung ngeloyor pergi menuju studio tiga.

“Kita tunggu Joe di sana saja, ya?” ajaknya kemudian pada Nancy.

“Eh, ceweknya Steve tajir ya kayaknya? Semua yang dipakai cewek itu sepertinya barang bermerk loh. Soalnya gue pernah lihat semuanya di sebuah butik terkenal. Atau apa dia cuma memakai barang tiruannya aja ya? Soalnya agak mirip-mirip gitu deh,” cerocos Nancy sambil berjalan disamping Sandy.

“Bodo, akh!” Sandy tidak mau menanggapi ocehan Nancy.

Nancy menggerutu sendiri. Joe datang dengan membawa tiga tiket ditangan. Pertunjukan pun dimulai.
Suasana dalam studio hening. Semua mata tertuju pada layar dengan mata terbelalak. Wajah para penonton tampak tegang. Tapi tiba-tiba, mereka tertawa tergelak-gelak. Rupanya film horor yang sedang di tonton itu tidak sepenuhnya menegangkan. Justru malah seperti nonton film komedi saja.

“Filmnya bikin jantung copot! Itu nenek-nenek kuat banget ya? Masa dihajar beberapa kali enggak mati-mati. Mustinya nenek-nenek kan enggak punya tenaga,” celoteh Nancy ditengah-tengah pertunjukkan film.

“Nenek-nenek itu kerasukan demit, kali!” celetuk Sandy.

Joe yang duduk di sebelah kiri Sandy cekikikan. “Itu nenek pasti ikut fitness, makanya kuat.”

Sandy dan Nancy jadi terkikik geli. Penonton yang duduk dibelakang mereka protes, “Ssssh! “

Tidak disengaja tangan Nancy menyenggol gelas fanta yang sedang dipegang Sandy. Fanta merah pun tumpah mengenai baju Sandy.

“Aaahhh...,” seru mereka berdua.

“Duhh... cardigan gue jadi merah deh,” keluh sandy.

“Sorry ya, San! Gue enggak sengaja.”

“Enggak apa-apa. Gue ke toilet dulu deh.” Sandy beranjak dari kursinya dan pergi menuju toilet.

“Dasar, Nancy! Cerobohnya enggak hilang-hilang dari dulu. Cardigan gue jadi korban deh,” gerutu Sandy di toilet sambil membersihkan noda merah di cardigannya. “Untung gue pake kaos lagi didalamnya.”

Setelah dirasa cukup bersih, Sandy memperhatikan cardigan tersebut di cermin. ”Wah, basahnya sampai melebar begini. Ini sih udah kayak habis kehujanan. Coba dikeringin pake pengering tangan aja deh.”

Sepuluh menit kemudian. “Lumayan, kering juga walaupun sedikit lembab. Lebih baik enggak usah gue dipakai deh. Pakai kaos ini juga cukup oke, kok!” ujarnya menghibur diri.

Sandy keluar dari toilet dengan mengikatkan cardigannya di pinggul. Karena tidak melihat ke arah depan, Sandy menabrak seseorang. Dia hampir terjatuh ke belakang, tapi cowok yang ditabraknya tadi segera menahan tubuhnya sehingga tidak jadi menyentuh lantai. Sandy kini berada dalam pelukannya.

“Pertemuan kita selalu seperti ini ya?” Steve terkekeh-kekeh geli sambil tetap memeluk Sandy.

Mata Sandy membuka lebar dan terkejut saat menyadari dirinya telah dipeluk Steve.

“Steve?” serunya takjub.

Wajah Steve begitu dekat dengan wajah Sandy. Wajahnya jadi terlihat tampan sekali dalam jarak sedekat itu dan pelukan Steve yang hangat membuat Sandy semakin terlena.

“Sandy?”

“Hmm...,” Sandy masih terlena memandangi wajah Steve.

“Sampai kapan kamu terus begini?” Steve mengguncang tubuh Sandy dengan halus.

“Oh... eh... maaf,” Sandy tersadar dan menjadi malu sendiri. Sandy melepaskan dirinya dari pelukan Steve.

“Kamu enggak apa-apa kan? Ada yang lecet?” tanya Steve khawatir

“Enggak ada. Maaf ya, Steve. Aku tadi enggak lihat kamu di lorong ini,” sesalnya.

“Jangan begitu, aku juga salah! Aku juga enggak lihat kamu datang dari arah toilet wanita.” Steve menunjuk ke arah toilet wanita.

Sandy masih merasa malu pada Steve. “Oke, aku mau balik ke studio sekarang! Teman-temanku sudah menungguku,” ujarnya seraya hendak pergi meninggalkan Steve.

Steve menahan tangan Sandy. “Tunggu!”

Sandy melihat ke arah lengannya yang sedang dipegang Steve. Sebuah kejutan listrik merambat naik dari tangan Steve lagi menjalari seluruh tubuhnya. Sandy bergidik.

“A... ada apa?” tanyanya gugup menatap mata Steve.

“Kamu kok jadi gugup begitu sih? Nyantai sajalah seperti biasa.”

“Oh. Begitu. Baiklah,” jawab Sandy kaku.

Steve terkikik geli. “Kamu lucu ya?”

“Lucu bagaimana? Apanya yang lucu? Aku ini enggak pandai melucu kok?” Sandy merasa bingung karena dirinya dianggap lucu oleh Steve.

“Hhhmmmpphhh...... ya.” Steve menahan tawanya.

“Tingkah kamu yang membuatmu lucu. Dari tadi sikap kamu seperti orang yang sedang salting, tahu enggak?”

“Masak sih? Aku merasa sikapku biasa-biasa saja.”

“Ini nomor ponselku. Please contact me soon?” Steve memohon. Diberikannya selembar kartu nama berwarna gading pada Sandy.

Sandy mengambil kartu itu dari tangan Steve. Tanpa disangka, Steve menggenggam tangan Sandy yang sedang memegang kartu tersebut.

“Sebenarnya waktu terakhir kita bertemu, aku ingin memberikannya padamu. Tapi tampaknya kamu sedang tergesa-gesa.”

Sandy menarik tangannya sehalus mungkin dari genggaman tangan Steve agar dia tidak merasa tersinggung. “Oke, aku terima! Nanti aku kontak kamu, deh! Now, I must go. See you,” Sandy bergegas pergi meninggalkan Steve yang terpaku di lorong toilet.

Steve memandang Sandy dengan perasaan senang dan lega. “Akhirnya kita bisa bertemu kembali Sandy.”

Di dalam studio tiga, Sandy berusaha berjalan mengendap-endap menuju bangkunya. Nancy tampak kesal karena Sandy terlalu lama ditoilet.

“Lama sekali, sih! Elo ngapain aja di sana? Nabung ya?” Nancy nyerocos seperti seekor burung beo.

“Ini kan gara-gara elo juga, Nan!” balas Sandy.

“Ssshhhh...,” penonton dibelakang menyuruh mereka diam.

“Elo sih! Nanyanya kayak beo!” Sandy menyalahkan Nancy. Dia segera duduk disamping Joe. “Sorry ya, Joe! Aku jadi lama ninggalin kamu, deh.”

“Hmm....” Joe mengangguk. Wajahnya nampak senang dengan kehadiran Sandy kembali di sisinya.

Tanpa malu-malu dia menggenggam tangan Sandy. “Kamu sangat seksi dengan kaos itu, San!” pujinya pada Sandy.

Sandy tersanjung dengan pujian Joe. Kaos ketat tanpa lengan yang dipakainya ini memang membuatnya semakin seksi. Kaos itu jelas sekali memperlihatkan bentuk tubuh Sandy yang sebenarnya. Satu hal lagi yang membuatnya semakin berbunga-bunga adalah genggaman tangan Joe pada dirinya.

“Terima kasih! Aku sebenarnya malu loh pakai kaos ini tanpa cardiganku. Gara-gara Nancy, terpaksa deh aku menahan rasa maluku ini.”

“Aku justru senang jika kamu memakai pakaian-pakaian yang agak seksi. Bentuk tubuhmu indah.” Tiba-tiba sebuah ide bagus muncul dalam pikirannya.”Hei, Bagaimana jika kamu ikut fitness ditempatku bekerja. Aku yang akan melatihmu. Aku yakin, bentuk tubuhmu akan semakin indah nanti dan enggak kalah dengan artis terkenal,” tawar Joe.

“Kalau free aku mau. Soalnya kalau harus ikut fitnes di club kan bayarannya mahal.”

“Hmm, free ya? Bisa saja. Aku akan melatihmu berdua saja di tempatku. Kebetulan aku punya ruang khusus di apartemenku untuk olahraga dan fitness. Kamu mau?” Tangan Joe semakin erat menggenggam tangan Sandy.

Wow, apartemennya? Dia mengundangku ke apartemennya? Berduaan saja? Bersama si ganteng Joe yang macho? Asyik juga tuh! Eit’s... kalau nanti ada apa-apa, bagaimana? Bahaya juga. Karena jika dua orang yang berbeda jenis berada dalam satu ruang, akan muncul orang ketiga yang akan mempengaruhi pikiran mereka. Orang ketiganya itu sudah pasti setan. Hiiii....



“Gimana ya... ??? Nanti aku pikirin lagi deh!” tolak Sandy halus.

“SSSSSHHHHHHH....” kali ini penonton dibelakang semakin sewot. “Kalau mau ngerumpi mendingan diluar saja deh! Disini tempat orang nonton, bukan tempat ngegosip!” bentaknya kesal.

Seketika semua mata dalam studio tertuju ke arah tempat duduk Sandy dengan pandangan tak suka. Sandy mengkerut dan menunduk malu. Nancy pun begitu. Dengan kesal dia menyikut Sandy.

“Elo, sih! Cari masalah aja!” celetuknya kesal dengan suara setengah berbisik.

Joe cengar-cengir sendirian. Pura-pura tidak terpengaruh dengan pandangan orang disekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar