Hari ini, Bapak boleh pulang setelah diopname selama 2 minggu. Bapak pasti senang, karena sejak kemarin-kemarin beliau selalu minta pulang ke rumah. Mungkin Bapak sudah bosan dengan bau rumah sakit.
Bicara soal pulang, aku jadi ingat saat kecil dulu, saat Bapak tidak pulang-pulang ke rumah karena harus tugas luar kota. Sebenarnya, Bapak bekerja di sebuah perusahaan BUMN dan beliau ditempatkan di sebuah kapal tanker. Pekerjaan Bapak memang mengharuskan beliau untuk berpindah-pindah tempat dari daerah yang satu ke daerah yang lain untuk mengangkut minyak bumi ke setiap daerah.
Dulu, saat aku masih berusia 5 tahun, Bapak pernah bilang, ” Bapak kerjanya di kapal.” Ketika kutanya Ibuku, beliau mengiyakan jawaban Bapak. Nah, saat itu (namanya juga masih unyu and lugu) kukira yang dimaksud kapal itu adalah pesawat terbang. Makanya, setiap kali ada pesawat terbang melewati rumah kami, aku selalu berteriak-teriak ke arah pesawat yang sedang asyik terbang di langit luas itu. ”Bapak! Ini Ida! Cepet pulang, ya, Pak! Ida tunggu oleh-olehnya! Jangan lupa pulang ya, Pak! Ida tungguin oleh-olehnya!”
Aku juga dengan bangga mengatakan hal ini pada kawan-kawan sepermainanku. ”Hei! Itu kapal Bapakku! Bapakku sekarang lagi pergi ke Singapur (Negara Singapura maksudnya). Pulangnya pasti bawa mainan boneka bayi yang bisa nangis buatku. Terus, Bapak pasti bawa jeruk sunkist sekardus, apel sekardus, telur sekardus juga, biskuit dua kaleng besssaaar..., sama satu lagi, susu beruang sekardus besssaaar jugaaa....,” kataku sok sekali pada teman-temanku. Mereka lalu terkagum-kagum akan ceritaku tentang Bapak. Aku jadi semakin senang. Bapakku memang hebat, pikirku saat itu. Teman-temanku enggak ada yang punya Bapak seperti Bapakku.
Hihihi namanya juga anak-anak, sebenarnya hal yang paling utama kutunggu-tunggu dari Bapak sebenarnya hanya mainannya. Waktu itu sebelum beliau berangkat tugas lagi, Bapak pernah berjanji untuk membelikanku boneka bayi yang bisa nangis jika dotnya ditarik. Jadi, selama Bapak berlayar, aku selalu menghitung hari kedatangan Bapak dan menunggu oleh-oleh boneka bayi darinya agar aku bisa memamerkannya pada teman-temanku. ”Memangnya cuma si A (namanya lupa) aja yang bisa punya boneka bayi? Aku juga pasti nanti punya boneka bayi yang lebih bagus dari si A,” ujarku sambil berkhayal menggendong boneka bayi yang lucu itu dan memamerkannya pada si A.
Makanya saat Bapak pulang ke rumah dengan segudang oleh-oleh, aku langsung berteriak paling lantang yang. ”Bapak pulaaang!!!”
”Apaaa uyang!” adikku yang kedua pun tak kalah hebohnya berteriak.
”Mana oleh-olehnya, Pak? Mainan boneka yang bisa nangisnya mana, Pak?” tanyaku tak sabar. Tapi Bapak menyuruhku tenang dan bersabar sambil membuka oleh-oleh yang lainnya dulu. Setelah beberapa lama, mainan yang kuminta pun kuterima. Tapi aku menerimanya dengan rasa kecewa.
”Kenapa?” tanya Bapak bingung.
”Bonekanya jelek, Enggak sama dengan punya si A. Bonekanya gede banget,” rajukku.
”Eh, ini bonekanya bagus. Beda sama yang lain. Lihat! Bonekanya pakai jaket bulu. Warnanya bagus seperti jeruk sunkist. Ini gak ada yang punya. Belinya aja dari Singapore,” bujuk Bapak.
Aku masih merengut. Memang bonekanya bisa menangis dan ada dotnya. Tapi tidak sama seperti yang kumau. Boneka yang dibelikan Bapak terlalu besar dan memakai jaket. Padahal boneka bayi yang aku mau itu, sedang merangkak dan hanya mengenakan popok saja. Aku ngambek sampai lama. Bapak tetap membujukku dengan mengatakan bonekaku itu paling bagus dan mahal harganya. Beda dari boneka lainnya. Tetapi aku justru tidak mau. Karena aku ingin boneka yang sama seperti anak-anak lainnya.
Sampai aku besar pun, Bapak selalu memberikan aku barang-barang yang berbeda dengan kawan-kawan lainnya. Aku ingin sepatu roda lengkap dengan sepatunya, tetapi beliau hanya membelikan rodanya saja yang bisa diikat ke sepatu sendiri. Aku meminta dibelikan sajadah kecil berwarna merah dengan gambar kabah dan masjid, tetapi dia membelikanku sajadah besar dengan warna lain bergambar masjid saja. Jadi jika aku ke masjid membawa sajadah yang lebarnya melebihi sajadah kawan-kawan lainnya, aku jadi malu sendiri. Karena sajadahku makan banyak tempat sehingga teman-temanku jadi tersingkir.
Ada satu hal yang membuatku terharu dari Bapak. Seperti yang kuceritakan di awal, setiap Bapak pulang pasti membawa oleh-oleh jeruk sunkist sekardus, apel sekardus, telur sekardus juga, biskuit dua kaleng besar, susu beruang sekardus besar juga. Kukira oleh-oleh yang dibawa Bapak ini dibeli khusus oleh Bapak di daerah-daerah yang pernah beliau singgahi. Ternyata oleh-oleh (kecuali mainan dan baju-baju) yang pernah dibawa Bapak itu adalah jatah makan Bapak setiap hari selama di kapal. Ini kuketahui dari Ibuku.
Aku jadi salut pada Bapak. Ternyata Bapak selalu memikirkan keluarganya selama dia berlayar. Sampai-sampai dia berpikir, ”Di sini aku bisa makan enak, sementara anak istriku hanya bisa makan nasi dengan lauk ikan asin saja.” Lalu Bapak memutuskan untuk menyisihkan sebagian jatah makanannya untuk keluarganya.
Melihat kami menyambut kepulangan Bapak dengan gembira, dan menyantap dengan lahap semua buah, telur, kue dan susu yang dibawanya untuk kami, ternyata membuat hati Bapak bahagia dan lega. Sungguh saat itu aku tak menyadari perasaan Bapak kepada kami. Walau Bapak memiliki kekurangan dan kami sering berselisih paham, tetapi kami tetap bersyukur memiliki Bapak yang selalu menyayangi keluarganya.
Kini saat Bapak sakit dan kembali pulang ke rumah lagi, sudah tidak ada lagi tawa ceria anak-anaknya yang menyambutnya pulang dan berteriak-teriak kegirangan, ”Bapak pulang! Bapak Pulang!”
Yang ada sekarang, justru rasa pedih di hatiku saat melihat dan membayangkan penderitaan Bapak untuk menghadapi penyakitnya nanti.