Jumat, 03 Juli 2009

Selamat Jalan Kawan


Sesosok tubuh yang lemah tampak terbaring diam di sebuah kamar ICU Rumah Sakit Islam di daerah Cempaka Putih. Di samping tubuh itu tampak seorang lelaki berusia dua puluhan sedang membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an untuknya.

Wajah lelaki tersebut terlihat letih dan pucat. Suara yang keluar dari mulutnya terdengar sedikit parau. Sesekali dia terisak dan meneteskan airmata saat memandang tubuh yang berada dihadapannya. Tangan kanannya kemudian membelai lembut tangan tubuh yang tergeletak tak berdaya itu. Ingin sekali dia berharap tubuh itu akan segera membuka matanya, tapi tampaknya itu adalah hal yang mustahil.

Pemandangan tersebut sungguh sangat mengharukan dan selalu aku ingat hingga saat ini. Tubuh yang aku lihat diam dan tak bergerak itu temanku, Susi. Dia kini diam tak berdaya ditempat tidurnya, matanya terpejam dan wajahnya tampak damai sekali. Tapi aku merasa miris melihatnya karena aku tahu disekujur tubuhnya hingga kepalanya banyak sekali luka yang sangat mengerikan.

Lelaki yang berada disampingnya masih terus membacakan ayat-ayat suci untuknya. Aku sempat melihat matanya tampak sembab dan dibeberapa bagian lengan terlihat pula beberapa luka kecil. Aku jadi bertanya dalam hati, “Sebenarnya apa yang telah terjadi pada mereka berdua?”

Salah seorang teman menyampaikan padaku bahwa Susi dan lelaki itu yang ternyata kekasihnya mengalami kecelakaan di daerah kemayoran saat sepulang dari kampus. Motor yang ditumpanginya telah menabrak sebuah mobil, dan saat itu juga Susi terlempar jauh dan mendarat di aspal dengan keras. Helm yang dipakainya pun pecah, darah mengalir dari sekujur tubuhnya. Aku bergidik saat mendengar kisah yang menimpa Susi dan kekasihnya itu. Sungguh kisah yang sangat mengerikan.

Aku tercekat memandang Susi, seorang gadis Jawa kelahiran Salatiga yang bersekolah di Jakarta. Aku mengenal Susi sejak SD dan dia mengaji di tempat yang sama pula denganku. Kami memang tidak akrab tapi aku mengenalnya sebagai gadis yang sangat baik dan manis, logatnya kental sekali jika berbicara dan dia tidak pernah berulah.

Saat kuliah, kami bertemu kembali dan ternyata dia masih ingat kepadaku. Di kampusku dia menjadi aktifis rohis yang aktif, sifatnya yang baik dan ramah kepada siapa saja membuatnya banyak disukai semua orang. Semua mata kuliahnya juga mendapat nilai yang memuaskan. Tak pernah sedikit pun aku mendengar cela tentangnya.

Saat terakhir aku bertemu dengannya, dia sedang merencanakan untuk pulang ke kampungnya setelah ujian semester ini selesai. Kulihat wajahnya begitu senang dan bahagia karena begitu menantikan saat-saat kepulangannya ke kampung halaman untuk bertemu orang tuanya. Sedikitpun aku tak pernah mengira bahwa dia akan menjadi seperti ini, tergolek lemah tanpa daya setelah kecelakaan yang dialaminya terjadi pada hari terakhir ujian semester.

Saat ini Susi tidak bisa dibangunkan. Beberapa saat sebelumnya dia sempat bangun, dan merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Atas saran Dokter, Susi harus dibius agar tubuhnya stabil untuk melakukan operasi. Aku berharap semoga Susi bisa lekas sembuh jika operasi sudah dilakukan

Semakin hari perkembangan Susi tidak mengalami kemajuan. Kami semua sebagai temannya hanya bisa mendoakan kesembuhan Susi.

Buruknya lagi, sekarang di kampus mulai terdengar kabar jelek tentang Susi. Semua teman-teman dikampus sedang hot-hotnya membicarakan kabar yang satu ini. Mereka bilang Susi tidak berjodoh dengan kekasihnya dan Susi sudah mengetahuinya setelah dia melaksanakan shalat istikarah. Akan tetapi Susi tetap meneruskan hubungan tersebut. Akhirnya mereka menjadi celaka karena menentang kehendak Allah. Astagfirullah... aku menjadi semakin miris mendengar kabar tersebut.

Kenapa dia yang tengah terbaring lemah itu masih dipergunjingkan orang. Seharusnya mereka tidak usah membicarakan hal-hal yang buruk tentangnya.

Tiba-tiba seorang kawan menangis. “Susi telah meninggal!” katanya tersedu-sedu. Seluruh isi kampus gempar. Susi, mahasiswi terbaik kami telah pergi dan menutup mata untuk selamanya.

Tak ada lagi tawa dan senyumnya yang manis, tak ada lagi candanya, tak ada lagi celotehannya, dan tak ada lagi gadis ayu berjilbab yang selalu berjalan dengan agak terburu-buru dari Fakultas Ekonomi menuju Masjid dengan menenteng map serta buku-buku pelajaran.

Susi menepati janjinya. “Setelah ujian semester ini selesai, aku akan pulang ke Salatiga!” itu kata-kata terakhirnya yang masih kuingat. Susi memang telah pulang untuk selama-lamanya dan jasadnya kini kembali ke Salatiga kota kelahirannya.

Angin semilir berhembus lembut membawa harumnya aroma bunga melati, kulihat samar-samar Susi tersenyum bahagia. Aku melambai padanya dan berdoa untuk kepergiannya. “Selamat jalan kawan. Semoga engkau tenang bersama-Nya disana.”

In Memoriam Susi

Jatibening, 19 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar